Penduduk Mekkah senantiasa mencari-cari kesempatan untuk membunuh Rasulullah SAW dan mengerahkan segala daya upaya yang mereka miliki untuk memadamkan cahaya Islam dan sinar keindahan dakwah yang beliau bawa. Ironisnya, di saat mereka dilanda bencana yang tak sanggup mereka atasi, mereka justru kembali ke Rasulullah SAW untuk mengetuk pintu belas kasihnya. Di antara contohnya ialah yang telah kita bahas sebelumnya, yaitu ketika dilanda kemarau mereka bergegas memohon didoakan oleh Rasulullah SAW agar diturunkan hujan[1].
Contoh lain adalah konflik yang terjadi antara penduduk Mekkah dengan Tsumamah bin Atsal, salah seorang pemuka suku Yamamah. Tsumamah merupakan bekas tawanan Badar yang pada akhirnya memeluk Islam berkat perlakuan mulia yang ia terima dari umat Islam dalam sel tahanan, meski sebelumnya ia memendam kebencian dan kedengkian terhadap Islam.
Suatu ketika Tsumamah pergi ke Mekkah atas izin Rasulullah SAW untuk menyelesaikan ibadah umrah yang telah tertunda pelaksanaannya sebelum ia memeluk Islam.[2] Ia menyangka bahwa dirinya berada di tempat yang aman, dan orang yang berada di dalam lingkungannya akan aman. Namun rupanya situasi yang terjadi berbading terbalik dengan apa yang ia kira. Ketika ia seorang diri, para musyrik Mekkah mengintimidasinya serta berusaha melancarkan serangan terhadapnya. Mereka tidak memberinya izin untuk melangsungkan ritual ibadah di Ka’bah. Bahkan lebih dari itu mereka berusaha membunuh seorang yang datang semata-mata untuk menunaikan ibadah pada Allah dan menyempurnakan syiarnya. Mereka ingin membunuh Tsumamah untuk menakut-nakuti kaum muslimin.
Pada saat kafir Quraisy hampir menebas lehernya, salah satu di antara mereka berujar, “Lepaskan dia! Sebab kita membutuhkan pasokan sembako dari Yamamah.“ serunya. Pada saat itu Yamamah merupakan pusat pemasok sembako berupa gandum dan bahan makanan lain. Maka perbuatan kriminal seperti ini sama saja dengan membuat penduduk Mekkah mati kelaparan yang sedari awal memang sudah ditimpa paceklik.
Memang Tsumamah selamat dari upaya pembunuhan. Namun ia memendam rasa benci dan dendam terhadap penduduk Mekkah. ”Demi Allah, takkan ada sedikitpun pasokan sembako Yamamah yang akan sampai pada kalian, hingga Rasulullah SAW memberi izin.” Ancam Tsumamah kepada penduduk Mekkah. Dan benar saja, Tsumamah membuktikan ucapannya, pengiriman sembako ke Mekkah terhenti seketika, hingga Mekkah pun berada dalam krisis yang besar.
Abu Sufyan merasa bertanggung jawab atas krisis yang terjadi di Mekkah, karena ia merupakan salah satu pemukanya. Ia pun berusaha menyelesaikan persoalan ini. Abu Sufyan akhirnya berangkat menuju Madinah mencari Rasulullah SAW untuk membahas masalah ini, karena ia mengetahui betul bahwa Tsumamah akan patuh terhadap perintah Rasulullah Saw. Abu Sufyan sangat yakin bahwa persoalan Mekkah ini akan selesai jika ia pergi ke Madinah al-Munawwarah.
Abu Sufyan mendatangi Rasulullah SAW dan menceritakan inti permasalahan, kemudian meminta Rasulullah SAW agar ikut andil dalam penyelesaiannya. Sesuai dugaan, ia mendapat respon positif seperti harapannya. Rasulullah memberikan perhatian penuh terhadap permasalahan ini serta menyikapinya dengan serius. Kemudian Rasulullah menginstruksikan kepada Tsumamah agar membatalkan embargo terhadap penduduk Mekkah.
Inilah permintaan Rasulullah SAW kepada Tsumamah. Mungkinkah bagi seorang sahabat yang telah memasrahkan hatinya pada Allah dan Rasul-Nya, akan menolak permintaan ini?. Perintah dari Rasulullah ini telah membuatnya terlupa atas siksaan yang baru saja ia terima di Mekkah. Ia pun segera mengirim Kembali pasokan sembako. Dengan demikian selamatlah penduduk Mekkah dari himpitan krisis kemarau. Mereka kembali ceria berkat belas kasih Sayyid al-Anbiya (Rasulullah SAW)[3].
Tampaknya hubungan antara Mekkah dan Madinah semakin membaik. Setiap hari lembaran demi lembaran baru kembali dibuka, berkat nilai-nilai luhur dan sikap bijak yang senantiasa Rasulullah SAW tampilkan dalam segala situasi. Sesungguhnya para penduduk Mekkah sendirilah yang menciptakan musuh ilusi ini. Mereka berusaha menjauhkan langkah dari wilyah kekuasan Islam. Berkat hubungan diplomasi yang Rasulullah bangun ini, mereka bisa berniaga dengan bebas dalam melakukan perjalanan ke penjuru Syam melewati Madinah tanpa rasa cemas dan takut. Bisa dipastikan Abu Sufyan adalah orang yang paling banyak mengambil manfaat atas situasi ini.
[1] Shahih Bukhari, Bab Istiqa’,1020; Bidayah Nihayah, Ibnu Kasir,3/133.
[2] Pada masa Jahiliyah, sebagian bangsa Arab masih melaksanakan manasik Haji dan Umrah yang merupakan warisan dari agam lurus leluhur mereka, Nabi Ibrahim As. Namun telah terjadi banyak penyimpangan dalam pelaksanaannya, mereka merubah banyak hal yang tidak sesuai dari apa yang diajarkan Nabi Ibrahim. Saat Tsumamah bebas dan masuk Islam, Ia pun memberi tahu Rasulullah tentang perihalnya yang belum menyempurnakan Umrah yang pernah Ia lakukan sebelumnya. Nabi pun memerintahkannya untuk menyelesaikan Umrahnya.
[3] Shahih Muslim, Bab Jihad,59; Sirah Nabawiyah, Ibnu Hisyam, 2/638.