Pernikahan Rasulullah dengan Sayyidah Juwairiyah

 

Pernikahan Rasulullah Saw dengan Sayyidah Juwairiyyah merupakan contoh serupa dari penerapan strategi dakwah Nabi. Juwairiyah Ra adalah putri Harits bin Abi Dhirar, pemimpin Bani Musthaliq. Sebelumnya sang ayah telah mempersiapkan kekuatan dan menghimpun pasukan untuk melancarkan serangan untuk memusnahkan umat Islam.

Suatu hari Rasulullah Saw mendapati kabar rencana penyerangan Bani Musthaliq. Setelah memastikan kebenaran informasi tersebut, beliau segera berangkat ke tempat Bani Musthaliq bersama para sahabat sebelum penyerangan itu terjadi. Pada akhirnya, Allah Swt memberikan kemenangan pada pihak Muslim.

Sayyidah Juwairiyyah adalah satu di antara para tawanan Bani Musthaliq. Ia menjadi bagian ghanimah yang dimiliki salah satu sahabat. Setelah melalui kesepakatan, Sayyidah Juwairiyyah ingin menebus dirinya namun harga tebusan yang harus ia bayar bernilai tinggi, supaya ia dapat meraih meraih kebebasan dan kemerdekaan[1].

Sayyidah Juwiariyyah pun memberanikan diri untuk menemui sang mentari kasih sayang Nabi Muhammad Saw untuk meminta belas kasih padanya. Ia berkata,”Duhai Rasulullah, aku Juwairiyyah binti al-Harist bin Abi Dhirar, putri pemimpin Bani Musthaliq. Aku tengah ditimpa musibah sebagaimana engkau tahu, lalu aku menjadi tawanan Tsabit bin Qais bin Syimas (atau tawanan anak paman Tsabit). Lalu aku menawarkan kesepakatan dengannya untuk menebus diriku. Karena itulah aku datang padamu untuk meminta pertolongan atas tebusan itu.” Tuturnya panik.

Rasulullah pun bertanya “Apakah engkau mau yang lebih baik dari itu?.

“Apa itu duhai Rasulullah?” tanya balik Juwairiyah.

Beliau menjawab, “Aku selesaikan perkaramu dan aku akan menikahimu,”

Ia menjawab “Baik Rasulullah”.

Beliau bersabda “Sudah aku lakukan”.

Beberapa saat setelah itu, Sayyidah Aisyah berkata, “Telah beredar kabar pernikahan Rasulullah dengan Juwairiyyah.”

“(Selamat datang) di keluarga baru Rasulullah Saw.” Sambut umat muslim.

Begitu tahu kabar tersebut, para sahabat langsung melepaskan dan membebaskan para tahanan Bani Musthaliq.

Sayyidah Aisyah pun menambahkan, “Berkat pernikahan Rasulullah dengan Juwairiyah seratus tawanan bani Musthaliq dibebaskan. Aku tidak mengetahui keberkahan dari sosok perempuan kepada kaumnya melebihi Juwairiyah.”[2]

Adakah Kebahagiaan yang melebihi apa yang sedang Sayyidah Juwairiyah rasakan? Ketika pintu istana kebahagian duniawi dan ukhrawi itu terbuka di hadapan seorang manusia yang sedang kehilangan segalanya dan hidup sebatang kara. Terlebih lagi, ia tengah kehilangan kebebasannya! Yang lebih istimewanya, ketika sang raja istana terjun langsung menerima dan menyambut orang tersebut. Sosok itu adalah Juwairiyyah. Ia lebih memilih dinaikkan derajatnya menjadi “Umm al-Mukminin” ketimbang ia harus menjadi hamba sahaya seumur hidup. Juwairiyyah begitu cerdas dan bijaksana untuk tidak melewatkan tawaran semacam ini, di mana ia tak membayar sedikit pun dirham yang ia keluarkan. Seraya berkata, “Baik Rasulullah aku terima.”[3]

Segera setelah Juwairiyyah menyetujui tawaran itu, Rasulullah mengutus seseorang kepada Tsabit bin Qais untuk memberitahukan padanya bahwa Rasulullah berniat mempersunting Juwairiyyah.

Tsabit pun tampak bahagia ketika mendengar permintaan Rasulullah itu. Baginya Juwairiyyah pantas dinikahi oleh Rasulullah, sang penakluk kemenangan ini. Secara umum, tradisi bangsa Arab pada waktu itu menganggap biasa pernikahan komandan pasukan yang menang dengan putri komandan pasukan yang kalah[4].

Dan nampaknya Tsabit memahami maksud Rasulullah, yakni ia tahu bahwa Rasulullah dengan menikahinya merupakan strategi Nabawi demi menyambung jembatan yang terputus dan kehormatan yang ternodai. Karena itulah Tsabit menjawab, “Demi Tuhan, ia (Juwairiyyah) kini menjadi milikmu”. Dengan demikian Rasulullah telah menebus Juwairiyah, membebaskannya dan meperistrinya.

Tak berselang lama setelah itu, kabar pernikahan Rasulullah itu tersiar dan para Sahabat menatap setiap tawanan di tangannya dan berkata dengan penuh takzim, “Mereka adalah Keluarga Nabi!”. Ya, Kini Bani Musthaliq menjadi bagian keluarga Nabi, yang sebelumnya memusuhi dan memerangi Nabi. Sungguh peristiwa ini tidak pernah mereka duga sebelumnya.

Tak layak bagi sahabat untuk memperlakukan keluarga Nabi dari bani Musthaliq sebagai tawanan. Sebab itulah Juwairiyyah tidak hanya menyelamatkan dirinya, akan tetapi ia juga telah menyelamatkan seluruh kaumnya. Maka pembebasan yang dilakukan para sahabat atas tawanan itu tak lain adalah sikap yang mulia dan penuh bijaksana yang tak ada bandingannya dalam sejarah. Seratus keluarga bani Musthaliq kini dibebaskan hanya melalui perantara pernikahan Rasulullah dengan Juwairiyah. Dengan keberkahan pernikahan ini mereka pun memeluk Islam. Sayyidah Juwairiyyah begitu senang ketika mendengar kabar tersebut dari sepupunya. Ia sangat bersyukur karena telah menjadi sebab di balik pembebasan tawanan kaumnya, dan keselamatan mereka dari zona kehinaan.

Sementara sisa tawanan lain ditebus oleh keluarga mereka masing-masing. Oleh karena itulah semua bani Musthaliq resmi dibebaskan.

Satu sisi yang paling menarik dalam hal ini adalah ketika al-Harits menyusup di tengah-tengah umat muslim, meski ia kehilangan semua kekayaan dan pengaruhnya. Hanya saja beberapa hari setelah itu, Harist mendatangi Madinah dengan unta yang ia tumpangi untuk menebus kembali putrinya, Juwairiyyah. Ia akan membayar uang tebusan yang diminta untuk menebus anak perempuannya dari statusnya sebagai tawanan.

Setibanya di ‘Aqiq, ia memandang untanya sekilas yang kelak menjadi penebus putrinya itu. Dengan demikian ia akan kehilangan sisa kekayaan terakhirnya. Sementara itu ia menyukai dua unta lainnya, lalu ia sembunyikan di tempat permukiman penduduk setempat. Ia berharap dapat menebus putrinya itu dengan unta itu. Sengaja ia sembunyikan dua unta tadi, lantaran dikhususkan untuk dirinya dan putrinya sebagai kendaraan menuju kampung halaman mereka.

Ketika Rasulullah tiba, Harist langsung berujar, “Wahai Muhammad, anda sudah mengambil putriku, ambillah tebusan ini.” Tawar Harist.

Rasulullah SAW merasa kasihan melihat Harist yang sebulan lalu telah merencanakan misinya untuk menghabisi umat Islam. Harist begitu banyak memiliki mimpi untuk itu. Ketika melihat unta yang ditumpangi Harist, sejenak Rasulullah SAW menanyakan satu perihal, “Di mana dua unta lainnya yang kau sembunyikan di ‘Aqiq, di tempat pemukiman penduduk ini dan itu?”

Harist tersontak bak kesetanan dan terdiam membatu seolah ada burung hinggap di atas kepalanya! Tidak ada satu orang pun bersamanya ketika ia menyembuyikan kedua untanya di ‘Aqiq. Artinya tak ada orang yang mengetahui kejadian itu. Lalu bagaimana Muhammad bisa tahu sedetail itu?

Sungguh, ini peristiwa yang tidak normal bahkan di luar batas nalar manusia. Yang pasti, informasi tersebut Nabi Muhammad peroleh melalui perantara wahyu langit. Ia sangat terkejut. Tak berselang lama, setelah itu ia mengucapkan dua kalimat syahadat dengan penuh suka rela, “Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah, dan engkaulah Muhammad utusan Allah.” Akhirnya atas izin Allah, Harist memeluk Islam setelah keislaman putri dan kaumnya.

Oleh karena itulah belas kasih Nabi berhasil membuka hati seorang yang keras dan kejam. Kemenangan ini tidaklah terbatas pada kasus Harist semata. Tetapi meliputi seluruh keluarga dan kaumnya. Mereka kini telah masuk ke dalam pangkuan kasih sayang Nabi yang penuh berkah dan lebih memilih cahaya iman ketimbang gelapnya kekufuran.[5]

 

 

[1] Perjanjian semacam itu dalam hak-hak Islam disebut dengan “Mukatabah”. Yakni disyaratkan ketika seseorang memiliki budak untuk menetapkan waktu dan tunjangan tertentu yang harus dibayar oleh budak tersebut, sehingga dia bisa mencapai kebebasannya. Hakikatnya langkah semacam ini mendapat tanggapan dan respon yang sangat baik. Bahkan hal itu bisa menimbulkan keceriaan/kesenangan bagi seseorang yang telah menjadi seorang budak. Dalam konteks di atas dapat dipahami bahwa Sayyidah Juwairiyyah telah memeluk Islam meski tak diridai oleh ayahnya, karena kebaikan dan perilaku baik yang ia saksikan pada hari ini.

[2] Musnad Imam Ahmad, 43/284

[3] Al-Waqidi: Al-Magazi, 1/411.

[4] Salah satu budaya yang mengakar di zaman itu, mensyaratkan adanya pernikahan antara panglima tentara pemenang perang dengan istri atau keturunan panglima tentara yang kalah, sebagai tanda kemenangan yang telah diraihnya.

[5] Sirah Ibn Hisyam, 2/295-296.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *