Potret Ibu Teladan Sepanjang Masa

Hati perempuan itu begitu pedih karena setelah kematian putranya, anak-anaknya yang lahir setelah itu selalu berjenis kelamin perempuan, sementara adat dan budaya masyarakatnya amat memuja dan mengedepankan kelahiran anak laki-laki. Hatinya amat gundah, terlebih saat itu baru saja terjadi pertikaian antarkaum Quraisy. Setiap kabilah membentuk pasukan dan kaum perempuan serta anak-anak mulai mencari tempat berlindung. Suasana kelabu melanda penduduk Makkah, lalu terdengar kabar bahwa suaminyalah yang terpilih untuk mencari jalan keluar atas pertikaian itu. Walaupun bangga atas keputusan itu, tetapi tak ayal kecemasan melandanya. Dalam kondisi seperti inilah beliau bersiap menghadapi proses persalinan anaknya pada usia yang tidak muda lagi. Ya, perempuan luar biasa bernama Sayidah Khadijah radiyallahu ‘anha itu melahirkan putrinya, Fatimah, yang berparas cemerlang amat mirip dengan ayahnya, Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, di usia 50 tahun. Seiring berjalannya waktu, kaum Quraisy mulai menyadari bahwa Islam telah tersebar di kalangan kabilah-kabilah di Makkah. Lalu mereka pun sepakat untuk membunuh Rasulullah. Dalam suasana mencekam seperti inilah Sayidah Fatimah radiyallahu ‘anha menghabiskan masa kecilnya. Bahkan beliau melewati tahun-tahun pertama kehidupannya bersama orang-orang yang pertama menganut agama Islam dan mengalami boikot dari orang-orang Quraisy.

Sayidah Fatimah kecil melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana sosok ayah yang dikaguminya mengalami penghinaan dan perlakuan buruk, terlebih lagi setelah kematian Abu Thalib. Perlakuan kasar yang mereka lakukan semakin menjadi-jadi. Air mata gadis kecil itu menetes saat harus membersihkan punggung dan kepala laki-laki yang amat dihormatinya dari kotoran dan isi perut unta, serta tanah dan pasir yang dilontarkan oleh orang-orang kafir. Ketegaran luar biasa itu hanya bisa dimiliki oleh seorang anak yang telah dipersiapkan betul dalam didikan sang ibunda agar kelak mampu menjadi pendamping perjuangan ayahnya yang teramat penting, di saat-saat sang ibunda wafat di tahun kenabian, sebulan lebih lima hari semenjak kematian Abu Thalib.[1]

Jika membaca kisah di atas, pahamlah kita betapa masa kecil yang penuh kesulitan tidak membuat Fatimah kecil menjadi cengeng, sebaliknya didikan dan kasih sayang ibundanya telah membuatnya tumbuh menjadi salah satu kebanggaan kaum Muslimin sepanjang masa. Bahkan sosok tegar dan tangguh yang tergambar di sepanjang kisah hidupnya kelak menggambarkan betapa sang ibu, Sayidah Khadijah radiyallahu ‘anha telah benar-benar mempersiapkan Fatimah dan kakak-kakak perempuannya agar mampu mandiri dan menjadi sosok yang menyokong tugas berat yang diemban ayahnya, terlebih agar mereka siap menjadi ibu bagi keturunan cemerlang yang akan diteruskan dari rahimnya. Jika dilihat dari proses ini, tampak jelas bahwa seorang ibu yang memiliki visi jauh ke depan amat dibutuhkan bagi perkembangan dan pengasuhan anak-anaknya. Visi yang tidak hanya menjadikan anaknya tumbuh kuat menjadi insan yang tangguh, tetapi juga menjadikannya siap menjadi ibu atau ayah bagi keturunan seterusnya. Sehingga dengan demikian, anak tersebut kelak bukan hanya menjadi individu yang siap mengarungi samudera kehidupannya sendiri, tetapi juga siap mempersiapkan generasi selanjutnya menghadapi samuderanya sendiri yang pastinya akan jauh lebih sulit, sesuai dengan tantangan zamannya.

Mendidik anak adalah sebuah proses panjang penuh perjuangan, dari benih hingga menjadi sebatang pohon yang daunnya merindangi sekeliling, batangnya tegak sebagai sandaran, dan buahnya Potret Ibu Teladan Sepanjang Masa. Di dalam beberapa kisah hikmah, dikatakan bahwa petani kurma di tanah Arab biasa meletakkan bebatuan di atas biji-biji kurma yang ditanamnya. Hal ini dilakukan agar batang kurma tidak tumbuh duluan sebelum akarnya cukup kuat sehingga kelak saat telah menjadi pohon kurma dewasa, akar tersebut kuat menahan angin dan badai. Bagian atas bibit ditekan agar ada proses ‘perjuangan’ untuknya tumbuh.

Dalam surat An-Nisa ayat 9, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan hendaknya orang-orang takut kepada Allah, bila seandainya mereka meninggalkan anak-anaknya, yang dalam keadaan lemah, yang mereka khawatirkan terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaknya mereka bertakwa kepada Allah dan mengucapkan perkataan yang benar.” Ayat ini menegaskan bahwa setiap orangtua wajib membekali anak-anaknya dengan kemampuan, baik kemampuan untuk bertahan hidup maupun kemampuan memiliki bekal yang cukup dalam keimanannya agar anak-anak tersebut menjadi individu yang kuat, baik fisik maupun mental, sekiranya sewaktu-waktu mereka harus hidup secara mandiri.

Mari kita renungkan bersama beberapa pertanyaan sederhana berikut ini, yang mungkin bisa menjadi catatan penting bagi kita mengasuh sang buah hati:

  1. Bagaimana anak-anak kita akan dibesarkan?
  2. Adakah rencana tertentu yang kita rancang dalam pikiran kita berkaitan dengan mereka?
  3. Nilai-nilai apa saja yang kita inginkan dapat dipelajari oleh anak-anak kita?
  4. Apa saja yang sudah kita lakukan agar mereka mendapatkan nilai-nilai tersebut?
  5. Apakah kita memiliki prinsip untuk menyatakan pendapat kita, tentang cara berpakaian mereka misalnya?
  6. Jika ternyata ada masalah muncul, apakah solusi yang telah kita coba terapkan?
  7. Sudahkah kita mengupayakan solusi yang cukup serius, seperti berapa banyak pintu yang telah kita ketuk, berapa banyak ahli yang telah kita datangi, berapa banyak tetes air mata yang telah kita tumpahkan, serta berapa banyak doa yang telah kita panjatkan dalam keprihatinan ini?
  8. Mungkinkah sebenarnya alasan yang mendasari semua permasalahan ini adalah karena kita telah menyingkirkan Allah subhanahu wa ta’ala, Rasul-nya yang mulia, dan prinsip-prinsip Al-Qur’an yang penuh cahaya dari penyelesaian masalah kita, dan justru menyembah pada keinginan dan hasrat kita sendiri sebagai gantinya?”

Suatu hal yang harus menjadi catatan penting bagi kita adalah bahwa bencana terbesar bagi sebuah keluarga adalah ketidakmampuan untuk mengetahui adanya bahaya ‘kobaran api’ di dalam rumah, yakni ketika orangtua tidak mampu merasakan adanya kerusakan akhlak pada anak-anaknya.[2]

Allah subhanahu wa ta’ala memperkenalkan diri-Nya sebagai Dzat Yang Maha Penyayang dan Maha Pengasih, serta menggambarkan sifat belas kasih dan pengampunan-Nya dalam Al-Qur’an sebanyak seratus empat belas kali dengan kalimat yang amat indah: “Bismillahirrahmanirrahim”. Sifat yang mulia ini disematkan pula pada diri seorang perempuan, melalui keberadaan sebuah organ yang ada di dalam dirinya, yang mewakili asma Rahim dari Sang Khalik. Sesungguhnya, kita bisa menganggap perhatian dan perawatan ibu kepada anak-anaknya sebagai manifestasi asma-asma indah Allah, dengan segala kebaikan dan kemurahan-Nya. Tidak ada keraguan bahwa hal itu tidak dapat ditukar atau diserahkan untuk hal lainnya di dunia ini.

Begitu utama dan tingginya posisi seorang ibu sehingga Rasulullah tercinta mengumpamakan keberadaan surga di bawah telapak kakinya. Kekuatan cinta dan doa seorang ibu akan mampu menggetarkan arasy-Nya. Maka tidak mengherankan apabila di balik sosok-sosok besar sepanjang zaman pastilah ada kemuliaan para ibundanya. Salah satu amirul mukminin bernama Sufyan Al-Tsauri memiliki kemuliaan akhlak karena hasil didikan ibunya. Berikut ini adalah nasihat sang ibunda kepada beliau:

Wahai putraku, tuntutlah ilmu dan aku siap membiayaimu dengan pintalanku. Wahai putraku, jika engkau telah mencatat sepuluh kalimat, maka perhatikanlah apakah kamu bertambah takut, sabar dan sopan atau tidak. Jika kamu tidak mendapatinya demikian, maka ketahuilah bahwa semua kalimat tadi akan mebahayakanmu dan tidak bermanfaat bagimu.[3]

Tiga indikasi sifat takut kepada murka Rabbnya, kesabaran dalam menghadapi masalah, dan sopan atau santun dalam akhlak dijadikan sang ibunda barometer bagi setiap ilmu yang dipelajarinya. Tentu saja pesan dahsyat seperti ini hanya bisa diberikan oleh seorang ibu luar biasa yang tengah menyiapkan putranya menjadi insan yang luar biasa pula. Selain nasihat penting ini, ada beberapa hal lain yang bisa kita garis bawahi dari cara para ibunda teladan sepanjang masa mendidik anak-anak mereka agar menjadi pribadi yang tangguh.

Mengajarkan tentang Keberadaan Allah dan Menanamkan Kepercayaan kepada-Nya di Hati Anak-anak sesuai Usia dan Tingkat Pemahaman Mereka

Saat membaca kisah Nabi Ismail yang tengah bersiap disembelih oleh ayahnya, Nabi Ibrahim ‘alaihi aalam, terdapat cuplikan dari sebuah bagian yang amat menggetarkan hati kita, yakni ketika seorang anak kecil bernama Ismail meminta ayahnya untuk menguatkan ikatan tali di tubuhnya agar memudahkan tugas ayahnya mematuhi perintah Allah. Keyakinan hati seorang Ismail kecil ini tentu saja hanya akan hadir dengan begitu kuatnya karena jauh sebelumnya sang ibunda, Hajar, pun adalah sosok yang amat patuh pada semua ketetapan-Nya. Saat ibunda Hajar harus ditinggalkan seorang diri di tanah Makkah hanya bersama bayinya, maka sejak detik itulah Ismail kecil memahami besarnya kekuatan yang didapat dari keyakinan penuh kepada Sang Pencipta.

Menjaga Fitrah Bersih Anak 

Imam Ghazali pernah berpesan: “Hendaknya para ibu makan makanan yang halal dan memiliki adab yang baik. Sifat buruk dari seorang ibu dapat mengalir kepada anak-anaknya melalui air susunya lalu kelak sifat itu akan keluar saat anak mulai beranjak dewasa atau saat ia akil balig.” Pesan ini mengisyaratkan bahwa seorang anak sebenarnya memiliki fitrah yang bersih dan baik, tetapi ibu dan bapaknyalah yang menjadikannya ternoda. Sering kali saat mendidik anak kita berusaha menambahkan banyak hal yang kita inginkan agar ia dapatkan, tetapi tanpa sadar, kita pulalah yang telah mengotori fitrah bersihnya itu.

Begitu pentingnya menjaga fitrah bersih ini sehingga pada saat masih bayi, Rasulullah diserahkan kepada ibu susunya yang tinggal di tempat yang lebih tenang dan bersih serta terjaga lingkungannya agar dijauhkan dari kondisi kota Makkah yang pada saat itu penuh dengan kejahilan.

Menjaga fitrah ini jugalah yang menjadi pesan di balik kisah pemuda bernama Basyir atau Tsabit yang memakan apel yang hanyut di sungai lalu harus menebus kesalahannya itu dengan menikahi seorang perempuan yang menurut ayahnya adalah buta, tuli, bisu dan lumpuh. Namun betapa terkejutnya Basyir ketika mendapati bahwa perempuan tersebut ternyata sama sekali tidak cacat seperti yang disampaikan ayahnya. Meski begitu, perempuan itu tetap membenarkan perkataan ayahnya: “Demi Allah, ayahku berkata jujur, aku buta karena aku tidak pernah melihat sesuatu yang dimurkai Allah. Aku bisu karena tidak pernah mengucapkan satu kalimat pun yang membuat Allah murka. Aku tuli karena, demi Allah, tidak pernah mendengar satu kalimat pun kecuali di dalamnya terdapat rida Allah.” Dan saat ditanyakan apa maksud bahwa dia lumpuh, maka gadis itu menjawab: “Ya, ayah benar dan tidak berdusta. Aku tidak pernah melangkahkan kakiku ke tempat yang Allah murkai.” ujar si gadis yang membuat Basyir, suaminya, begitu terpesona. Dari pernikahan tersebut, lahirlah seorang ulama saleh dan mujadid yang sangat terkenal, Nu’man bin Tsabit atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Abu Hanifah.[4]

Menjadi Teladan Baik dalam Kesalehan 

Dalam kitab Hilyatul Auliya’, Imam Abu Nu’aim meriwayatkan kisah tentang Hasan dan Ali bin Shalih dan ibu mereka. Keduanya adalah saudara kembar yang alim, fakih, dan ahli ibadah. “Adalah Hasan, Ali, dan ibu mereka senantiasa tolong-menolong dalam beribadah. Setiap malam mereka bertiga mengkhatamkan Al-Qur’an. Masing-masing dari mereka akan membaca sepertiga mushaf.[5]

Dalam kisah lainnya, Ibunda Refia membangunkan anak-anaknya tahajud sejak mereka telah terlepas dari popoknya. Sejak itu pula mereka mulai diajarkan Al-Qur’an langsung oleh ibunya sendiri sejak usia 3 tahun dan mengkhatamkannya di usia 4-5 tahun. Mereka terbiasa mengaji dan mendaras bacaan Al-Qur’an di malam hari karena pada siang dan sore hari ibunya akan sibuk mengajarkan Al-Qur’an pada anak-anak lain yang tinggal di desanya. Dari keluarga seperti inilah lahir seorang pemikir dan ulama besar dari desa Korucuk bernama Muhammad Fethullah Gülen yang karya-karyanya diterjemahkan hingga ke dalam berbagai bahasa di seluruh dunia.[6]

Menanggapi Anak dengan Serius dan Memanggil Mereka dengan Panggilan Penuh Penghormatan 

Para ibunda ulama besar tidak pernah memanggil anak-anaknya dengan julukan atau cara yang akan merendahkan mereka. Bahkan sejak mereka masih amat kecil, mereka diberikan panggilan yang menunjukkan rasa hormat dan doa baik atasnya. Bagaimanapun juga, panggilan adalah semacam doa dan cara orangtua memanggil anaknya, yang akan menjadikan anak tersebut menyadari potensi dirinya. Itulah mengapa dalam hadis Rasulullah melarang kita memanggil dengan julukan yang buruk. Di hadis yang lain, Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam menambahkan: “Hormati anakmu dan perbaikilah perangainya.” (HR. Ibnu Majah)

Mendoakan dan Meridai anak 

Dikisahkan bahwa seorang anak yatim bernama Muhammad bin Ismail mengalami sakit mata hingga mengakibatkan kebutaan. Ibunya selalu berdoa sepanjang malam dalam tahajudnya dengan berderai air mata, hingga suatu hari sang ibu bermimpi bertemu Nabi Ibrahim ‘alaihi salam yang berkata: “Wahai muslimah, sungguh Allah telah mengembalikan kedua penglihatan putramu karena engkau sering berdoa kepada-Nya”. Keesokan harinya, dengan izin Allah, didapatinya penglihatan anaknya telah pulih menjadi normal kembali dan tumbuh menjadi ulama besar yang mampu menghafalkan ratusan ribu hadis dan berbagai kitab. Beliaulah yang hingga kini kita kenal sebagai Imam Bukhari.[7]

Mengajarkan Anak Integritas dan Kesetian Tertinggi sebagai Hamba

Integritas dan kesetiaan tertinggi dan termulia yang dapat diajarkan oleh orangtua kepada anak-anaknya adalah rasa kesetiaan dirinya sebagai seorang hamba kepada Tuhannya. Jika perasaan ini telah berhasil ditumbuhkan pada diri anak maka, pastilah ia akan menjadi hamba yang sebaik-baiknya hamba karena rasa setia itu akan menghalanginya mengkhianati Sang Pencipta. Saat pahlawan kebanggaan rakyat Aceh, Teuku Umar, wafat tertembak oleh Belanda pada bulan Februari 1899, putrinya, Cut Gambang, pun bersedih. Namun apa yang dikatakan ibunya, Cut Nyak Dien, pada putrinya itu: “Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang telah syahid, yang senantiasa membakar semangat juang masyarakat Aceh.[8] Perkataan inilah yang tercatat dalam sejarah sebagai bentuk integritas luar biasa perjuangan Cut Nyak Dien, sebuah nasihat singkat tetapi penuh makna yang akan menghidupkan semangat juang besar pada kalbu putrinya. Sikap dan semangat yang sama ditunjukkan pula oleh Ibunda Asma’ binti Abu Bakar terhadap putranya Abdullah bin Zubair ketika berperang melawan Al-Hajjaj. Saat itu putranya yang merupakan seorang khalifah harus berhadapan dengan lawannya, pasukan Al-Hajjaj bin Yusuf Al-Tsaqafi. Nasihat-nasihat Asma’ yang luar biasalah yang membuat putranya bertekad bulat membela agamanya hingga menjadi syahid.[9]

Semangat Tinggi dalam Menuntut Ilmu 

Jika kita melihat kehidupan banyak ulama besar, akan tampaklah bagaimana besar kecintaan mereka terhadap ilmu. Salah satunya adalah kisah tentang Imam Syafi’i yang lahir di Gaza pada 150 H sebagai seorang yatim. Imam Syafi`i dilahirkan oleh seorang  wanita mulia dari suku Azdi. Ibu itu bernama Habibah al-Azdiyah, ada pula yang mengatakan nama beliau Fathimah binti Ubaidillah. Ibu Imam Syafi`i adalah seorang yang pandai, ibu panutan, dan ibu pembimbing yang mengetahui sikap dan perilaku yang tepat diperlakukan kepada anaknya. Beliau mengajak putranya pergi ke Makkah pada usia 10 tahun untuk menuntut ilmu dan belajar bahasa Arab karena beliau ingin agar anaknya dapat menikmati ilmu pengetahuan dan budi pekerti luhur dari kota suci Makkah walaupun dirinya sendiri hanyalah seorang wanita miskin yang enggan meminta-minta karena  menjaga  kehormatannya. Ayah Imam Syafi’i telah  wafat pada saat beliau masih berada dalam kandungan. Di usia yang amat muda, Imam Syafi’i dengan segala keterbatasan ekonomi tetap gigih menuntut ilmu. Bahkan beliau biasa menuliskan hadis atau pelajaran lainnya di atas potongan tulang kering yang ditemuinya di pinggir jalan. Dengan dukungan dari ibunya inilah Imam Syafi’i tumbuh menjadi ulama brilian yang ulet dan tekun mendalami ilmu, mampu menghafal dan memberikan hikmah dari khazanah keilmuannya.[10] Dan dari seorang ibu seperti inilah seorang ulama hebat yang suka melakukan rihlah (perjalanan) dan petualangan ke  berbagai pusat peradaban umat Islam yang menjadi kegiatan  keilmuwan ulama sebelumnya lahir. Pada usia 7 tahun beliau sudah  hafal Al-Qur’an dan menghafal kitab Al-Muwatha’ karya Imam Malik pada saat menginjak usia 10 tahun. Dan dengan izin dari gurunya, Muslim bin Khalid Al-Zanji, pada usia 15 tahun Imam Syafi’i telah mulai berfatwa.[11] Kesukaan beliau untuk berkelana juga menjadikan  Imam Syafi`i ahli dalam sastra dan menguasai syair-syair Arab, terutama syair-syair Hudzail dan legenda mereka, selain juga membantunya mengetahui budaya serta adat istiadat yang berlaku di berbagai kota yang pernah disinggahinya tersebut. Hal ini secara tidak langsung menjadi referensi Imam Syafi’i untuk membangun fatwa-fatwa dalam mazhabnya kelak. Syair-syair beliau kemudian dikumpulkan oleh Syekh Yusuf Muhammad al-Biqa’i  dengan judul Diwan al-Syafi’i yang memuat sekitar 150 syair. Salah satu karya besar beliau adalah kitab al-Risalah yang disebut sebagai kitab usul fikih pertama yang ditulis secara sistematis sehingga dijuluki sebagai Nasir al-Sunnah (penolong sunnah).

Memiliki Ketegaran dalam Keteguhan Berjuang di Jalan Kebenaran Allah 

Dalam sejarah tercatat nama-nama perempuan mulia yang berhasil menorehkan keteguhan luar biasa pada hati anak-anaknya untuk berjuang di jalan kebenaran-Nya. Sungguh halaman buku ini takkan cukup untuk mencatat semua keberanian luar biasa dari ibu-ibu teladan itu. Pada saat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, yang dahulunya bernama Yastrib pada masa itu, semua orang menyambutnya dengan kebahagiaan tiada tara. Maka pergilah pula Ummu Sulaim menyambut Beliau seraya berkata: “Wahai Rasulullah, tak tersisa seorang Anshar pun kecuali datang kepadamu dengan hadiah istimewa. Namun, aku tak mampu memberimu hadiah kecuali putraku ini. Maka ambillah dia dan suruhlah dia membantumu kapan saja Anda inginkan.” Kelak, seperti kita ketahui, putranya yang bernama Anas bin Malik ini akan banyak mencetak ulama-ulama hebat seperti Hasan Al-Bashri, Ibnu Sirin, Asy-Sya’bi, Abu Qilabah, Makhul, Umar bin Abdul Aziz, Tsabit Al-Bunani, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Qatadah As-Sadusi, dan lain-lain.Kisah-kisah menggugah seperti ini akan dapat kita temui pula pada keberanian penyair Khansa saat menghadapi peristiwa syahidnya keempat putranya serta yang tercermin dari ketegaran hati Shafiyah saat di bukit Uhud.

Penulis: Astri Katrini Alafta, S.S., M.Ed., CHt.

 

[1] Abdul Mun’im, Muhammad. 1994. Khadijah Ummul Mu’minin Nazharat Fi Isyraqi Fajril Islam. Al-Haiah al-Mishriyah.

[2] Gulen, M. Fethullah. 2002. From Seed to Cedar, Nurturing the Spiritual Needs in Children. Tughra Books.

[3] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Al-Wara’ (hal. 193) dan Al-Sahmi dalam Tarikh Jurjan (hal. 492).

[4] Dinukil dari Abu Al-Faraj Al-Isbahani dalam kitab Al-Aghani.

[5] Baswedan, Sufyan bin Fuad. 2016. Ibunda Para Ulama. Pustaka Al-Inabah.

[6] Ozdemir, Semsinur. 2014. Hoca Anne ve ailesi. Ufuk Yayınları.

[7] Kisah itu dituturkan Ibnu Hajar Al Asqalani dalam mukadimah Fathul Bari.

[8] Djarot, Eros. Film Tjoet Nyak Dhien. 1988.

[9] Tarikhul Islam, vol. 3 dan Siyar A’lam An-Nubala’, vol. 2 via Al-Mishri, Mahmud. 2006. Shahabiyat Haular Rasul (35 Sirah Shahabiyah). Al-I’tishom.

[10] Rohmah, Anny N. dan Az Zafi, Ashif. Jejak Eksistensi Madzhab Syafi’i di Indonesia. Jurnal Tamaddun Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam. Mei 2020.

[11] Mukhlisin, Al-Ustadz Nurul, L.c., M.Ag. Aqidah dan Manhaj Imam Syafi’i. 2007.

[12] Shahabiyat Haular Rasul (35 Sirah Shahabiyah). Al-I’tishom.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *