Rasulullah Membangun Ekonomi Umat

Penulisan Sirah Nabawiyyah, menurut Sayid Muhammad Al-Maliki Al-Hanafi, menjadi salah satu aktivitas favorit ulama dan cendekiawan. Tidak hanya untuk mendapatkan berkah dari kegiatan menggali keagungan dan kemuliaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lebih dari itu, agar menginspirasi kemajuan dan kemakmuran umat.[1] Berkenaan dengan itu, Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi mengatakan bahwa tipe penulisan sirah telah berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Sirah tidak lagi terbatas pada menghimpun riwayat-riwayat (jam’ al-riwāyāt) saja, tetapi telah beranjak menjadi studi analitis (dirāsah tahlīliyyah) untuk menggali aspek-aspek ajaran Islam.[2]

Sehubungan dengan itu, di sini kita akan membahas tentang bisnis Rasulullah, dengan menguraikan keteladanaan Beliau sejak masa kanak-kanak sebagai penggembala, masa remaja Beliau sebagai pedagang, masa rintisan ekonomi Islam di Makkah, dan masa pengembangan peradaban ekonomi Islam di Madinah.

 Fase Kanak-kanak sebagai Penggembala

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terlahir sebagai seorang yatim. Sejak bayi, Beliau diasuh oleh Halimatus Sa’diyah dari Bani Sa’d. Beranjak usia kanak-kanak, Beliau telah mulai bekerja menggembalakan domba bersama dengan saudara-saudara sepersusuannya. Ketika kembali ke Makkah, Rasulullah melanjutkan pekerjaannya sebagai penggembala domba milik keluarganya dan penduduk Makkah lainnya. Pekerjaan itu dilakukan untuk membantu perekonomian sang paman, Abu Thalib, yang saat itu tengah kesulitan dan memiliki banyak anak.[3]

Melalui itu, Rasulullah memberikan keteladanan untuk berjuang dan tidak berpangku tangan sehingga beliau pun mengajarkan bahwa sebaik-baik rezeki adalah yang dihasilkan dari jerih payah sendiri.[4] Rasulullah juga menyatakan bahwa: “Tidak ada makanan yang lebih baik dimakan oleh seseorang kecuali dari hasil pekerjaannya sendiri.[5]

Abu Syuhbah menyebut bahwa dari aktivitas menggembala tersebut (ra’yul ghanam), Rasulullah menempa dirinya dengan sifat kepemimpinan (ra’iyyah) seperti gigih, jujur, tanggung jawab, tenang, sabar, pengasih, penyayang, peduli, penolong, dan sebagainya.[6] Al-Khudri menyatakan bahwa semua kondisi Rasulullah itu merupakan rahasia Ilahi untuk memperkuat mental dan mempersiapkan akhlak orang pilihan-Nya, yakni dengan mengurusi hewan lemah seperti domba.[7] Al-Zawawi menerangkan bahwa Allah sedang mempersiapkan Rasulullah dengan keterampilan mengurusi domba sebelum terjun langsung memimpin umatnya.[8] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah Allah mengutus seorang nabi kecuali ia menggembala domba.[9]

Fase Remaja sebagai Pedagang

Sebagai pedagang, Rasulullah menuruni jiwa dagang dari suku Quraisy. Sayid Thanthawi menyatakan bahwa suku itu dinamai “quraisy” karena memiliki arti “gemar berdagang”.[10] Patricia Crone menyatakan bahwa buyut Rasulullah, Hasyim bin Abdu Manaf, adalah tokoh penting di jalur perdagangan Makkah ke Gaza. Beliau mendirikan solidaritas dagang (ilaf) antara suku Quraisy dengan pusat perdagangan di Syria dan Yaman, sebagaimana diabadikan di dalam surat Al-Quraisy.[11]

Di usia 12 tahun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perjalanan dagangnya yang pertama ke negeri Syam, mengikuti kafilah pamannya Abu Thalib.[12] Sekembalinya dari Syam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan kegiatan berdagangnya di kota Makkah. Kota Makkah saat itu adalah kota perdagangan yang sangat sibuk karena merupakan jalur perlintasan dagang antara Syam di utara, Yaman di selatan, Persia dan India di timur, serta Afrika di barat.

  1. Doner menyebut Makkah saat itu adalah pusat transfer dagang (trade transfer-point) yang sangat luas yang menghubungkan antara India, Afrika, dan Mediterania.[13] WM. Watt, penulis buku “Muhammad at Mecca” bahkan menyatakan bahwa Makkah tidak hanya menjadi pusat dagang (trade centre), tetapi juga merupakan salah satu pusat keuangan (financial centre) dunia, tempat berkumpulnya berbagai ahli keuangan untuk mengelola berbagai bentuk kegiatan keuangan dalam skala besar.[14]

Ramainya Makkah saat itu tidak hanya memunculkan rasa dengki Abrahah, tetapi juga mengundang rasa heran para orientalis karena Makkah, dengan lahannya yang tandus dan kering, relatif tidak memiliki komoditi dagang yang sebanding dengan keramaian tersebut.[15] Bagi Muslim yang beriman, fenomena itu tidaklah mengherankan jika merujuk pada doa Nabi Ibrahim yang diabadikan di dalam Al-Qur’an agar menjadikan kota Makkah yang kering dan tandus itu beserta para penduduknya menarik di hati manusia.[16]

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pun terlibat dalam kesibukan perdagangan itu. Beliau bahkan menjadi sangat masyhur, tidak semata-mata karena skill dan metode bisnisnya yang unggul, tetapi juga karena kejujuran dan sifat amanahnya yang tidak tertandingi, hingga Beliau dikenal dengan julukan al-Shadiq al-Amin.[17]

Kemasyhuran itu pun pada akhirnya menarik minat seorang saudagar ternama di Makkah, Khadijah binti Khuwailid, untuk menjalin kerjasama dalam mekanisme bagi hasil untuk memimpin delegasi dagang besar-besaran menuju Syam. Ibnu Ishaq mengisahkan bahwa Khadijah menawarkan nisbah mudharabah terbaik kepada Baginda Rasulullah yang belum pernah ia berikan sebelumnya kepada mitra-mitra dagangnya yang lain. Dalam perjalanan itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didampingi Maisarah, seorang budak laki-laki kepercayaan Khadijah.[18]

Sekembalinya dari Syam, Maisarah mengisahkan kepada Khadijah tentang kebaikan, kejujuran, dan keamanahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memberikan keberkahan berupa keuntungan besar dan naungan awan di sepanjang perjalanan mereka yang terik. Mendengar hal itu, Khadijah bertambah kagum dan menyampaikan keinginannya untuk dinikahkan dengan Rasulullah. Di hari pernikahan mereka, Abu Thalib menyampaikan khotbah: “Sungguh keponakanku ini, Muhammad bin Abdullah, adalah pibadi yang kemuliaannya tiada tara. Meski sedikit hartanya, baginya harta hanyalah bayangan yang akan hilang, berubah-ubah, dan tidak lebih dari sekadar pinjaman yang akan kembali ke Pemiliknya. Demi Allah, ia akan membawa berita besar.[19]

Pernyataan Abu Thalib itu selaras dengan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, yakni ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada Abu Dzar bahwa kekayaan adalah kaya hati (ghina al-qalb) dan kefakiran adalah fakir hati (faqr al-qalb).[20]

Setelah pernikahannya dengan Khadijah radiyallahu ‘anha, ekonomi Rasulullah kian membaik. Kondisi ini digambarkan dalam surat Al-Duha ayat 8 berikut ini: “Dan Kami temukan engkau dalam keadaan susah payah, maka Kami buat engkau kaya.[21]

Al-Nadwi menyimpulkan bahwa sifat dan akhlak Rasulullah yang menonjol dari perjalanan hidupnya itu meliputi: kejujuran, amanah, sabar, percaya diri, tawaduk, sungguh-sungguh dalam berusaha, dan ikhlas dalam bekerja.[22]

Fase Rintisan Ekonomi Islam di Makkah

Setelah kehidupan ekonominya mapan, Rasulullah mulai mempersiapkan diri menerima tugas membawa risalah Islam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak menghabiskan waktunya dengan menyendiri (khalwat) di Gua Hira dan merenungkan (tahannuts) kondisi kaumnya yang tenggelam dalam kejahiliahan. Istrinya selalu menyokong dengan perbekalan yang cukup selama bermalam di dalam gua.[23]

Setelah menerima wahyu dan memulai dakwahnya secara diam-diam (sirr), pranata ekonomi Islam telah mulai dikenalkan. Hal itu terkait dengan Darul Arqam, yang merupakan rumah yang diserahkan oleh Arqam bin Abi Arqam untuk kepentingan dakwah Islam. Arqam menyerahkan rumah itu dengan ikrar agar rumah itu ”tidak dijual dan juga tidak diwariskan”. Ikrar itu menjadi model bagi ajaran wakaf dalam Islam.[24]

Sistem ekonomi kedua yang diperkenalkan pada awal Islam adalah tabarru’ (donasi/derma), takaful (jaminan/tolong-menolong), dan udlhiyah (pengorbanan). Hal itu sebagaimana dilakukan oleh Abu Bakar Al-Shiddiq ketika membebaskan tujuh budak Muslim termasuk Bilal yang disiksa oleh orang-orang kafir Quraisy. Tindakan itu tidak hanya menjadi model bagi sistem derma dalam Islam, tetapi juga memberikan jaminan keamanan dan kebebasan bagi kemanusiaan.[25]

Penolakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap iming-iming kekayaan dan takhta dari kaum Quraisy agar Beliau meninggalkan dakwahnya merupakan prinsip dasar bagi umat Islam bahwa dunia bukanlah tujuan. Apa pun yang dilakukan setiap manusia, termasuk dalam berbisnis, maka tujuan utamanya adalah rida Allah, bukan memperturutkan hasrat terhadap perhiasan dunia, sebagaimana dicetuskan dalam surat Ali Imran ayat 14-15.[26]

Keteguhan untuk tidak bergeming dari perintah Allah berlanjut hingga terjadinya peristiwa boikot atau embargo ekonomi kaum Quraisy terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para pengikutnya, utamanya Bani Muthalib dan Bani Hasyim. Hal itu tertulis pada Shahifat al-Hishar (Piagam Boikot) yang disimpan di dalam Kakbah. Boikot itu meliputi larangan menikah dengan umat Islam, larangan masuk pasar, larangan berjual-beli, dan larangan memberi makanan. Peristiwa itu berlangsung tiga tahun hingga memaksa umat Islam kala itu memakan dedaunan dan kulit hewan.[27]  Dalam kondisi sulit itu pun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperkenalkan ajaran sedekah dan puasa sunah, sebagai bagian dari instrumen ekonomi umat Islam.[28]

Peristiwa itu juga mendorong Rasulullah memerintahkan para pengikutnya untuk hijrah dua kali ke Habasyah, sebuah negeri yang dikenal sebagai kota perdagangan yang aman. Hal ini juga menjadi satu sisi pesan Sirah Nabawiyah tentang pentingnya membaca peluang pasar dalam berbisnis, selain kepentingan untuk menjaga keamanan umat.[29]

Fase Peradaban Ekonomi Islam di Madinah

Hijrahnya Rasulullah ke Madinah menjadi momentum berdirinya tatanan ekonomi Islam yang utuh, dimulai dari aksi tabarru’, takaful, dan udlhiyah yang dilakukan kaum Anshar dengan berbagi harta dan tempat tinggal dengan saudaranya, kaum Muhajirin, yang harus meninggalkan kekayaannya di Makkah. Allah menyebut kaum Anshar berkat tindakannya itu sebagai kaum yang beruntung (muflihun) karena tiada mengharap balasan kecuali rida Allah. Sementara kaum Muhajirin disebut sebagai orang-orang yang teguh hati dalam kebenaran (shadiqun) sebagimana dinyatakan dalam surat Al-Hasyr ayat 8-9. Itulah orang-orang Mukmin yang menjual dirinya demi rida Allah sebagaimana disebut dalam surat Al-Baqarah ayat 207.

Sebelum tiba di Madinah, yakni ketika singgah di desa Quba, Rasulullah telah meletakkan fondasi tatanan ekonomi Islam dengan membangun Masjid Quba yang menjadi cikal bakal bagi badan wakaf dalam Islam. Di tempat itulah pertama kalinya Rasulullah menghimpun wakaf kaum Mukminin, baik yang berasal dari penduduk Quba sendiri maupun dari sisa-sisa harta yang berhasil dibawa oleh kaum Muhajirin. Wakaf itu tidak hanya untuk membangun masjid, tetapi juga digunakan untuk pembebasan rumah sehingga menjadi model bagi kegiatan wakaf tanah, bangunan, dan sumber air. [30]

Berdasarkan perjalanan Islam di masa Rasulullah selanjutnya, wakaf (di samping sedekah, zakat, dan infaq) menjadi instrumen terpenting dari pembangunan ekonomi Islam, dalam kerangka pemberdayaan umat.

Saat melanjutkan perjalanan menuju Madinah, unta yang ditunggangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti di atas lahan milik dua anak yatim, yaitu Sahl dan Suhail bin ‘Amr dari Bani Najjar. Kedua yatim tersebut menyampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa akan menghibahkan tanahnya itu untuk pembangunan Masjid Nabawi. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menampik keinginan mereka dan memutuskan membeli lahan tersebut.[31] Dari sikap tersebut, Rasulullah mengajarkan umat Islam untuk dapat memilah kapan dapat menerima, kapan harus memberi, dan kapan saatnya berbisnis. Dalam kasus di atas, Rasulullah mengedepankan sifat pengasihnya dengan membeli lahan yang hendak dihibahkan oleh dua anak yatim.  Sifat ini amat menonjol dalam kehidupan ekonomi Rasulullah berikutnya, seperti membayar harga lebih ketika membeli kepada pedagang lemah, mempromosikan barang dagangan pedagang kecil, dan sebagainya, yang tentunya akan menyita banyak paragraf jika membahasnya satu per satu.

Segera setelah itu, Rasulullah turun langsung untuk membangun masjid, dengan ikut bekerja dengan tangannya sendiri. Hal itu dilakukan Rasulullah agar seluruh Sahabatnya lebih bersemangat dalam menyelesaikan proyek pembangunan Masjid Nabawi. Qays bin Thalaq meriwayatkan bahwa Rasulullah juga turun tangan langsung mendesain bangunan masjid dan membagi tugas pekerjaan kepada para Sahabat sesuai dengan keahliannya masing-masing: ada yang bertugas mengukur, menyiapkan fondasi, mengangkat batu, menyiapkan bahan perekat (semen), memotong pohon dan pelepah kurma, dan lain sebagainya.[32]  Pada aspek ini, Rasulullah mengajarkan tentang manajemen kerja yang saat ini telah berkembang menjadi disiplin ilmu khusus.

Selanjutnya, Rasulullah melakukan survey terhadap pasar-pasar di kota Madinah. Beliau menemukan bahwa pasar-pasar yang ada tidaklah cocok bagi umat Islam karena adanya praktik kecurangan, manipulasi, dan riba. Maka dari itu, Rasulullah pun memutuskan untuk mendirikan pasar yang baru sembari mengatakan kepada umat Islam: “Inilah pasar kalian, maka janganlah kalian mengurangi (jatah tempat dan takaran = curang) dan jangan pula menerapkan upeti.”[33]

Sesuai dengan karakter masyarakat dan kondisi geografis Madinah, Rasulullah juga memberikan perhatian khusus terhadap pengembangan agrikultur. Rasulullah mulai melakukan gerakan menghidupkan tanah mati (ihya’ al-ardl) dan mengelola sumber mata air (tanzhim al-miyah). Kedua gerakan itu menjadi penopang utama keberhasilan perkebunan Madinah. Berkaitan dengan itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa memakmurkan tanah yang tidak dimiliki seseorang, maka ia lebih berhak memilikinya.” Abdul Halim ‘Uwais menyatakan bahwa Rasulullah juga pernah menyatakan bahwa bagi orang yang telah menebang pohon, maka hendaklah ia menanaminya kembali dengan yang baru. [34]

Demi menjamin kehidupan sosial yang kosmopolitan di Madinah, sebagai pemimpin negara, Rasulullah menerbitkan Shahifat al-Madinah (Piagam Madinah) yang menjadi ikatan perjanjian sosial, ekonomi, dan politik seluruh penduduk Madinah. Piagam Madinah berlaku sebagai konstitusi negara yang juga berfungsi sebagai perekat aliansi bangsa yang mengikat seluruh penduduk, baik dari kaum pribumi (Anshar), kaum pendatang (Muhajirin), antarsuku, dan lintas agama (Islam, Yahudi, dan Nasrani). Piagam itu sekaligus memberi jaminan bagi perkembangan ekonomi umat Islam yang terbuka, sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah.

Penulis: Halima Tusadia

Referensi

[1] Sayyid Muhammad Al-Maliki al-Hanafi, “Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam al-Insan al-Kamil”, Beirut: Al-Maktabah al-‘Ashriyah, 1428/2007, h. 7.

[2] Muhammad Sa’id Ramadlan al-Buthi, Fiqh al-Sirah al-Nabawiyyah ma’a Mujiz li Tarikh al-Khilafah al-Rasyidah, Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1991; Channel Yotube Al-Imam al-Syahid al-Buthi https://www.youtube.com/watch?v=RC0a2_0wgvw&t=104s.

[3] Du’a Sammarah, “‘Amal al-Rasul ‘indama kana ya’isyu ma’a ‘ammihi”, dalam https://mawdoo3.com, 26 Agustus 2021; Abu Sa’id Al-Mishri, Al-Mawsu’ah al-Mujizah fi al-Tarikh al-Islami,  dalam https://mawdoo3.com,  Juz 1, h. 12; Syaikh Muhammad Shunqur, “Hal isytaghala al-Nabiyy shallallahu ‘alaihi wa sallam bi Ra’y al-Aghnam”,   dalam https://www.alhodacenter.com/article/2621#_ftn1.

[4] Dr. Arif Al-Syaikh, “Min Ayna Kana Yunfiq al-Rasul ‘ala Ahlihi”, dalam https://www.alkhaleej.ae, 8 Juli 2016; Shafiy al-Rahman al-Mabarkafuri, Al-Rahiq al-Makhtum: Bahtsun fi al-Sirah al-Nabawiyyah, Dar Ihya’ al-Turats, 1997, h. 50.

[5]Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thauq al-Najat, 1422 H, Hadis Nomor 2072.

[6] Muhammad Abu Syuhbah, Al-Sirah al-Nabawiyyah ‘ala Dlaw’i al-Qur’an wa al-Sunnah, Damaskus: Dar al-Qalam, t.t., h. 209; Ali Muhammad Shallabi, Al-Sirah al-Nabawiyyah: ‘Ardl Waqa’i’ wa Tahlil Ahdats, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2008.

[7] Muhammad bin Afifi al-Bajuri al-Khudri, Nur al-Yaqin fi Sirat Sayyid al-Mursalin, Damaskus: Dar al-Fayha’, 1425 H, h. 18.

[8]Ahmad ibn ‘Abd al-Fattah al-Zawawi, Syamail al-Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beirut: Thab’ah Iskandariyah, t.t., Juz 2, h. 254.

[9] Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thauq al-Najat, 1422 H, Hadis Nomor 2262.

[10] Muhammad Sayyid Thanthawi, Al-Tafsir al-Wasith li al-Qur’an al-Karim, Kairo: Al-Ma’arif, 1431/2010, h. 6866.

[11] Patricia Crone and M. Cook, Hagarism: The Making of The Islamic World, Cambridge: Cambridge University Press, 1977, h 6-7.

[12] Bawwabat al-Sirah al-Nabawiyyah, “Safaruhu Shallallahu ‘alaihi wa sallama ma’a ‘ammihi ila al-Syam,”, dalam https://www.alsirah.com.

[13] Fred McGraw Donner, “Mecca’s Food Supplies and Muhammad’s Boycott”, dalam Journal of the Economic and Social History of the Orient, Vol. 20, No. 3 (Oct., 1977), h. 249.

[14] William Montgomery Watt, Muhammad at Mecca, Oxford: The Clarendon Press, 1953, h.

[15] Patricia Crone, Meccan Trade and The Rise of Islam, New York: Gorgias Press, 2004, h. 7.

[16] QS. Ibrahim,14/37.

[17] Abu al-Hasan bin Atsir, Asad al-Ghabah fi Ma’rifat al-Shahabah, Kairo: Dar al-Kutub al-‘Ammah, 1994, Juz 2, h. 393.

[18] Shafiy al-Rahman al-Mabarkafuri, Al-Rahiq al-Makhtum: Bahtsun fi al-Sirah al-Nabawiyyah, Dar Ihya’ al-Turats, 1997, h. 50-51.

[19] Muhammad bin Afifi al-Bajuri al-Khudri, Nur al-Yaqin fi Sirat Sayyid al-Mursalin, Damaskus: Dar al-Fayha’, 1425 H, h. 15.

[20] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Kairo: Al-Mathba’ah al-Salafiyah, 2015, Jilid 11, h. 272.

[21] Abu ‘Abdillah al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, cet. Ke-2, 1963, Juz 20, h. 99.

[22] ‘Ali Abu al-Hasan al-Nadwi, Al-Sirah al-Nabawiyyah, Damaskus: Dar Ibn Katsir, 1425 H, h. 139.

[23] ‘Amir Muhammad Nizar Jal’uth, Al-Sirah al-Nabawiyyah al-Iqtishadiyyah, Markaz Abhats Fiqh al-Mu’amalat, 2020, h. 105.

[24] Ibid., h. 108.

[25] Ibid., h. 110-115.

[26] Ibid., h. 122.

[27] Ibid., h. 125-126; ‘Ali Muhammad Shallabi, Al-Sirah al-Nabawiyyah: : ‘Ardl Waqa’i’ wa Tahlil Ahdats, Beirut: Dar al-Ma’arif, 2008, h. 260.

[28] Amir Muhammad Nizar Jal’uth, Al-Sirah al-Nabawiyyah al-Iqtishadiyyah, Markaz Abhats Fiqh al-Mu’amalat, 2020, h. 142.

[29] Ibid., h. 142.

[30] Ibid., h. 142.

[31] Ibid., h. 182.

[32] Ibid., h. 183.

[33] Ibid., h. 194.

[34] ‘Abd al-Halim ‘Uwais, Bina’ al-Rasul al-Janib al-Iqtishadi fi Daulat al-Madinah, dalam alukah.net, 20 Januari 2013.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *