Pernikahan Rasulullah Saw dengan Ummu Habibah RA

Kala itu permusuhan penduduk Mekkah terhadap umat Islam tengah mencapai puncaknya. Abu Sufyan merupakan pemimpin Mekkah yang paling gencar menyulut api kebencian dan memerangi umat Islam. Ia seperti elang yang mampu mengatur semua lini, termasuk merencanakan makar-makar yang penuh tipu muslihat demi menghabisi Rasulullah SAW. Bahkan Abu Sufyan rela memberi upah sangat tinggi bagi siapapun yang mampu membunuh Baginda Nabi. Tak salah jika Abu Sufyan adalah dalang di balik kebiadaban dan kekejaman yang terjadi di medan Uhud. Ia jugalah yang mengatur strategi jahat pada pertempuran Khandaq.

            Pada saat itulah Allah SWT menurunkan ayat-Nya melalui perantara malaikat Jibril,: “Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang di antara kamu dengan orang-orang yang pernah kamu musuhi di antara mereka. Allah Mahakuasa. Dan Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang.” (Q.S: 60.7).

Satu hal yang menarik perhatian kita bersama adalah mengenai waktu diturunkannya ayat di atas. Secara eksplisit ayat tersebut memberitahukan bahwa api permusuhan penduduk Mekkah akan redup dan lenyap. Namun pada saat ayat tersebut diturunkan permusuhan dan penyiksaan yang mereka lakukan tengah gencar-gencarnya. Lebih dari itu, ayat di atas mengabarkan bahwa cahaya kasih sayang justru yang akan mengganti situasi permusuhan yang sedang berlangsung dan perubahan tersebut akan terjadi atas kehendak Allah Swt. Namun untuk mewujudkan semua ini diperlukan sebab-sebab tertentu seperti sifat pemaaf, toleransi, cinta, kemuliaan, kelembutan dan welas asih.

Di samping itu, ayat tersebut juga menguatkan sebuah prinsip mulia yang juga terkandung pada ayat-ayat dan hadist-hadist lainnya, yaitu prinsip mewujudkan perdamaian di antara manusia meski hegemoni permusuhan tengah menyelimuti alam semesta. Prinsip ini akan terus berlaku hingga akhir zaman[1]. Islam menuntut kita untuk menjadi aktor terwujudnya kabar gembira tersebut. Hal lain yang menarik dari kandungan ayat di atas adalah: bahwa di antara musuh yang paling keras itu suatu hari nanti akan meletakkan senjatanya, mereka kelak akan menanggalkan sifat keras hati mereka, dan akhirnya  hidup dalam pelukan Islam sebagai pahlawan kasih sayang dan kesetiaan!

Tak ada rasa kebencian sedikitpun di hati  Rasulullah meski hanya sebesar zarah. Yang beliau musuhi adalah perbuatan buruk yang merasuk ke dalam hati mereka (kaum Quraisy Mekkah), bukan pribadinya! Dengan demikian, para penduduk Mekkahlah yang senantiasa menyatakan permusuhannya kepada Rasulullah. Abu Sufyan adalah satu dari sederet tokoh kafir Quraisy yang terang-terangan menyatakan permusuhan kepada Rasulullah Saw. Meski ia tak ikut serta dalam pertempuan Badar[2], namun ia memiliki sumbangsih besar dalam pertempuran Uhud dan Khandaq. Abu Sufyan dalang di balik serangan-serangan biadab terhadap umat Islam.

Lebih tepatnya, ayat Alquran di atas turun ditujukan kepada Abu Sufyan, seorang musuh yang suatu hari nanti akan berubah menjadi orang yang terkasih karena cahaya Islam masuk kedalam hatinya. Lebih dari itu, ayat tersebut mengisyaratkan bahwa kekejaman dan permusuhan akan sirna dengan izin Allah. Hati penduduk Mekkah akan berubah menjadi hamparan rumput hijau nan indah. Tidak dapat dipungkiri untuk mewujudkan berita gembira tersebut diperlukan sikap  kasih sayang dan kesabaran aktif tanpa batas[3].

Tidak ada keraguan bahwa rasa kasih sayang akan tertanam melalui jalan saling mengenal dan berdialog. Tak kenal maka tak sayang! Manusia memusuhi apa yang tidak diketahuinya. Abu Sufyan dan kafir Quraisy lainnya membangun permusuhan terhadap Rasulullah lantaran mereka sendiri belum mengenal, bahkan malah menjauh dari beliau. Oleh karena itu, ayat di atas memberi petunjuk kepada umat Islam untuk melakukan pendekatan dengan penduduk Mekkah  dimulai dari Abu Sufyan. Di antara cara yang paling efektif adalah melalui hubungan kekerabatan dan nasab.

Dalam kandungan ayat, “Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang di antara kamu dengan orang-orang yang pernah kamu musuhi di antara mereka. Allah Mahakuasa. Dan Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang.” (Q.S: 60.7), Abdullah bin Abbas menafasirkan bahwa lafaz “al-mawaddah” pada ayat di atas mengisyaratkan akan  terwujudnya cinta dan kasih sayang di antara penduduk Mekkah melalui jalinan pernikahan antara Rasulullah dan Ummu Habibah binti Abu Sufyan[4]. Maka secara tidak langsung Ummu Habibah kini menjadi Ummu al-Mukminin, dan Muawiyah sebagai pamannya orang-orang mukmin[5].

Saat ayat tersebut turun, Rasulullah SAW menyimak firman Allah dengan seksama, lalu menerapkannya semaksimal mungkin. Adapun bagaimana pernikahan beliau dengan Ummu Habibah, berikut penjelasannya:

Rasulullah SAW mengutus ‘Amr bin Umayyah menghadap al-Najasy di Habasyah untuk menyampaikan dua titah. Yang pertama, Rasulullah menyerukan dakwah Islam kepada al-Najasy[6] yang baru saja menampuk kekuasaan pasca raja al-Ashamah[7]. Seperti yang kita ketahui Bersama, raja Ashamah telah memberi tempat dan perlindungan kepada Jafar dan para sahabat lainnya enam belas tahun silam[8]. Adapun titah yang kedua, Rasulullah ingin mempersunting Sayyidah Ummu Habibah, Ramlah binti Abu Sufyan[9], lantaran suaminya meninggal setelah hijrah ke Habasyah[10]

Pada awalnya Abu Sufyan bergembira setelah mengetahui kabar wafat menantunya, Ubaidullah bin Jahsy, hal itu karena putrinya, Ummu Habibah[11], bisa kembali ke Mekkah dan tinggal bersamanya lagi. Namun perasaan gembira itu tiba-tiba sirna, setelah mendengar kabar bahwa putrinya telah diperistri baginda Nabi SAW[12].

Sejak saat itu, Abu Sufyan kerap kali berpikir untuk menyelamatkan putrinya dan mencoba kembali menjalin hubungan baik dengannya serta melupakan apa yang telah terjadi di masa lalu. Di saat yang sama ia tak kuasa menerima kenyataan bahwa putrinya telah menikah dengan seseorang yang telah lama ia perangi. Tentu saja hal itu bukanlah perkara yang mudah bagi Abu Sufyan!

Meski kabar pernikahan tersebut sangat mengusik pikiran sang pemimpin Quraisy, namun penduduk Mekkah juga tahu kalau ia tak bisa berkutik. Karena itu ia sempat berkata, “Kuda jantan itu tak mampu menyentuh hidungnya[13]”. Abu Sufyan bagai burung dalam sangkar, tak bisa berbuat apa-apa.

Pernikahan tersebut membuat Nabi secara kekerabatan sejajar dengan Sofwan bin Umayyah yang merupakan simbol kezaliman dan tirani, sebab keduanya sama-sama menjadi menantu Abu Sufyan. Sofwan adalah suami Umaymah binti Abu Sufyan[14], saudari kandung Ummu Habibah.

Apa yang kami sampaikan sejauh ini adalah bagaimana proses pernikahan Nabi dengan Ummu Habibah. Sekarang kita beralih ke situasi yang terjadi pada Abu Sufyan pasca pernikahan putrinya dengan Rasulullah Saw:

Sejak Ummu Habibah menjadi istri baginda Nabi, Abu Sufyan mulai melihat kota Madinah dengan cara pandang yang berbeda dari sebelumnya. Abu Sufyan sering pulang-pergi ke Syam untuk urusan perniagaan. Perjalanan menuju Syam harus melalui kota Madinah. Ketika sudah mendekati Madinah, Abu Sufyan merasakan ada bagian dari dirinya di kota itu, yakni putrinya Ummu Habibah. Setiap ada kesempatan, ia pasti singgah menemui sang putri. Dengan demikian, sama halnya Abu Sufyan mengunjungi rumah baginda Nabi. Hal itu terus ia lakukan meski dendamnya kian memuncak terlebih pasca kekalahannya di Badar. Setiap kali berkunjung, ia selalu merasakan hal-hal baru dalam dirinya. Sebelumnya Abu Sufyan hanya mengetahui keburukan kota Madinah melalui berita yang sampai padanya. Namun saat ini ia menyaksikannya secara langsung.

Suatu hari Abu Sufyan pergi mengunjungi putrinya, Ummu Habibah. Saat ia hendak menduduki alas yang biasa   Rasulullah gunakan, Ummu Habibah segera melipatnya.

“Apakah kamu keberatan jika aku duduk di atas alas duduk ini?” Tanya Abu Sufyan kepada putrinya. Lantas Ummu Habibah menjawab, “Ini alas duduknya Rasulullah, sementara engkau lelaki musyrik yang belum suci!”. “Duhai putriku, celakalah kamu!” tangkas Abu Sufyan.

Abu Sufyan merasa ada perubahan drastis dari sikap putrinya. Perubahan itu tak lain bersumber dari keikhlasan penghambaannya kepada Allah yang Esa. Ummu Habibah mengatakan kepada ayahnya, “Allah telah memberiku hidayah melalui Islam. Sementara Engkau wahai ayahku, sang pemuka Quraisy, bagaimana bisa Islam luput darimu?, dan bagaimana mungkin Engkau masih menyembah batu yang tuli dan buta?[15]

Sejak saat itu Abu Sufyan mulai menyadari bahwa selama ini dirinya berada dalam kegelapan. Kini mentari hidayah mulai memasuki relung kalbunya. Segala sikap yang ia saksikan, seluruh ucapan yang ia dengar dan semua manusia yang ia temui membuatnya terdorong  untuk menghancurkan berhala-berhala yang selama ini ia agung-agungkan. Dan di sinilah, Abu Sufyan mulai menyadari bahwa berita tentang umat Islam yang ia terima di Mekkah selama delapan belas tahun lalu itu adalah sebuah kebohongan belaka. Abu Sufyan seakan terlahir kembali sejak hari pernikahan Rasulullah dengan Ummu Habibah. Kelak Abu Sufyan menjadi perpanjangan tangan Rasulullah sekaligus memegang peran penting pada saat hari pembebasan Mekkah.

Strategi Rasulullah dalam usaha membebaskan Mekkah sangat tepat, yaitu melalui jembatan kekerabatan meski saat itu semua peluang masih tertutup rapat. Rasulullah mulai mendekati penduduk Mekkah melalui Abu Sufyan yang pulang-pergi antara Syam dan Mekkah. Dan betul saja, cara pandang dan kebijakan politik Abu Sufyan kian berubah pasca pernikahan putrinya. Sikapnya pun tak lagi dikendalikan oleh kebencian dan permusuhan, Ia tidak lagi mempersiapkan pertempuran ataupun menumpahkan darah! Kini justru Abu Sufyan memilih untuk duduk bersama dan berdialog! Kabar gembira dari surat al-Mumtahanah ayat tujuh telah menjadi nyata.

Demikianlah, permusuhan yang sudah mengakar selama delapan belas tahun, kini telah melebur dan mencair oleh hangatnya hubungan nasab yang baru saja terjalin. Dan inilah Rasulullah SAW, Sang al-Quran berjalan dan mendapat bimbingan wahyu dari Allah mulai memetik hasil dari strategi tersebut. Pernikahan Rasulullah ini tak hanya memberikan dampak positif pada diri Abu Sufyan saja,  tapi juga kepada putrinya yang lain, Sayyidah Durrah[16]. Tak lama berselang pasca pernikahan Nabi dengan Ummu Habibah, ia pergi ke Madinah tanpa sepengetahuan ayahnya untuk menyatakan keislamannya di hadapan Rasulullah.

Sesungguhnya Rasulullah SAW telah merancang masa depan gemilang dengan upaya maksimal dan kerja keras tiada henti. Beliau telah meletakkan pondasi yang kokoh dalam misi pembebasan kota Mekkah yang kelak akan menjadi kenyataan hanya dalam beberapa tahun berikutnya. Dimana Abu Sufyan akan memiliki peran penting dalam upaya   pembebasan kota Mekkah yang damai tanpa pertikaian dan pertumpahan darah setetespun!

Salah satu tujuan utama dari pernikahan Rasulullah bersama Ummu Habibah adalah pembebasan Mekkah. Cara pandang dan sikap Abu Sufyan berubah drastis lantaran pernikahan tersebut. Ia semula dikenal dengan sikapnya yang keras dan kejam terhadap Islam dan Rasulullah. Kini ia memiliki cara pandang yang berbeda di antara kalangan pemuka kafir Quraisy di saat mereka tengah membincangkan persoalan Madinah. Meski mereka mencoba untuk membuat Abu Sufyan kembali pada prinsip awal, namun tetap saja usaha mereka berakhir sia-sia. Akhirnya, mereka pun tidak pernah lagi meminta bantuan Abu Sufyan kecuali dalam beberapa situasi sulit yang menimpa kaumnya.

Kini Khalid bin al-Walid, Ikrimah bin Abi Jahl, Shafwan bin Umayyah, dan Suhail bin ‘Amr menggantikan posisi Abu Sufyan. Mereka berempat bergerak bersama untuk terus menyebarkan permusuhan dan kebencian terhadap Islam. Sebagian dari mereka adalah tokoh utama yang menghadang Rasulullah di Hudaibiyyah serta yang menghalangi rombongan umat Islam dalam peristiwa Umrah al-Qada’. Mereka terus melakukan penyerangan terhadap umat Islam. Mereka tak pernah menyadari bahwa Rasulullah mengetahui semua tindakan mereka namun Beliau tidak  pernah membalasnya lantaran rasa kasih sayangnya.

Penulis: Dr. Rasyid Haylamaz

[1] Lihat Q.S Ali Imran 3/103, Q.S Al-anfal 8/63, Musnad al-imam Ahmad 3/57,76-77; 3/104 -105 ;253;4/42

[2] Abu Sufyan tidak ikut serta dalam perang Badar. Saat perang terjadi, ia  dalam perjalanan pulang dari perniagaan di negeri Syam. Namun kedua putranya, Hanzhalah dan Amir ikut bergabung dalam pasukan kaum musyrikin di medan Badar. Hanzhalah terbunuh dalam peperangan itu, sedangkan Amir ditawan kaum muslimin. Tatkala Abu Jahal sang pemimpin tunggal Mekkah terbunuh di Badar, tampuk kekuasaan Mekkah langsung turun ke Abu Sufyan. Penduduk Mekkah yang  masih dirundung duka atas kematian Abu Jahal, langsung meyerahkan kepemimpinan kota Mekkah beserta warisan kebancian pada Abu sufyan.  Setelah insiden  Badar, Abu Sufyan berubah  menjadi macan bengis dalam menjalankan roda pemerintahan Mekkah. Tindakan pertama yang dia lakukan saat itu adalah mengupah pembunuh bayaran untuk melenyapkan Rasulullah Saw.

[3] Ini merupakan salah satu ayat suci al-quran yang memberitakan kabar gembira. Namun hal tersebut hanya akan dipahami bagi orang yang senantiasa mengikuti petujuk Nabi Saw dan senantiasa berjuang menebarkan ajaran Nabi Saw hingga kepada hati-hati yang tertutup.

[4] Sebagian Ahli tafsir menafsirkan bahwa Kata مَوَدّة dalam ayat ini mengisyaratkan terjalinnya kekerabatan antara Rasulullah Saw dan Abu Sufyan dikemudian hari. Lihat tafsir Muqaatil bin sulayman 4/302, Zajjaj: Ma’any Alquran waa iraabuhu 5/157, Tafsir Tsa’laby 4/99, Fakhruddin arrazy : Mafaatihul gahybi ,29/50.

[5] Ibnu asaakir, Taarikh Dimasq,3/208.

[6] An-najasyi  merupakan gelar yang disematkan kepada para raja di Habasyah. Kata An-najaasy sendiri berasal dari bahasa habasyah, kemudian dialih bahasakan menjadi bahasa arab dengan nama Najaasyi, Yang berarti penguasa daerah aksum timur dan eritria sekarang. Gelar ini sama seperti julukan “kaisar” bagi penguasa Romawi, Julukan “Kisra” bagi penguasa Persia, julukan “khaqaan” bagi penguasa Turki dan julukan “Firaun” bagi raja Mesir (Lihat: Ibnu kasir al-bidaayh wan nihayaah Jild 3 Hal 208).

[7] Raja An-najasyi baru ini pun memeluk islam sebagaimana raja sebelumnya. Dalam balasan suratnya kepada Rasulullah Saw, ia menyatakan kesediaannya untuk masuk islam dan meninggalkan semua  kerajaan dan kekuasaan demi berada disamping Rasulullah Saw namun Nabi menjawab agar tetap melanjutkan kekuasaannya.

[8] Dalam surat ini juga Rasulullah Saw memerintahkan para sahabat  yang telah hijrah enam belas tahun yang lalu agar kembali.

[9]Sayyidah Ummu Habibah lebih dikenal dengan sebutan kuniyyahnya ketimbang Namanya sendiri. Lihat Ibnu saad :Attabaqat al-kubraa  8/76.

[10] Umm Habibah menikah dengan Ubaidillah bin Jahsy, putra bibi baginda Nabi Saw sekaligus saudara kandung Abdullah bin Jahsy yang syahid di Uhud dan Sayyidah Zainab binti Jahsy Umm Almukminin. Ia juga memiliki saudari kandung, Hamnah yang dinikahi oleh Sayyiduna Mush’ab Ra. Ubaidillah bin Jahsy termasuk orang yang pertama-tama masuk Islam kemudian berhijrah ke Habasyah Bersama keluarganya dan menetap di sana sekitar enam belas tahun.  Di akhir hidupnya, Ia terperangkap dalam perangkap setan dan keluar dari cahaya Islam dan memeluk agama Nasrani. ( Usud Ghabah, Ibnu Asir, 8/116)

[11] Umm Habibah berkata,” Aku melihat dalam mimpi, wajah suamiku Ubaidillah bin Jahsy berubah dengan rupa yang amat buruk. Aku terbangun kaget atas mimpi buruk itu. Lalu aku menceritakannya kepada suami, namun Ia tidak mengindahkannya dan terus terjerumus dalam kubangan minuman keras hingga meninggal dunia. ( Al-Ishabah Fi Tamyiz Al-Shahabah, Ibnu Hajar, 8/140)

[12]  Suatu hari, Abu Jahal menampar putri baginda Nabi, Fatimah Al- Zahra. Lalu Ia pun mengadu kepada sang Ayah Saw. Nabi berkata, “Sampaikan kejadian ini kepada Abu Sufyan”. Setelah menemuinya, Fatimah mengadukan apa yang baru saja terjadi. Lalu Abu Sufyan membawanya menemui Abu Jahal. Saat bertemu, Abu Sufyan berkata,” Tamparlah Abu Jahal sebegaimana Ia menamparmu”. Sayyidah Fatimah pun melakukannya. Saat tiba di rumah, Ia pun memberi tahu apa yang telah dilakukan Abu Sufyan. Rasulullah mengangkat kedua tangannya seraya berdoa,” Ya Allah, jangan biarkan apa yang telah diperbuat Abu Sufyan tanpa ganjaran. Ibnu Abbas berkata,” Tidak ada keraguan bagiku bahwa masuk Islamnya Abu Sufyan karena berkat doa baginda Nabi Saw. ( Tadwin Fi Akhbar Qazwin, Imam Qazwainy, 1/201)

[13] Lihat: Tabaqat Al Kubra, Ibnu Saad,7/79

[14]  Lihat: Usud Al-Ghabah, Ibnu Al Asir, 7/397

[15] Kitab Al-Maghazy, Imam Al-Waqidy, 2/792

[16]  Sebagian referensi menyebutkan bahwa nama beliau adalah Azzah atau Hasanah. ( Usud Al Ghabah, Ibnu Asir, 7/102)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *