Tahun-Tahun Bersama Sang Ibu Susu dan Peristiwa Syaqqus Shadr

 

 

Telah menjadi kebiasaan di antara penduduk Makkah kala itu untuk menitipkan anak-anak mereka yang baru lahir pada seorang ibu susu agar bayi-bayi itu dapat tumbuh lebih kuat dan berbicara dalam bahasa yang lebih teratur.

 

Secara iklim, Mekkah adalah daerah yang sangat panas dan sulit. Selain itu, beberapa kabilah yang tinggal di pedalaman masih memiliki pola kehidupan dengan menjaga budaya aslinya, sehingga jauh dari hal-hal kurang baik dari kehidupan kota dan tidak terpengaruh pada kebiasaan-kebiasaan buruk jahiliyah. Untuk menjauhkan anak anak dari semua aspek atmosfer buruk lingkungannya, mereka pun dibesarkan pada suasana yang lebih natural, sehingga lambat laun di Mekkah menjadi kebiasaan umum dan seakan-akan terbentuk kebutuhan akan hal ini. Maka pada waktu-waktu tertentu akan datang sekumpulan wanita ke Mekkah untuk menemui ibu-ibu bayi yang ingin menitipkan anaknya, lalu setelah transaksi selesai mereka akan pulang kembali ke pedalaman padang pasir untuk membesarkan bayi-bayi itu di sana. 

 

Untuk keperluan inilah maka berangkat lah dari negeri Bani Sa’ad Haris bin Abduluzza dan istrinya Halimah binti Abdullah bin Haris bersama sepuluh wanita lain ke tanah Mekkah. Namun, karena musim paceklik yang berkepanjangan di negeri mereka, maka kekeringan menerpa seluruh penjuru kampung halaman membuatnya kering kerontang, tak tersisa suatu apapun. Anak-anak yang datang bersama mereka menangis kelaparan sementara ibu-ibu mereka tak memiliki apapun untuk mengisi perut anak-anak itu. Dikarenakan mereka tak menemukan apapun untuk dimakan atau diminum, maka air susu mereka pun mengering, hanya tersisa beberapa tetes untuk memuaskan sedikit dahaga bagi bayi-bayi yang kelaparan itu. Satu-satunya harapan mereka adalah turunnya hujan yang akan membawa hawa segar bagi tanah airnya. Maka perjalanan kali itu benar-benar terasa panjang tak ada habisnya. Ditambah lagi Halimah mengendarai keledai yang lemah sementara Haris berada di atas unta tua miliknya yang berjalan perlahan karena kesusahan sehingga mereka tidak bisa mengejar rombongan teman-temannya.  Saat mereka sampai di Mekkah, kebanyakan dari teman-temannya bahkan telah menyelesaikan urusannya dan masing-masing menggendong seorang anak susuannya serta memulai perjalanan pulang ke tempat asalnya. 

 

Halimah dan Haris pun mulai berkeliling dengan tujuan yang sama. Satu-satunya bayi yang belum mendapatkan ibu susunya hanyalah Muhammad, bayi yatim dari Abdullah. Setiap yang datang menanyakan bayi tersebut, langsung mengurungkan niatnya saat mendengar bahwa anak itu adalah seorang yatim, karena mereka khawatir tidak akan mendapatkan upahnya. Mereka tidak sadar bahwa bayi itu adalah bayi istimewa yang paling ditunggu oleh semua orang. Akhirnya Halimah dan Haris juga sampai di rumah itu, namun seperti yang lain mereka pun ragu dan berharap mendapatkan bayi lainnya. Akan tetapi, tak satupun bayi yang mereka dapatkan untuk disusui. Setelah perjalanan sebegitu jauhnya Halimah ragu untuk pulang dengan tangan kosong, lalu pada suaminya ia berkata:

 

“Aku tidak mau pulang dan bertemu dengan semua teman-temanku tanpa membawa bayi susuan, ayo kita kembali lagi dan mengambil bayi yatim tadi, ujar Halimah”.

 

“Baiklah jika itu memang yang kau inginkan, mungkin juga Allah akan memberkahi kita dengan kehadiran bayi itu, memberikan pada kita kebaikan dan ketenangan.”1 jawab Haris suaminya. Segera setelah itu mereka kembali menghampiri rumah Abdulmutthalib.

 

Melihat kedatangan mereka kembali, Ibunda Aminah menjelaskan pada mereka bahwa bayi itu bukanlah bayi biasa seperti umumnya bayi lain. Ia menceritakan bagaimana kemudahan yang dialami selama proses kehamilan, mimpi yang dilihatnya saat itu dan semua penjelasan dari tabir mimpi itu satu per satu. Oleh karena, hal ini bukan hanya bagi Ibunda Aminah saja namun juga merupakan amanah bagi seluruh kemanusiaan hingga hari Kiamat kelak, maka harus benar-benar diperhatikan dengan kepedulian yang tinggi agar jangan sampai ada yang membahayakannya walaupun hanya sehelai rambutnya sekalipun. 

 

Keluarga Haris merasakan kedamaian luar biasa di dalam hati mereka saat mengambil bayi itu.  Ketika Halimah Sa’diyah menggendongnya, bayi itu segera minta disusui. Tak disangka, air susu yang sebelumnya mengering itu seketika penuh dengan susu yang berlimpah. Setelah Rasulullah kenyang lalu putra Halimah bernama Abdullah yang selama ini selalu kelaparan, akhirnya bisa menyusu dengan lahapnya. Lalu kedua bayi itu tertidur pulas, padahal selama ini Abdullah sering rewel dan sulit tidur.

 

Saat mereka mendekati unta tua tunggangannya kembali mereka dikagetkan dengan beberapa perubahan yang tampak, keberkahan menyertai mereka dengan susu berlimpah dari unta tersebut, bahkan ia tampak lebih kuat dan segar dari sebelumnya. Mereka memeras susu-susu tersebut dan meminumnya hingga kenyang. Malam ketika mereka datang ke Mekkah saat itu, adalah malam paling membahagiakan sepanjang hidup keluarga itu. Keesokan paginya Haris berkata pada istrinya Halimah:

 

“Ketahui lah wahai Halimah, ternyata engkau memilih seorang bayi dari keturunan yang sangat mulia.” 

 

Seperti juga suaminya, Halimah pun menyadari keberkahan itu dan berkata:

 

“Demi Allah aku bersumpah bahwa aku pun berharap demikian sebelumnya.”

 

Setelah semua urusannya selesai di Mekkah, keluarga yang telah menemukan anak untuk disusui itu pun memulai perjalanan pulang ke kampung halamannya.  Ibunda Aminah memandangi putranya itu lamat-lamat dengan penuh kasih sayang, lalu setelahnya ia menitipkan bayi itu pada lindungan Sang Maha Agung Rabb yang Maha Penyayang agar tak terjadi suatu hal yang tidak diinginkan pada anaknya itu. 

 

Halimatussa’diah naik ke atas  hewan tunggangannya sembari menggendong bayi Muhammad yang Mulia, seketika ia menyaksikan bahwa hewan tunggangan yang tadinya lemah dan sudah lunglai itu berubah tiba-tiba dan menjadi sigap dan gagah berlari. Bahkan, walaupun mereka baru sampai ke tanah Mekkah sehari sebelumnya, mereka bisa menyusul kumpulan kafilah teman-teman mereka yang telah berangkat sebelumnya, sehingga tidak lagi tertinggal di belakang seperti sebelumnya.

 

 Tentu saja semua yang menyaksikan hal ini tak mampu mencerna apa yang sesungguhnya terjadi, karena walaupun Halimah dan Haris masih tampak letih karena perjalanan sebelumnya, tetapi kecepatan mereka dalam menempuh perjalanan itu mencengangkan semua orang. Tanpa menunggu lama, mereka bertanya pada Halimah:

 

“Hai putri Zuaib, apa gerangan yang tengah terjadi? Bukankah biasanya kau selalu tertinggal di belakang kami? Atau jangan-jangan, hewan ini bukanlah tungganganmu sebelumnya?”

 

Halimah yang amat yakin dengan apa yang dialaminya, dan memahami betapa berkahnya pekerjaan yang diambilnya itu pun menjawab:

 

Wallahi benar! Ini benar-benar hewan yang kupakai sebelumnya.” Lalu segera dilanjutkan olehnya:

 

“Wallahi hingga hari ini, ini adalah satu-satunya bayi terbaik yang paling membawa berkah bagi kami.”

 

Belum selesai ia menyampaikan hal ini, segera mereka bertanya lagi:

 

“Apakah bayi itu anak keturunan Abdul Muthalib?”

 

“Ya”, jawab Halimah. 

 

Ya, saat itu Halimah dan suaminya Haris diliputi rasa takjub dan kegembiraan atas limpahan kebaikan yang mereka rasakan, tentu saja… selalu ada kebaikan atas apa pun yang menimpa kita.2

 

Akan tetapi, limpahan nikmat itu ternyata bukan hanya untuk mereka saja; tanah di kampung halamannya yang pada kondisi sebelumnya kering dan tidak subur berubah menjadi lahan subur dan penuh berkah sehingga kambing-kambing pun dapat makan hingga kenyang dan memberikan susu yang berlimpah pula. Bahkan para peternak kambing lainnya memanggil para penggembala mereka dan berkata sambil memarahi mereka:

 

“Dasar kalian ini! Kalau saja kalian bawa kambing-kambing kami untuk merumput di tempat kambing-kambing milik Halimah merumput, pastinya mereka akan kenyang dan menghasilkan banyak susu pula seperti kambing milik Halimah itu.” Setelah itu, semua teman-temannya memandang heran dan kagum atas keberkahan dan karunia yang didapatkan oleh Halimatus sa’diah tersebut.   

 

Pada masa enam bulan bayi itu diantar pulang ke Mekkah untuk mengunjungi tanah kelahirannya, lalu kembali ke tempatnya dibesarkan hingga dua tahun. Sang Penghulu Alam semesta itu pun telah tumbuh membesar. Ia pun disapih dari penyusuannya dan masa yang dijanjikan telah selesai, tiba waktunya untuk berpisah. Walaupun hati mereka tak ingin berpisah namun ada tenggat waktu yang sudah mereka sepakati. Maka mereka membawa Muhammad kecil kembali pulang untuk diserahkan pada Ibunya. 

 

Halimatussa’diah yang sangat menyayangi bayi itu seperti anak kandungnya sendiri, merasa sangat sedih. Setiap ia memikirkan akan perpisahan itu, hatinya semakin terasa sempit, seolah ada satu bagian dari tubuhnya yang akan diambil darinya. Ia berpikir alangkah baiknya jika bayi mungil yang menjadi wasilah bagi kebanggaan seluruh alam itu tinggal beberapa lama lagi bersamanya. Walaupun hanya dengan sedikit harapan, ia mencoba bertanya pada Aminah tentang apa yang menjadi beban pikirannya:

 

“Aku khawatir dengan adanya wabah di Mekkah yang bisa menjangkiti bayi ini. Mohon izinkan agar anak yang kusayangi ini tinggal bersama kami beberapa lama lagi,” ucapnya mengiba.

 

Sangat sulit bagi ibu kandung Muhammad untuk mengabulkan permintaan ini. Oleh karena itu pada awalnya Ibunda Aminah tidak terlalu menyetujui permintaan ini. Akan tetapi setelah menyadari bahwa memang benar sedang ada wabah penyakit yang menyebar di sekitarnya dan karena beliau amat mengkhawatirkan keselamatan bayinya maka walaupun berat terpaksa diberikan kembali izin tersebut. Keluarga Haris yang kembali dapat pulang ke kampung halaman Bani Sa’ad bersama bayi yang sangat mereka sayangi itu diliputi perasaan bahagia tak terkira yang sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata. 

 

Peristiwa Syaqqus Shadr (Pembelahan Dada)

 

Setelah beberapa waktu berlalu, suatu hari Muhammad yang masih kecil itu sedang bermain bersama saudara-saudara sepersusuan dan anak-anak kecil dari Bani Sa’ad. Mereka mendekati hewan-hewan gembalaan yang ada di sekitarnya dan memberikan rumput pada kambing-kambing itu. Sama seperti hari itu, ketika sedang bermain-main bersama di bagian belakang rumah mereka, lalu Abdullah saudara sepersusuan Muhammad berlari dengan nafas terenggah-enggah menemui ibunya Halimah. Ia  berkata dengan antusias:

 

“Ada dua laki-laki berbaju putih mengambil saudaraku yang keturunan Quraisy itu. Mereka meletakkannya di tanah dan membelah perutnya, lalu diambilnya yang ada di dalamnya lalu ditutupnya kembali”3, ujarnya. Dua pria yang datang itu merupakan dua malaikat yang salah satunya adalah Jibril ‘alaihi salam dan mereka mengambil kalbu Rasulullah serta mencucinya dengan air zam-zam. 

 

Ayah dan ibu susunya dijalari kecemasan yang teramat sangat. Sambil berlari mereka mendatangi tempat yang dimaksud oleh putranya. Saat itu mereka mendapati Muhammad berdiri dengan wajah pucat pasi. Halimah dan Haris begitu ketakutan, jantung mereka berdebar kencang. Pertama-tama Halimah, lalu kemudian Haris pun memeluknya, dan berkata:

 

“Ada apa denganmu putraku sayang”, ucap mereka.

 

“Aku didatangi dua orang lelaki berbaju putih. Salah satunya membawa tempayan yang terbuat dari emas penuh dengan salju. Kedua orang itu menangkapku, lalu menelentangkanku di tanah. Mereka membelah dadaku, mengeluarkan hatiku dan membedahnya menjadi dua. Mereka mengeluarkan gumpalan hitam darinya dan membuangnya. Kemudian membersihkan dan menyucikan hatiku dengan air salju itu sampai bersih. Lalu salah satu dari mereka berkata pada yang satunya”:

 

“Timbang lah ini dan bandingkan dengan sepuluh orang dari umatnya. Mereka menimbangku dengan membandingkan pada sepuluh orang lain dan aku lebih berat.” Lalu :

 

“Kalau begitu timbang dengan seratus orang.”

 

“Aku pun ditimbang dan dibandingkan dengan seratus orang dan ternyata tetap saja aku lebih berat.” Kali ini :

 

“Timbang dengan seribu orang dari umatnya.”

 

“Aku ditimbang dengan seribu orang dan tetap lebih berat.” Melihat hal ini laki-laki itu kembali berkata:

 

“Biarkanlah ia, bahkan jika kau timbang ia dengan seluruh umatnya maka akan tetap lebih berat dirinya.” 4

 

Suami istri itu menjadi sangat cemas dan khawatir. Sesampainya di rumah Haris berkata pada istrinya:

 

“Wahai Halimah! Aku takut jika terjadi sesuatu pada anak ini. Bagaimana kalau kita segera mengantarkannya pulang pada keluarganya sebelum terjadi sesuatu.”

 

Halimah pun berpikiran sama. Ya, walaupun selama ini mereka selalu berada dalam keberkahan yang tak disangka-sangka dengan wasilah anak itu, namun sekarang keadaannya di luar perkiraan mereka dan mulai ada orang-orang tak dikenalnya yang juga memperhatikan anak itu. Mereka tidak bisa membayangkan apa yang bisa terjadi lagi setelah ini. Maka yang terbaik adalah memulangkan anak itu sebelum resiko buruk menimpanya.

 

Segera mereka memulai perjalanan. Sesampainya di tempat yang dituju ibunda Aminah bertanya pada Halimah:

 

“Apa yang tiba-tiba membawamu hari ini ke sini? bukankah sebelumnya engkau sendiri yang bersikeras ingin tetap merawat anak ini?” Tanya beliau keheranan.

 

“Ya, memang kami mengalami banyak keberkahan dengan anak ini dan aku berusaha keras memenuhi kewajibanku untuknya. Tapi, ada beberapa hal yang kutakuti dapat menimpanya, dan karena aku yakin kau akan sangat senang dengan kehadirannya maka oleh sebab itulah kubawa ia kemari lagi”, jawab Halimah. Namun jawaban ini tidak memuaskan hati seorang ibu yang sedang penasaran seperti Aminah saat itu. Maka ia berkata lagi:

 

“Ada apa denganmu, tolong jawablah dengan jujur apa yang terjadi ! Aku takkan melepaskanmu hingga kau benar-benar menjelaskan semua apa yang terjadi. Jangan-jangan, apakah kau takut bahwa apa yang terjadi ini adalah karena perbuatan syaitan?”

 

“Ya!” Jawab Halimah.

 

“Tidak, ini tidak mungkin!” kata Aminah dengan tegas.

 

“Aku bersumpah bahwa syaitan tak mungkin bisa membahayakan anak ini. Aku yakin sekali ada hal serius yang terjadi menyangkut putraku ini. Lagipula, bukankah telah ku jelaskan padamu tentang keadaannya.” 

 

“Ya, sudah Anda ceritakan sebelumnya”, jawab Halimah pelan. Ibunda Aminah yang merasa perlu menjelaskan lagi hal tersebut lalu berkata:

 

“Saat aku sedang mengandung putraku ini, aku melihat cahaya keluar dari tubuhku dan dengan cahaya ini istana-istana Busrā yang ada di Syam menjadi bercahaya. Kemudian, saat masa kehamilannya tak sedikitpun aku merasakan semua kesulitan yang biasa dirasakan oleh wanita yang sedang hamil. Pada saat lahir pun, tangannya diletakkan ke bawah, sementara kepalanya diangkat ke langit.”

 

“Baiklah kalau begitu, jika demikian pulang lah kalian ke kampung halamanmu dengan tenang.”5 Maka sejak saat itu, selesailah sudah masa kehidupan Rasulullah bersama Bani Sa’ad.

 

Penulis: Dr. Reşit Haylamaz/Diambil dari buku karya beliau, Tuanku, Sang Nabi.

 

Referensi:

 

  1. Ibn Hisyâm, Sirah, 1/300; Ibn Sa’d, Tabakât, 1/110, 111
  2. Ibn Hisyâm, Sirah, 1/ 301; İbn Sa’d, Tabakât, 1/111; Tabarî, Tarih, 2/127
  3. Anas Ibn Mâlik (radiyallahu anhu) menjelaskan bahwa bekas luka yang ada di tubuh Rasulullah dikarenakan peristiwa pembelahan dadanya itu tampak berupa sebuah garis. Lihat Muslim, Sahih, 1/147 (162)
  4. Ibn Hisyâm, Sirah, 1/301; Tabari, Tarih, 2/128. Berdasarkan jawaban yang diberikan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam sebagai jawaban atas pertanyaan seorang Sahabat beberapa tahun kemudian dan digabungkan dengan pernyataan yang diberikan oleh Halimah dan Haris pada hari itu. 
  5. Ibn Hisyâm, Sîrah, 1/301, 302; Ibn Sa’d, Tabakât, 1/112; Tabarî, Tarih, 2/128