Esensi Ka’bah yang merupakan bangunan pertama yang didirikan untuk Allah ta’ala seiring bergulirnya waktu kian melenceng dari tujuannya. Kini tempat suci ini dipenuhi banyak berhala. Manusia yang tak mampu melenyapkan fitrah penghambaan dalam jiwanya, akhirnya mencari ketenangan melalui pemujaan berhala yang ia buat sendiri dari tanah atau batu. Mereka mendatangi berhala untuk melakukan undian sebelum mengambil sebuah keputusan penting; menyembelih hewan kurban di depan berhala sebagai bentuk kesyukuran, bahkan saat ditimpa musibah atau ketakukan, mereka mendatangi berhala tersebut untuk mendapatkan ketenangan.
Pada mulanya berhala-berhala tersebut merupakan representasi leluhur yang dihormati dalam masyarakat. Berhala-berhala masyhur seperti Hubal, Naila, Isaf dan Lat dahulunya dibuat sebagai tanda penghormatan kepada leluhur, namun pada generasi-generasi selanjutnya berhala itu dipuja-puja hingga akhirnya dianggap sebagai dewa dan Tuhan. Rasulullah Al-Amin diutus ke muka bumi untuk menghapus ideologi pemujaan berhala dan menegakkan kembali ajaran tauhid. Sebelum menjadi Rasul, Nabi Muhammad telah menentang perbuatan orang-orang jahiliyah yang menyembah berhala, tidak pernah sekalipun Beliau meminta pada berhala tersebut. Bahkan saat remaja, meski didesak paman dan bibinya untuk melakukannya, Beliau tak pernah menurutinya, tanpa segan Beliau terang-terangan menyalahkan perbuatan tersebut. Saat ini, Muhammad Al-Amin telah diutus sebagai Nabi, Sang utusan terakhir yang begitu dinantikan umat manusia! Nabi Muhammadlah yang akan mengembalikan kesucian Ka’bah seperti dahulu kala, akan memusnahkan sesembahan-sesembahan palsu yang dianggap Tuhan, dan menjauhkan umat manusia dari mengkonsumsi makanan haram.
Akan tetapi, untuk mewujudkan semua itu membutuhkan waktu yang tidak singkat. Diperlukan metode penyampaian yang tepat, ibaratnya jika ingin membasmi nyamuk hendaknya terlebih dahulu membersihkan dan mengeringkan got-got yang ada. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menyelesaikan sebuah masalah, Beliau menggunakan metode yang dapat menyelesaikan sampai ke akar-akarnya. Dengan risalah wahyu yang turun, baginda Nabi mengemban tugas agung, bukan hanya untuk orang-orang disekitar Ka’bah, tapi untuk memberantas kebobrokan moral hingga tuntas di seluruh penjuru dunia. Jika metode Nabi ini dipraktikkan dengan penuh kesadaran saat ini, maka tak ada problematika kehidupan yang tidak bisa terselesaikan.
Sikap yang Nabi tampakkan kepada Sayidina Ali dan Zaid bin Haritsah tatkala mengunjungi Ka’bah dan mendapati berhala-berhala di sekitarnya, menunjukkan betapa sulitnya menahan diri kala penyimpangan masyarakat tengah berada di puncaknya. Suatu hari saat memasuki Ka’bah, Baginda Nabi yang kala itu bersama Zaid bin Haritsah, sangat terganggu dengan keberadaan patung-patung di sekitarnya. Dengan mengambil sehelai kain yang telah dibasahi, Nabi lalu memukulkannya ke berhala-berhala tersebut seraya berucap,”Celakalah mereka, bagaimana mungkin mereka menjadikan berhala-berhala itu sekutu bagi Allah yang telah menciptakan semua makhluk, sementara berhala-berhala itu mereka buat sendiri!” Nabi pun mencela mereka.[1] Sikap baginda Nabi ini disaksikan oleh Sayidina Ali dan Zaid yang masih belia. Saat mendapatkan kesempatan di hari berikutnya, mereka pun menunjukkan sikap tegas atas patung-patung batu dan kayu yang tak mampu memberi manfaat atau mudharat tersebut.
Suatu hari, mereka datang ke Ka’bah. Kondisi di sekitar Ka’bah saat itu tak seperti biasanya, tak ada orang-orang yang tampak kecuali mereka saja. Tiba-tiba muncul di benak mereka ingin melakukan seperti apa yang telah dilakukan Nabi Ibrahim terhadap berhala-berhala dahulu. Terpikir oleh mereka bahwa mengubur berhala tersebut dalam tumpukan sampah adalah cara terbaik, tapi untuk melakukan hal tersebut mereka belum sanggup. Ini adalah gejolak jiwa terdalam mereka yang mesti dilampiaskan. Namun, ini adalah pelampiasan yang belum terarah. Akhirnya, mereka pergi mengambil tanah dan kotoran lalu menaburinya di atas berhala-berhala yang disembah dan diagungkan penduduk Mekkah!
Saat pagi hari tiba, Musyrikin Makkah menemukan berhala-berhalanya telah berlumuran tanah dan kotoran, mereka naik pitam seakan air mendidih menghujani kepala mereka. Mereka pun berjanji akan menghukum seberat-beratnya bagi orang yang telah berani melecehkan sesembahannya. “Siapa yang berani melakukan hal ini pada tuhan kami!” teriak mereka sembari membersihkannya dengan air dan susu, lalu memohon maaf pada patung- patung batu dan kayu itu yang sebenarnya benda mati tak punya pendengaran dan pikiran.[2]
Mungkin Sayidina Ali dan Zaid melakukan hal ini pertama kalinya. Artinya, keyakinan pada ketauhidan yang kian terpatri di dalam hati membuat mereka semakin memiliki dan bepihak pada kebenaran. Namun, cara seperti ini bukanlah cara yang tepat! Sebab perbuatan ini akan sangat berbahaya, diibaratkan jika sang pemilik bangunan kristal termegah yang memancarkan cahaya melempar bangunan kaca orang lain dengan batu. Hal ini akan menyebabkan bangunan megah miliknya juga akan dirusak bahkan lebih parah lagi. Saat sesembahan mereka dinodai, akan memicu mereka melakukan pelecehan terhadap Allah ta’ala dengan cara yang lebih buruk. Pada dasarnya, kaum Musyrikin Makkah dari sebelumnya sudah melakukan berbagai pelecehan dan melontarkan ancaman,” Wahai Muhammad! Janganlah mengatakan perkataan buruk tentang sesembahan kami, atau kami melecehkan Tuhanmu dengan perkataan-perkataan kotor.
Ya, saat keadaan memanas lantaran peristiwa yang baru terjadi pada sesembahan kaum musyrikin, Malaikat Jibril turun membawa wahyu kepada baginda Nabi, tak lama ayat itu pun tersebar diantara kaum muslimin. Allah berfirman dengan jelas:
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan”.[3]
Dengan demikian ayat di atas menyampaikan larangan tegas atas pelecehan terhadap berhala-berhala. Dengan turunnya ayat ini terselesaikanlah permasalahan tersebut sampai ke akar-akarnya sehingga tidak akan terulang lagi. Karena Allah juga menyebutkan bahwa setiap orang akan menganggap baik apa yang mereka perbuat dan yakini. Oleh karenanya, janganlah membuang-buang waktu dengan mengomentari sesembahan orang lain yang pada akhirnya memberi dampak negatif dari berbagai sisi.
Referensi:
[1] Pada riwayat yang lain disebutkan bahwa suatu hari Rasulullah datang ke Ka’bah bersama Sayidina Ali. Ketika Sayidina Ali memecahkan sebuah berhala, Baginda Nabi tidak mengatakan apa-apa. Imam Al-Haitsami, Majmu’atul Zawaid, 6/23.
[2] Al-Hindi, Kanzu’l-Ummâl, 14/107 (38084)
[3] QS. Al-An’âm, 6/108; Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan datangnya para pemuka Quraisy ke kediaman Abu Thalib sebelum wafat untuk meminta persaksiannya. Al-Wâhidî, Asbâbu Nuzûli’l-Qur’ân, 224, 225.