Suatu hari di awal kenabian, Zaid bin Haritsah yang tinggal serumah, mendatangi Nabi dan ingin bertanya. Lantaran Ia merasakan ada nuansa berbeda yang sedang terjadi di dalam rumah, namun apa itu, ia belum mengetahuinya. Selama ini, Zaid belum pernah melihat ayah angkatnya beserta Sayidah Khadijah melakukan gerakan-gerakan yang baru saja ia saksikan. Nabi berdiri tegak dan ibunda Khadijah juga ikut berdiri di belakangnya. Ia juga baru kali ini mendengar apa yang mereka ucapkan. Sambil terheran-heran, Zaid terus memerhatikan gerakan-gerakan ruku dan sujud yang dilakukan Nabi dengan penuh khusyuk.[1]
Selesai shalat, Zaid langsung bertanya kepada baginda Nabi tentang gerakan yang baru saja dilakukan. Tibalah waktunya bagi Nabi untuk menyampaikan kebenaran! Baginda Nabi pun menoleh ke Sayidina Zaid. Dengan kehangatan seorang ayah, beliau menjelaskan satu demi satu. Lantunan beberapa ayat suci Alquran juga diperdengarkan ke telinga Zaid. Yang terakhir, Nabi mengajaknya beriman kepada Allah dan RasulNya.
Mungkinkah Zaid menolak ajakan tersebut? Tentu tidak, bahkan Ia rela berpisah dengan kedua orang tuanya demi membersamai Nabi. Jauh sebelum wahyu turun, cinta Nabi telah memenuhi hatinya lantaran sikap luhur yang Nabi tunjukkan padanya. Kini, sosok yang sedang duduk dihadapannya ialah seorang Nabi yang akan membimbing hidupnya dan menuntunnya pada kehidupan bahagia di dunia dan akhirat.
Yang teristimewa bagi Zaid, bahwa sosok yang ia cintai selama ini telah menjadi seorang Rasul. Tanpa ragu, Zaid mengucapkan dua kalimat syahadat dengan suka rela yang bersumber dari kalbunya. Ia pun telah masuk ke dalam kafilah iman yang penuh cahaya, tak lama setelah Ibunda Khadijah dan Ali bin Abi Thalib sebelum Sayidina Abu Bakar masuk Islam[2]. Mulai saat itu, Zaid dengan dibersamai Ali akan menyebarkan dakwah Islam dan menjadi salah satu Sahabat Nabi yang paling teguh pendirian.
Catatan kaki:
[1] Pada masa awal Islam di Makkah, rakaat shalat hanya berjumlah dua rakaat yang dilakukan dua kali dalam sehari, yaitu sebelum matahari terbit dan setelah terbenam. Orang-orang beriman menunaikan shalatnya secara sembunyi, di tempat yang jauh dari pantauan penduduk Makkah. Hal itu karena kondisi umat Islam waktu itu masih sangat lemah sehingga ibadah ditunaikan dengan rahasia.
[2] Ibnu Al-Atsir, Usdu Al-Ghabah fi Makrifat As-Shahabah, 2/350 No. 1829, Ibnu Abdi Al-Bar, Al-Isti’ab fi Makrifat As-Shahabah, No. 847