Musim haji hampir tiba. Orang-orang Quraisy mulai merasa gundah lantaran akan terbukanya peluang bagi para jemaah haji dari luar Kota Makkah untuk bertemu Sang Nabi. Mereka khawatir jika Nabi akan memperkenalkan kebenaran kepada mereka dan memperdengarkan ayat-ayat Alquran. Bagaimanapun, solusi dari permasalahan besar ini harus segera ditemukan. Mereka harus mencari cara untuk mencegah para jemaah haji berkomunikasi dengan Nabi, paling tidak, melakukan sebuah propaganda terhadapnya sehingga walaupun terjadi komunikasi di antara mereka ucapannya tidak akan dipercaya atau diabaikan begitu saja.
Untuk menemukan solusi dari permasalahan ini, para pemuka Quraisy kemudian berkumpul di rumah Walid bin Mughirah guna berdiskusi. Tujuan mereka tidak lain adalah mencari cara untuk menghalangi terjadinya kontak antara Nabi dan para jemaah haji sehingga komunikasi apapun tidak terjadi serta menutup semua pintu yang memungkinkan tersampaikannya ajaran baru tersebut.
Walid yang termasuk sesepuh dan sangat berpengalaman diantara mereka membuka forum diskusi,
“Wahai orang-orang Quraisy sekalian, sebagaimana yang kalian tahu musim haji sudah di ambang pintu, bangsa Arab dari berbagai penjuru jazirah hijaz akan beramai-ramai berdatangan ke Makkah! Mari kita diskusikan bersama apa yang akan kita lakukan terhadap lelaki itu (Muhammad), agar nantinya diantara kita tidak terjadi perbedaan pendapat dan tidak ada perbedaan dalam pelaksanaannya. Jika tidak, bisa saja salah satu dari kalian mendustakan yang lain dan saling menyalahkan tindakannya sehingga kepercayaan masyarakat akan hilang terhadap kalian.”
“Sebelumnya, apakah engkau ada usulan wahai bapaknya Abdul Syams! Sampaikan pada kami agar kita diskusikan bersama,” jawab mereka, sebenarnya jawaban ini sudah diprediksi Walid.
“Sebaliknya, kalianlah yang memberi usulan terlebih dahulu dan aku akan mendengarkan,” desak Walid.
“Bagaimana jika kita menyebarkan propaganda dengan menyebutnya seorang ‘Dukun’,” usul salah seorang yang hadir.
“Tidak!” jawab Walid bin Mughirah, “Demi Tuhan julukan itu tidak tepat! Dia bukanlah ‘Dukun’, semua kita tahu siapa dukun itu! Apa yang dilakukan Muhammad sedikitpun tidak ada kesamaannya dengan seorang dukun, ucapannya bukanlah mantra-mantra!”
“Kalau begitu, juluki saja dia orang gila!” kata mereka.
“Dia tidak gila! Kita sangat paham bagaimana orang gila itu, tidak terdapat kesamaan antara dia dan orang gila, ia tak pernah linglung, juga tidak sempoyongan saat berjalan atau berkomat kamit sendirian.” Seru Walid.
“Bagaimana jika seorang penyair!”
“Dia bukanlah penyair! Kita sangat pandai dalam membedakan antara syair dan yang bukan syair dari segi qafiyah, bentuk bait-bait dan polanya. Apa yang diucapkannya sama sekali bukan syair!” cetus Walid lagi.
“Jadi, jika seorang penyihir?” usul mereka.
“Anehnya dia bukanlah penyihir! Kalian tahu penyihir itu siapa. Dia tak pernah meniupkan mantra-mantra atau mengikatkan buhul-buhul!” jawab Walid.
Semua opsi yang memungkinkan telah mereka sebutkan satu per satu namun jalan untuk menemukan kata sepakat masih buntu. Walid lelaki sepuh itu ternyata tak menyetujui satupun dari usulan mereka.
Setelah berputar-putar panjang mencari solusi namun tak kunjung disetujui, mereka pun terpikir jika alangkah baiknya Walid sendiri yang memberi usulan, kira-kira apa pendapatnya. Sebagian mereka berseru,
“Jika demikian, apakah engkau sendiri punya usulan wahai Abu Abdi Syams?” Mereka ingin masalah ini segera selesai. Tapi, ternyata Walid sendiri juga merasa bingung dan tidak ada ide sama sekali.
“Tolong beri aku sedikit waktu untuk berpikir,” ucapnya sambil terus memikirkan solusinya. Namun tak ada ide yang muncul di benaknya. Lalu ia merenungkan usulan-usulan yang dilontarkan sebelumnya satu per satu. Akhirnya ia menemukan satu pilihan paling tepat dari pilihan yang ada, Ia menatap orang-orang yang hadir dan berkata,
“Aku bersumpah, ucapan Muhammad amatlah indah, memiliki daya tarik yang sangat kuat, akarnya kokoh, buahnya banyak dan berkah! Terkait hal ini, silahkan katakan apa pun yang ingin kalian katakan terhadapnya, namun ketidakbenarannya akan segera terbongkar. Di antara usulan yang kalian lontarkan tadi, yang paling cocok menurutku adalah kata penyihir, karena kata-kata yang ia ucapkan saking indahnya dapat menyihir sehingga memisahkan seorang bapak dengan anaknya, suami dengan istrinya dan sekelompok orang dengan kabilahnya.”
Demikianlah yang terjadi waktu itu, tak lama kemudian Malaikat Jibril turun membawa wahyu yang menjelaskan dengan detail keadaan Walid tadi sebagai pelajaran bagi orang-orang setelahnya,
“Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang ditetapkannya). Maka celakalah dia! Bagaimana dia menetapkan?, sekali lagi celakalah dia, bagaimana dia menetapkan? Kemudian dia memikirkan (untuk melecehkan al-Quran), lalu dia berwajah masam dan cemberut (karena tidak menemukan kelemahan Al-Quran), kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri, lalu dia berkata: “(Al Quran) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari, ini tidak lain hanyalah perkataan manusia.” (Qs Al-Muddassir ayat 18-25)[1]
Tidak ada yang bisa dikatakan lagi selain apa yang disampaikan Walid tadi, akhirnya tercapailah kesepakatan, lalu mereka pun membubarkan diri.
Sejak saat itu, arah politik orang-orang Musyrik Makkah secara umun semakin jelas, mereka sepakat menyebarkan sebuah propaganda hitam yang menyudutkan Sang pemimpin para Nabi agar terasing dari masyarakat. Setiap mereka akan berbicara dengan bahasa yang sama dan berlomba-lomba menyebarkan fitnah terhadap Rasulullah yang jelas-jelas itu adalah dusta. Dalam konteks zaman sekarang, sama halnya dengan menyebarkan berita bohong melalui media-media yang ada dan mengerahkan semua usaha secara serempak untuk hal tersebut.
Musim haji telah tiba, para jemaah haji berbondong-bondong mendatangi Makkah. Para kafir Quraisy telah bersiap siaga menyebar di setiap sudut kota Makkah. Mereka menemui para tamu haji untuk memprovokasi dan memperingatkan agar menjauh dari sosok penyihir ulung yang bernama Muhammad.
Dengan usaha jahat itu, mereka menduga telah berhasil menghalangi para jemaah haji untuk menemui baginda Nabi dan menghambat sampainya pesan-pesan samawi kepada mereka.[2]
Di sisi yang lain, wahyu langit kembali turun kepada Rasulullah, Malaikat Jibril Al-amin kembali membawa ayat-ayat suci, Allah ta’ala mengabarkan kepada Nabinya tentang propaganda yang sedang dilakukan kafir Makkah. Ayat-ayat yang turun menyingkap satu per satu kondisi kejiwaan mereka saat merencanakan propaganda jahat terhadap Nabi, terlebih lagi terhadap Walid bin Mughirah, sesepuh yang mengepalai rencana tersebut. Allah berfirman,
“Biarkanlah Aku (yang bertindak) terhadap orang yang Aku ciptakan dia dalam kesendirian, Aku beri dia kekayaan yang berlimpah, anak-anak yang selalu bersamanya dan Aku beri dia kelapangan (hidup) seluas-luasnya..”( Qs Al-Mudassir ayat 11-14)[3]
Benar, masih ada hari esok menanti, namun mulai hari ini akan banyak hal yang perlu dilakukan dan pergerakan yang mesti disusun. Saat itu, setiap orang memiliki rencana masing-masing yang ingin dicapai, namun hasil akhirnya semestinya berpihak kepada orang yang melangkahkan kakinya dengan nama Allah dan kebenaran.
Oleh karenanya, ketika musim haji telah tiba dan orang-orang berduyun-duyun mengunjungi Makkah, Rasulullah bergerak cepat mendahului kafir Makkah mendatangi pasar-pasar dan keramaian seperti pasar Ukaz, Majannah dan Zil Majaz , Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berseru,
“Wahai manusia sekalian, ucapkanlah la ilaha ilaallah agar kalian selamat.” Nabi berusaha menyampaikan kepada mereka tentang iman dan ketauhidan.
Berbagai rencana dan usaha buruk Musyrik Quraisy terus dilakukan, terlebih oleh sang gembong, Abu Lahab yang tiada henti berusaha menghancurkan dakwah Nabi, namun saat musim haji berlalu, hanyalah pesan-pesan Rasulullah yang terpatri dalam ingatan para jemaah haji dan berita-berita langit yang terus hidup dan dikenang. Karena, inilah hal baru yang mereka temukan di Makkah saat itu, tak ada yang lain. Tidak hanya di Makkah namun hal baru ini akan merubah seluruh dunia menjadi terang benderang.
[1] Qs Al-Mudassir ayat 18-25
[2] Ibnu Hisyâm, Sîrah, 2/105
[3] Qs Al-Muddassir ayat 11-14