BOIKOT, Bagaimana Rasulullah dan Sahabat Menjawab Kezaliman

Bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi Muslim pertama semakin bertambah erat tali persaudaraan dan imannya ketika menghadapi boikot kaum Quraisy yang amat dahsyat. Mereka tidak menghadapinya dengan kekerasan

Peristiwa boikot ini terjadi pada kisaran tahun 616-619 M.[1] Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi pemboikotan terhadap Bani Hasyim dan Bani Muthalib yang merupakan asal usul keluarga Nabi Muhammad. Di antaranya adalah masuk Islamnya Sayidina Hamzah radiyallahuanhu[2] dan Sayidina Umar radiyallahuanhu.[3] Keislaman mereka menambah kekuatan kaum Muslimin. Ketika Sayidina Umar radiyallahuanhu -yang nantinya akan menjadi khalifah kedua sepeninggal Rasulullah- memeluk Islam, beberapa Muslim mulai berani beribadah secara terang-terangan di depan Kakbah bersama beliau.[4] Faktor lainnya adalah hijrahnya beberapa Muslim ke Habasyah (Ethiopia), dan hal ini membuat marah para pembesar Quraisy yang berpikir bahwa kaum Muslimin berhasil menyelamatkan diri dan hidup aman di sana.[5] Bahkan, kaum Quraisy mengirimkan utusan pada raja Abyssinia agar kaum Muslimin yang telah berhijrah tersebut dikembalikan ke Makkah. Namun tak dinyana, permintaan tersebut ditolak mentah-mentah oleh Sang Raja.[6] Kecewa dengan penolakan ini, mereka pun semakin gencar melakukan persekusi kepada kaum Muslimin yang masih berada di Makkah. Terlebih lagi, jumlah orang Muslim semakin bertambah sedikit demi sedikit dan hal ini semakin membuat geram kaum kafir Quraisy.[7] Segala cara mereka kerahkan agar Nabi berhenti berdakwah secara terang-terangan. Cara terakhir yang mereka tempuh adalah mendatangi Abu Thalib, paman Nabi, dan memintanya membujuk Nabi Muhammad agar berhenti berdakwah. Apabila bersedia, Beliau akan diberi segala macam imbalan. Namun Sang Rasul menolak tawaran tersebut[8] sehingga membuat pemuka Quraisy semakin kecewa. Abu Thalib dan kabilahnya pun tetap melanjutkan dukungannya pada Nabi.[9]

Setelah berbagai kegagalan dalam usaha menghentikan dakwah Nabi, kaum Quraisy pun memutuskan untuk mengambil langkah yang akan mengakhiri perjuangan Nabi dan pengikutnya selama-lamanya. Membunuh Nabi bukanlah keputusan yang mereka ambil karena kaum Quraisy paham betul bahwa pembunuhan hanya akan membuat Bani Hasyim dan Bani Muthalib menuntut balas, dan hal ini akan memicu perang antarkabilah serta pertumpahan darah.[10] Maka keputusan yang dipilih Abu Jahal sebagai pembesar Quraisy adalah memboikot suku-suku yang melindungi Nabi Muhammad dengan cara yang akan membuat suku-suku tersebut tak berdaya.[11] Dasar pemikiran Quraisy adalah: “Karena kaum Muslim telah memboikot agama dan adat istiadat mereka, maka mereka pun memboikot secara ekonomi dan sosial.” Boikot ini tidak hanya berimbas pada orang-orang Islam dari Bani Hasyim dan Bani Muthalib, bahkan keluarga mereka yang bukan Muslim juga terkena akibatnya. Sebuah dokumen ditulis untuk menerangkan pemboikotan tersebut, bahwa setiap orang dilarang melakukan jual beli dalam bentuk apapun pada kedua suku tersebut dan juga larangan memberikan makanan kepada mereka.[12] Selain itu, orang-orang juga enggan menikah dan berinteraksi sosial dengan kedua suku tersebut.[13] Dokumen yang memuat semua detail ini ditulis oleh Ikrimah bin Amir[14] dan ditandatangani sekitar 40 kepala suku Quraisy.[15] Untuk menambah kesakralannya, mereka menggantungkan dokumen itu di dalam Kakbah.[16] Hal ini juga ditujukan agar peziarah yang datang ke Makkah mengetahui boikot Quraisy sehingga bantuan dari luar pun akan terhalang.

Bani Muthalib dan Bani Hasyim beserta anak-anak dan para perempuan diusir keluar dari Makkah sehingga mereka terpaksa mengungsi ke Syi’bi Abu Thalib.[17] Prediksi Waraqah bin Naufal terbukti. Ia pernah memperingatkan Nabi bahwa akan datang suatu masa saat kaumnya sendirilah yang akan gencar menentang dan memaksanya meninggalkan dakwah.[18] Tujuan boikot ini sangatlah jelas, orang-orang Quraisy ingin membuat Bani Hasyim dan Bani Muthalib mati kelaparan di tengah panasnya gurun tanpa adanya bantuan dari mana pun.[19]

Kondisi dan situasi Syi’bi Abu Thalib tampaknya sangat membantu kaum Quraisy untuk meraih tujuannya. Sangat sulit untuk memperoleh makanan di sana sehingga orang-orang pun terpaksa makan dedaunan untuk bertahan hidup. Tangis kelaparan anak kecil terdengar di sepanjang jalan menuju Makkah.[20] Bahkan ketika para pedagang dari luar sampai ke Makkah, Abu Jahal akan menawar barang mereka dengan harga yang sangat tinggi guna mengantisipasi agar barang dagangan mereka tidak dibeli oleh Bani Hasyim dan Bani Muthalib.[21] Sahabat Sa’d bin Abi Waqqas radiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa selama tiga hari berturut-turut ia tidak mampu berdiri karena tak kuasa menahan lapar. Kemudian ia menemukan potongan kulit hewan yang ia cuci dan bakar, lalu dimakannya. Ia pun bersyukur kepada Allah atas rezeki yang diterimanya itu.[22] Beberapa Sahabat juga meriwayatkan bahwa mereka harus makan ranting pohon untuk sekadar bertahan hidup. Hati Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam hancur berkeping-keping saat mendengar tangis anak kecil dan perempuan karena kelaparan ketika Beliau sedang mendirikan salat.[23] Yang mengherankan, bertahun-tahun bertahan dengan kesulitan dan penyiksaan ini, Nabi dan kaum Muslimin semakin yakin bahwa tiada satu pun hal yang dapat menghalangi mereka dari berpegang teguh pada keyakinan Islam. Hal ini karena didukung oleh bagaimana cara mereka menghadapi masa-masa sulit tersebut yang akan kita bahas selanjutnya.

Walau dengan segala keterbatasan yang ada, kaum Muslimin tetap mencoba berbagai cara untuk bertahan. Khususnya Sayidah Khadijah, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terus berusaha membantu Bani Hasyim dan Bani Muthalib dengan cara menjalin hubungan dengan suku-suku lain yang tidak terkena boikot.[24]

Kaum Muslim yang tidak terkena boikot tetap berusaha membantu sekuat tenaga walau dengan sumber-sumber yang terbatas. Beberapa Sahabat yang menjadi teladan dalam hal ini adalah Sayidina Abu bakar dan Umar radiyalahu ‘anhuma. Keduanya tidak terkena boikot karena bukan dari Bani Hasyim dan Bani Muthalib.[25] Namun, mereka tidak pernah menjauhkan diri dari situasi yang sulit ini atau merasa puas karena merasa aman maupun merelakan dirinya hidup dalam keputusasaan dan nestapa. Justru mereka semakin menautkan cinta kepada Nabi dan kaum Muslim lainnya yang terkena boikot dengan menyediakan segala bantuan yang mereka punya.

Diriwayatkan bahwa Sahabat Abu bakar radiyalahu ‘anhu yang berasal dari keluarga bangsawan dan kaya raya selama 3 tahun sejak berlangsungnya boikot membeli begitu banyak makanan dan kebutuhan bagi kaum Muslim yang terkena boikot hingga beliau jatuh miskin.[26] Riwayat lain juga menyebutkan bahwa kaum Muslimin yang tidak terkena boikot turut membantu mengirimkan unta-unta yang penuh dengan muatan bahan makanan pokok ke perbatasan Syi’bi Abu Thalib agar kaum Muslimin yang terboikot dapat mengambilnya. Tidak pernah tebersit sedikit pun di sanubari kaum muslim yang tak terkena boikot untuk meninggalkan Makkah dan Nabi beserta para Muslim yang terboikot, tidak pula mereka menggunakan kekerasan untuk menuntut balas atas kezaliman yang menimpa Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Justru mereka menggunakan kebijaksanaan dan menyediakan segala bantuan yang memungkinkan. Mereka adalah manifestasi nyata dari hadis: “Perumpamaan orang-orang Muslim dalam kecintaan dan kasih sayang adalah seperti satu tubuh yang saat salah satu anggotanya sakit, maka seluruh tubuh akan merasa sakit pula.[27]

Akan tetapi, yang lebih penting daripada usaha-usaha fisik yang dilakukan oleh kaum Muslimin untuk bertahan dari kezaliman boikot itu adalah usaha-usaha mental dan spiritualnya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa menuntun para pengikutnya agar menyikapi persekusi tersebut dengan menjauhi tindak kekerasan, terus bersabar, teguh, dan tetap menjalankan kewajiban agama. Mereka meminta pertolongan kepada Allah sepenuhnya, fokus pada tujuan ukhrawi, dan tetap bertawakal semaksimal mungkin. Zakaria Bashier mengatakan: “Karakteristik periode Makkah dalam konteks perjuangan generasi Muslim awal adalah perlawanan yang pasif dan penuh damai. Mereka melawan persekusi dan kekejaman kaum Quraisy dengan kesabaran dan keteguhan tanpa melakukan perlawanan maupun menuntut balas.[28]

Nabi dan kaum Muslimin di awal masa Islam menghadapi boikot dengan memperbanyak berserah diri kepada Allah melalui doa-doa. Rasulullah tidak hanya berdoa dalam pengasingan dan isolasi, tetapi Beliau juga memanfaatkan kesempatan di saat bulan-bulan haram[29] tiba untuk pergi ke Kakbah, kapan pun Beliau mampu, guna berdoa di sana. Saat bulan-bulan haram inilah kesempatan bagi kaum Muslimin untuk menghirup udara kebebasan, walau hanya sekejap.[30] Lalu bagaimana dengan Ibunda Khadijah radiyallahuanha? Sebuah riwayat menyebutkan, “Beliau berdoa kepada Allah memohon kasih-Nya bagi umat Muslim yang terkepung. Doa adalah strategi dan senjata andalannya untuk bertahan di situasi sulit. Menurutnya, doa adalah strategi yang sederhana tetapi sangat efektif.”[31] Sekilas, usaha-usaha ini tampak pasif, bertahan dengan doa-doa tanpa perlawanan fisik sedikit pun. Namun nyatanya kaum Muslimin paham betul bahwa kekuatan yang lebih besar bukanlah pada kaum Quraisy, akan tetapi pada Allah. Walaupun mereka tidak mampu mengatasi penderitaan ini secara fisik, tetapi mereka yakin bahwa Allah Maha Berkuasa untuk menyingkirkan segala kendala dan kesulitan yang mereka hadapi. Oleh karena itu, senjata utama mereka dalam kesulitan adalah keimanan mereka kepada Allah.

Kaum Muslimin sangat yakin bahwa pertolongan Allah adalah pasti dan Dialah yang akan menyelamatkan mereka dari kesengsaraan ini. Meskipun tampaknya Nabi berada dalam keadaan lemah, Beliau sering berkata: “Bukankah ini sangat indah, bagaimana Allah menyingkirkan kekejaman kaum Quraisy dariku?”[32] Hal ini menandakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat yakin bahwa orang-orang Quraisy tidak akan benar-benar bisa menyakiti kaum Muslimin. Ibnu Ishaq dan Ibnu Katsir menyebutkan bahwa dalam beberapa ayat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saat periode boikot, banyak darinya yang memuat tentang perlawanan orang-orang yang menentang dakwah para nabi. Ayat-ayat ini berfokus pada perlawanan-perlawanan dan kendala yang harus dihadapi para nabi dan menegaskan bahwa mereka semua terselamatkan dari hal-hal tersebut. Jadi, semakin banyak persekusi yang dihadapi Nabi, maka semakin banyak pula wahyu yang Beliau terima dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Cara ini dapat pula diterapkan secara metaforis oleh pengikut Rasul di masa ini. Pada saat seorang Mukmin sedang dalam kesengsaraan dan kenestapaan, ia justru akan dianugerahi kekuatan spiritual dan kedekatan kepada Allah. Tepat seperti inilah yang sebenarnya terjadi kepada kaum Muslimin pada generasi awal yang mengalami boikot tersebut. Kekuatan spiritual mereka bertambah, dan iman dan keteguhan mereka pada Allah semakin menguat. Mereka diuji dengan hampir segala yang mereka miliki di dunia: kehidupan, anak, pasangan hidup, kekayaan, dan hubungan sosialnya. Setelah boikot selesai, mereka tak lagi takut akan merasakan kehilangan sesuatu di dunia ini. Fokus mereka setelah itu hanyalah Allah dan akhirat semata.

Nabi Muhamad shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melanjutkan dakwah Islam walaupun kekejaman demi kekejaman Quraisy datang silih berganti. Ibnu Katsir menyebutkan: “Rasulullah tetap melanjutkan dakwah seperti biasa, mengajak manusia untuk mengesakan Allah siang dan malam, baik secara diam-diam maupun terang-terangan, menyerukan perintah-perintah Tuhan tanpa ada rasa takut sedikit pun.[33] Diriwayatkan bahwa Beliau selalu pergi ke Kakbah dan menyampaikan seruan kepada para saudagar yang bertandang ke Kakbah untuk tujuan dagang ataupun ibadah agar memeluk Islam.[34] Hal ini merefleksikan bahwa kewajibannya sebagai nabi yang mendakwahkan Islam adalah tugas yang paling penting, tidak ada keadaan apapun yang bisa mengubah atau menghentikan Beliau dalam tugas mulia ini. Ini adalah pelajaran berharga bagi orang-orang beriman agar tidak kendor dalam melaksanakan tugas sebagai Muslim meski dalam keadaan sulit sekalipun.

Setelah 3 tahun berlalu, beberapa kerabat kaum Muslimin yang terboikot mulai angkat bicara, memprotes agar boikot kaum Quraisy segera disudahi sehingga berakhirlah boikot tersebut.[35] Tujuan kaum Quraisy yang ingin menggagalkan dakwah Nabi melalui boikot ini tak pernah terealisasikan. Justru, kabar tentang boikot ini tersebar ke seantero Semenanjung Arab, dan orang-orang pun semakin mengenal Islam serta tertarik untuk menjawab panggilan dakwah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga mereka pun masuk Islam. Kaum Quraisy telah mencoba berbagai cara untuk menghabisi dakwah Islam, tetapi gagal. Semua kegagalan yang mereka alami menyadarkan bahwa tidak ada cara lain lagi yang dapat digunakan untuk menghentikan dakwah Nabi. Setelah berakhirnya boikot pun mereka menawarkan kepada kaum Muslimin alternatif lain yaitu memadukan ajaran Islam dan ajaran nenek moyang dengan harapan agar terjadi kedamaian.[36]

Dapat disimpulkan bahwa umat Islam menghadapi boikot tersebut dengan berusaha mengerahkan berbagai macam upaya sesuai kemampuan mereka. Walau sedang dalam keadaan yang paling sulit, tak pernah sedikit pun mereka menyerah. Mereka yang tidak terkena boikot tak hanya diam berpangku tangan, tetapi berusaha membantu semaksimal mungkin. Hal yang paling penting adalah kenyataan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin tidak menggunakan kekerasan dalam menghadapi boikot Quraisy, akan tetapi lebih memilih mengetuk pintu langit dengan doa dan tawakal. Dengan rahmat Allah, Rasulullah berhasil melanjutkan perjuangan dakwah Islam walau perlawanan demi perlawanan datang silih berganti.

Penulis: Momina Naveed

 

[1] Anon, “Social Boycott and Life in Sha’ib Abi Talib”, Universal Sunnah Foundation, http://www.usf.edu.pk/wyw-12.html (accessed August 22, 2017).

[2] Safi-ur-Rahman Al-Mubarkpuri, The Sealed Nectar: Biography of the Noble Prophet. London: Darusselam, 2010, 55.

[3] Sayidina adalah gelar kehormatan yang disematkan orang Muslim sebelum menyebutkan nama Sahabat Nabi, begitu juga dengan Radiyallahu Anhu yang berarti “Semoga Allah rida kepadanya” dan biasanya disebutkan orang Muslim untuk menghormati para Sahabat Nabi.

[4] Martin Lings, Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources, (New York: Inner Traditions International, 1983), 88.

[5] Muhammad Ibn Ishāq & Alfred Guillaume, The Life of Muhammad: A Translation of Ishaq’s Sirat Rasul Allah, (London: Oxford University Press, 1955), 159.

[6] Idris Kandhelwi, Siratul Mustafa SWS, (Karachi: Kutb Khana Mazhari), 257.

[7] Ibid.

[8] Mubarkpuri, The Sealed Nectar, 55.

[9] Resit Haylamaz, The Sultan of Hearts, (New Jersey: Tughra Books, 2013), 266.

[10] Safi-ur-Rahman Al-Mubarkpuri, The Sealed Nectar: Biography of the Noble Prophet. London: Darussalam, 2010, 55.

[11] Martin Lings, Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources, (New York: Inner Traditions International, 1983), 88.

[12] Muhammad Ibn Ishāq & Alfred Guillaume, The Life of Muhammad: A Translation of Ishaq’s Sirat Rasul Allah, (London: Oxford University Press, 1955), 159.

[13] Ibn Kathir, Al-Sira Al-Nabawwiya: The Life of the Prophet Muhammad, Trans. Trevor Le Gassick, (Lebanon: Garnet Publishing Limited, 1998), 27.

[14] Muhammad Ibn Ishaq & Alfred Guillaume, The Life of Muhammad: A Translation of Ishaq’s Sirat Rasul Allah, (London: Oxford University Press, 1955), 159.

[15] Martin Lings, Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources, (New York: Inner Traditions International, 1983), 88.

[16] Anon, “Social Boycott And Life In Sha’ib Abi Talib”, Universal Sunnah Foundation, http://www.usf.edu.pk/wyw-12.html (accessed August 22, 2017).

[17] Ali Asghar Razwy, “The Economic and Social Boycott of the Banu Hashim”, Al-Islam.org, https://www.al-islam.org/restatement-history-islam-and-muslims-sayyid-ali-ashgar-razwy/economic-and-social-boycott-banu (accessed July 18, 2017).

[18] Ibid.

[19] Resit Haylamaz, The Sultan of  Hearts, (New Jersey: Tughra Books, 2013), 266.

[20] Idris Kandhelwi, Siratul Mustafa SWS, (Karachi: Kutb Khana Mazhari), 257.

[21] Ibid.

[22] Resit Haylamaz, The Sultan of Hearts, (New Jersey: Tughra Books, 2013), 267.

[23] Ibid.

[24] Ibid.

[25] Martin Lings, Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources, (New York: Inner Traditions International, 1983), 89.

[26] Ibid.

[27] Ṣaḥīḥ al-Bukhārī 5665, Ṣaḥīḥ Muslim 2586.

[28] Zakaria Bashier, Sunshine at Madinah, (UK: The Islamic Foundation, 1990), 87.

[29] Yakni bulan-bulan yang diharamkan berperang yaitu: Dzulqaidah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.

[30] Safi-ur-Rahman Al-Mubarkpuri, The Sealed Nectar: Biography of the Noble Prophet. London: Darusselam, 2010, 55.

[31] Ali Asghar Razwy, “The Economic and Social Boycott of the Banu Hashim”, Al-Islam.org, https://www.al-islam.org/restatement-history-islam-and-muslims-sayyid-ali-ashgar-razwy/economic-and-social-boycott-banu (accessed July 18, 2017).

[32] Martin Lings, Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources, (New York: Inner Traditions International, 1983), 90.

[33] Ibn Kathir, Al-Sira Al-Nabawwiya: The Life of the Prophet Muhammad, Trans. Trevor Le Gassick, (Lebanon: Garnet Publishing Limited, 1998), 32.

[34] Safi-ur-Rahman Al-Mubarkpuri, The Sealed Nectar: Biography of the Noble Prophet. London: Darusselam, 2010, 55.

[35] Martin Lings, Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources, (New York: Inner Traditions International, 1983), 88.

[36] Ibid, 91.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *