Jika orang menyebut kata “Peradaban Islam” saat ini, pada umumnya belum banyak yang dapat menggambarkan bagaimana wujudnya. Jika saja ia dapat menggambarkannya, maka ia akan kembali pada kejayaan masa lalu. Hal ini dikarenakan berbagai aspek peradaban asing yang telah mendominasi peradaban Islam sehingga Muslim kehilangan identitasnya. Istilah-istilah peradaban Islam seperti Tamaddun, Medeniyet, Madaniyyat, Tahzib atau lainnya mulai tidak dikenal lagi oleh generasi muda. Oleh karena itu, kita akan telaah makna Madaniyyat dan konsepnya dengan istilah yang digunakan untuk merujuk kota atau negara yang dalam sejarah Islam disebut Madinah.
Madinah adalah kota yang menyimpan sejuta cerita. Pada abad ke-5 dan ke-6 M, madinah hanya sebagai tempat pelarian Yahudi dari kejaran tentara Hadrinus dari Roma. Di situ juga dua suku Arab, Khazraj dan Aws, bermukim. Di kota inilah kisah para nabi berkembang bagaikan legenda tetapi nyata. Namun kelahiran Nabi Muhammad seabad kemudian menjadi berita gembira. Hijrahnya pun pada tahun 622 M disambut dengan sukacita.
Kota ini benar-benar mencintai dan dicintai Nabi. Saking cintanya, Nabi berdoa, “Mudah-mudahan Madinah diberi rahmat oleh Allah dua kali lipat lebih banyak dari Makkah.” Dan Allah pun memberi hadiah sebongkah taman surga di dalam masjidnya. Mungkin ini rahasia mengapa Nabi meramalkan bahwa nanti Dajjal tidak akan dapat masuk ke kota ini. Begitu istimewanya tempat ini -menurut hadis yang lain- sehingga kota ini adalah kota terakhir yang akan dihancurkan dari muka bumi di hari kiamat nanti.
Yang tidak kalah menariknya, kota ini sebelumnya bernama Yatsrib. Namun delapan tahun setelah hijrah, yaitu sekitar tahun 630 M, Nabi menggantinya dengan nama Madinah. Setelah nama Yatsrib diganti menjadi Madinah, Beliau melarang para Sahabatnya untuk menggunakan nama Yatsrib lagi. Entah mengapa, tetapi yang jelas Nabi memberi nama tersebut setelah membangunnya.
Apa yang Telah Dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Sejak lantunan Thala’al Badru menggema di seantero Yatsrib, Nabi sudah memperoleh dukungan warga setempat. Al-Husain bin Salam[1], seorang rabi Yahudi Yatsrib, langsung memeluk Islam. Jalan dakwah beliau mulus tanpa paksaan. Tidak sampai satu dasawarsa, sebanyak 15 kabilah masuk Islam dengan sukarela. Langkah Nabi selanjutnya adalah merajut ukhuwah islamiyah dan mempersatukan Muslim dan Yahudi dengan Piagam Madinah. Sebuah negara berkonstitusi pun terbentuk dengan kekuasaan dan kedaulatan penuh.
A von Kramer tidak salah ketika menyimpulkan “Muhammad membawa agama baru dan sistem politik baru serta menciptakan suatu perdamaian yang harmonis.”
D.B. Macdonald mengakui bahwa di Madinah telah terbentuk negara Islam pertama. Thomas W. Arnold yang diamini Fazlur Rahman lebih blak-blakan lagi, dia mengatakan bahwa Nabi di Madinah menjadi pemimpin agama dan kepala negara. Realitanya memang Nabi menjadi kepala negara dan memimpin perang.
Fakta sejarah telah menyatakan bahwa Madinah merupakan babak baru sejarah Islam. Jadi, Madinah adalah post-factum dari factum-factum. Jika fakta social-historis bias tafsir, kita pakai fakta-fakta tekstual. Ternyata perubahan Yatsrib menjadi Madinah didahului oleh perubahan kandungan wahyu. Wahyu ketika di Makkah berkutat masalah tauhid, ibadah, alam semesta, penciptaan, hari akhir dsb., lalu ketika di Madinah wahyu beralih ke masalah umat, ukhuwah, jihad, kemanusiaan, keadilan, kemakmuran, kekuatan, dsb. Dengan kata lain, ayat-ayat yang turun di Madinah lebih berdimensi sosial-politik. Pendek kata, di Madinahlah tempat penerapan dan penyempurnaan dari konsep din yang turun di Makkah.
Lantas mengapa nama pengganti Yatsrib adalah Madinah? Kajian sejarah ternyata sama menariknya dengan nama kotanya. Kata Madinah adalah bentuk kata tempat dari kata “din” (agama). Biasanya kata tempat dibentuk dari kata kerja. Maskan (tempat tinggal) misalnya, terbentuk dari kata sakana (tinggal). Namun, untuk kata Madinah tidaklah demikian. Dalam Arabic English Lexicon karya Lane, kata Madinah diletakkan di bawah entri din, yang berarti agama. Kata kerjanya adalah Daana yang berarti taat, berserah diri, menghamba, merendahkan diri kepada Allah, dan menghitung. Isim atau kata bendanya adalah diin, dintu lahu artinya saya saat kepadanya. Dana bil Islam diinan berarti menghamba kepada Allah dengan memeluk agama Islam. Dalam Al-Qur’an jelas dinyatakan bahwa “Dan siapakah yang lebih baik ketaatannya (diinan) daripada orang yang dengan ikhlas berserah diri kepada Allah?!”[2] Kaum pluralis sering kali memelesetkan ayat ini dan mengartikannya dengan “agama yang baik adalah yang berserah diri, dengan agama apa pun itu.”
Dalam hadis Nabi dinyatakan, “Orang cerdas adalah yang menghambakan dirinya kepada Allah dan mengerjakan sesuatu untuk hidup sesudah mati.” Atau dalam hadis lain disebut, “Barangsiapa menghitung dirinya, maka beruntunglah dia”, Man daana nahshahu rabiha”. Dan menghambakan diri yang benar bagi Allah adalah melalui agama Islam.
Dari kata kerja daana-yadiinu yang menjadi bentuk isim kata din itu juga bisa dilacak kata dayn, yang berarti hutang. Kajian semantiknya, beragama adalah rasa keberhutangan kepada Tuhan. Kalau kita telaah lagi pada ayat-ayat Al-Qur’an, ternyata mereka memiliki kecocokan. Buktinya Allah selalu menggunakan bahasa perdagangan dengan hamba-Nya. Allah telah membeli diri dan harta orang-orang Mukmin dengan surga. Barangsiapa memberi pinjamaan kepada Allah suatu kebaikan, maka Allah akan melipatgandakan pinjaman itu. Masih banyak lagi ayat-ayat yang menunjukkannya.
Jadi, beragama adalah proses membayar hutang kepada Sang Pencipta. Inilah sebabnya mengapa dalam bahasa Arab Allah subhanahu wa ta’ala dinamakan Al-Dayyan yang berarti Yang Memberi Hutang, tetapi maknanya adalah Yang Memberi Balasan atas semua perbuatan. Sedangkan untuk makhluk, julukan itu tanpa alif lam, yaitu Dayyan, yang berarti penguasa atau gubernur. Dalam hal ini, beragama adalah proses membayar hutang kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan amal kebaikan.
Kecenderungan hidup berdasarkan aturan, sadar hukum, taat pada penguasa hukum dan hakim, berserah diri, serta hidup secara teratur adalah inti dari diin. Itulah fitrah manusia dan inti keberagamaan. Beragama tidak bisa liberal dan liar. Secara filologi kata diin sudah menggambarkan sebuah struktur kehidupan yang sistemik (teratur). Secara realita, “Madinah” telah menjadi tempat untuk berserah diri, untuk menaati aturan, untuk menghamba, serta untuk membayar hutang kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan amal kebaikan.
Namun begitu, menariknya ternyata kata Madinah tidak berasal dari kata madana. Sebaliknya, kata madana terbentuk setelah terlahir kata “Madinah”. Begitulah sejarahnya. Maka dari itu, kata madana dalam Arabic English Dictionary susunan Hans Wehr diartikan: to found or to build city, to civilize, to humanize, to refine (untuk membangun, membina kota, untuk berperadaban, untuk memanusiakan, untuk mewujudkan), persis seperti yang telah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, ketika Hans Wehr mengartikan Madani menjadi secular, kita pun menjadi bingung. Ini tentu dari pengaruh doktrin gereja. Mereka mengangap bahwa jika di luar gereja adalah kerja-kerja sekuler, maka dianggapnya yang di luar masjid mestinya juga begitu. Itu kira-kira pikiran Hans Wehr. Mungkin karena pengaruh ini pula, maka para cendekiawan Muslim menyamakan civil society yang sekuler itu dengan masyarakat madani. Padahal madani adalah sifat orang berbudaya, beradab, dan maju dengan cara taat beragama alias menghamba kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Dalam kamus al-Munjid karya Abu Luwis, tamaddana diartikan berperilaku seperti penduduk kota. Kalau mudun diartikan kota, tentu ini sekuler. Namun apabila diartikan sebagaimana makna filologis di atas, maka tamaddana berarti berperilaku seperti penduduk Madinah, yang berserah diri dan menghamba kepada Allah. Oleh sebab itu, tamaddana atau bertamaddun adalah hidup dengan agama yang benar, sesuai dengan hukum dan aturan. Hukum atau diin al-Islam adalah Al-Qur’an. Kitab ini juga menyebut dirinya ma’dubah atau makanan, yakni makanan jiwa dan akal, ketika berpikir dan berperilaku. Hasilnya adalah manusia beradab, yaitu yang beriman, berilmu, dan berbuat sesuai dengan apa yang ada dalam ma’dubah atau Al-Qur’an.
Dari sini dapat kita ketahui dan pahami bahwa istilah yang lebih tepat untuk peradaban adalah tamaddun, medeniyet, madaniyyat, atau madania. Sebab dengan istilah inilah peradaban Islam mempunyai ciri sendiri, yakni peradaban yang dibangun di atas ajaran agama dan hanya dapat dikembangkan berdasarkan nilai-nilai dan ajaran agama. Masyarakat dalam peradaban ini pun disebut sebagai masyarakat madani dan tidak bisa dinamakan civil society.
Penulis: Prof. Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi
[1] Al-Hushain bin Salam adalah nama asli beliau. Namun, setelah mendapatkan cahaya hidayah Islam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengganti nama beliau menjadi Abdullah bin Salam. Beliau wafat di tahun 43 H pada usia 64 tahun. (Siyaru A’lami An-Nubala’)
[2] QS. An-Nisa, 4/125.