Jalan yang Paling Lega dan Paling Selamat:  Tugas Para Sahabat dan Karakteristiknya

Para ashabi kiram adalah orang-orang pilihan terbaik setelah para nabi. Mereka adalah orang-orang yang beruntung mendapatkan kemuliaan tercelup dalam warna kenabian karena kehadirannya dalam majelis-majelis nabawi yang diasuh oleh Rasulullah SAW. Tanpa rasa takut akan ancaman kematian, mereka menjunjung Islam di masa paling sulit, di masa di mana mereka tidak bisa menunjukkan imannya secara terang-terangan. Sepanjang umurnya mereka tak sedikit pun menyentuh kebohongan terkecil meski berupa candaan sekalipun. Dengan penuh kesadikan mereka mengabdi penuh untuk agamanya. Sistem yang diikuti demi meraih kedekatan dengan Allah berdasar pada apa-apa yang dilakukan oleh para Ashabi Kiram disebut “profesi sahabat”. Profesi Para Sahabat juga disebut dengan ungkapan “Wilayati Kubra (great guardianship, kewalian yang luar biasa)”, “warasatun nubuwwah (pewaris nubuwah/kenabian)” dan “jaddah al kubra (jalan raya yang besar)”. Ia adalah jalan Qur’ani yang bertujuan untuk memuaskan tidak hanya hati manusia tetapi juga semua latifah yang dimilikinya  seperti akal, jiwa, rahasia dan nafs.

  1. Berada di bawah Bimbingan Al-Qur’an dan Sunah

Ciri penting pertama dari profesi para sahabat, yang diterima sebagai jalan terluas dan paling aman oleh para wali Allah yang merupakan pewaris Nabi di masa pasca Asr Saadah  adalah upaya untuk mengevaluasi setiap masalah sesuai dengan nash (yaitu dalil, ayat, dan hadis yang tidak memerlukan takwil). Hampir seluruh topik diskusi para Ashabi Kiram adalah memahami kehendak Allah, bertindak sesuai dengan hal-hal yang diridai-Nya, dan bagaimana berada di lingkaran yang membuat-Nya senang.  Dalam menghadapi setiap permasalahan, mereka akan mendekatinya dengan respon seperti:”terkait hal ini apa kiranya yang diinginkan Allah dari diri kita?” Mereka berpaling ke Al-Qur’an untuk mempelajari isu-isu yang akan menyenangkan Allah, membuka hati mereka selebar-lebarnya untuk menerima firman ilahi, dan menunjukkan semangat yang tak tertandingi dalam sejarah untuk “memahami hal-hal yang diridai Allah melalui firman-Nya”.

Profesi ini disebut juga ittibai sunnatus saniyah, yaitu bergerak di bawah cahaya kata-kata, sikap, dan perilaku Baginda Rasulullah SAW. Sebagaimana seseorang akan meniru apapun dari orang yang dicintainya, demikian juga para sahabat pilihan yang hatinya tertaut pada Baginda Rasulullah. Tidak hanya pada amal ibadah, mereka akan meniru segala sikap dan tindak tanduk dari Sang Habibullah SAW. Sebagaimana yang sering dibahas oleh Penulis Risalah Nur, jalan wilayah yang paling indah, paling selamat, paling bersinar, dan paling kaya adalah mengikuti sunnatus saniyah. Bahkan adat-istiadat, kebiasaan, dan perbuatan-perbuatan alami yang dikerjakan dengan maksud mengikuti Nabi serta meneladaninya akan dianggap sebagai ibadah dan memperoleh pahala. Seseorang yang dalam aktivitas keseharian seperti makan-minum, berangkat tidur-bangun dari tidur, jual-beli, ataupun kegiatan lainnya memikirkan keadaan Rasulullah dan berniat meniru Rasulullah dalam aktivitasnya itu sesungguhnya telah mengubah pekerjaannya itu menjadi ibadah sehingga dengan demikian setiap tindakannya akan meraih pahala. Faktanya, para sahabat sebagai musafir di jalan ini percaya bahwa Sang Pembimbing yang Sempurna SAW dalam setiap keadaannya memiliki sisi “taabbudi“. Mereka mengikutinya langkah demi langkah, membahas semua sikap yang diambilnya: “cara Beliau berjalan seperti ini, cara Beliau berbicara seperti ini, cara Beliau bersikap seperti itu, dst”. Mereka mencoba menirunya milimeter demi milimeter. Mereka memandang yang demikian sebagai bagian dari asas agama yang kuat lagi jelas.

  1. Tidak berharap untuk memiliki kasyaf, karamah, sir dan tajali ilahi, ataupun hal luar biasa lainnya

Salah satu asas paling penting dari profesi sahabat adalah tidak berharap memiliki hal-hal luar biasa seperti kasyaf, karamah, serta sir dan tajali ilahi Sebagaimana dibahas dalam Risalah Nur, wilayah-nya para sahabat disebut sebagai wilayatul kubra. Ia merupakan wilayah yang berasal dari warasatun nubuwwah. Tidak ada kewajiban bagi mereka untuk melewati tarekat selama melakukan suluk.  Para Sahabat Kiram mencapai hakikat secara langsung berkat rahmat ilahi tanpa perlu mampir ke halte-halte yang disinggahi para pejalan suluk sebagaimana dilakukan oleh mayoritas wali. Semua sahabat adalah wali, tetapi tidak satu pun dari mereka yang perlu melewati marhalah-marhalah yang dilalui para wali di masa setelahnya. Oleh karena itu, jalan para sahabat cukup singkat. Di jalan yang mereka tempuh amat sedikit yang menampakkan ragam hal luar biasa semacam kasyaf atau pun karamah.

Faktanya, para Sahabat yang mulia ini tidak mengharapkan harapan duniawi atau pun ukhrawi sebagai imbalan atas ibadah, perbuatan baik, dan pelayanan agama yang mereka lakukan, apalagi sekedar keadaan luar biasa seperti kasyaf  maupun karamah. Mereka tidak pernah mengaitkan perbuatan baik yang mereka kemukakan untuk kepentingan penghambaan supaya terbebas dari ancaman neraka dan supaya bisa masuk surga. Mereka tidak pernah melihat apa yang mereka lakukan sebagai jaminan kebahagiaan abadi. Ibadah dan Ubudiyah dilakukan hanya karena berharap rida Allah; Mereka juga selalu mengharapkan rahmat dan anugerah ilahi supaya diselamatkan dari api neraka. Untuk mencapai kebahagiaan abadi, mereka berharap anugerah majjanan dari Sang Rahman dan Rahim.

Lalu, apakah benar mereka sama sekali tidak pernah mengalami hal-hal luar biasa seperti kasyaf, karamah, hissi qablal wuku (merasakan firasat sebelum kejadian terjadi), dan ilham lainnya? Tentu saja mereka pernah mengalaminya. Namun, mereka sama sekali tidak pernah mengharapkan atau meminta untuk memiliki hal-hal luar biasa tersebut.  Bahkan kasyaf dan karamah dianggap sebagai sarana ujian sehingga dalam kadar tertentu mereka menghindarinya. Apabila hal luar biasa hendak muncul dari dalam diri, mereka akan berusaha menutupinya sebagai sir ilahi. Mereka berusaha untuk tidak menunjukkannya kepada orang lain.

Karamah Para Sahabat yang sebenarnya
Terlepas dari usaha para Ashabi Kiram untuk menyembunyikan rahasia ini, terkadang karamah-karamah ini muncul di luar kehendak mereka sehingga ia pun diketahui umum. Misalnya, Sayyidina Umar ketika sedang membaca khutbah di Madinah tiba-tiba melihat pasukan yang dikirimnya ke Iran hampir kalah. Ia segera menyeru sang Komandan: “Sariyah! Al Jabal Al Jabal! Sariyah, mundur ke gunung, mundur ke gunung!”. Meski mereka dipisahkan jarak ribuan kilometer jauhnya, Sang Komandan yaitu Sayyidina Sariyah bin Zanim mendengar seruan Sayyidina Umar ini. Ia pun menyadari strategi musuh, mengarahkan pasukannya ke gunung, hingga akhirnya mampu memukul balik dan meraih kemenangan.

Di antara insan-insan berwajah mawar di masa tersebut terdapat orang-orang yang doanya diterima secara seketika. Nabi bersabda: “Betapa banyak orang yang rambutnya kusut masai dan berdebu serta hanya memiliki dua pakaian lapuk hingga tidak diperhatikan orang sama sekali, padahal seandainya ia bersumpah atas nama Allah, pastilah Allah mewujudkan apa yang disumpahkannya tersebut! Dan di antara orang-orang itu ialah Barra’ bin Malik!”
Betapa seringnya para sahabat yang mulia menyaksikan sumpah-sumpah dan doa dari Sayyidina Barra menjadi kenyataan, ketika terdesak dalam medan perang mereka akan meminta Sayyidina Barra bersumpah: “Bersumpahlah bahwa kita akan memenangkan perang ini; Sesungguhnya Allah tidak pernah menolak sumpah-sumpahmu. ”

Sosok sahabat lain yang doa-doanya terkabul seketika adalah Sayyidina Saad bin Abi Waqqash. Pada suatu hari, ketika beliau melangkahkan kakinya di jalanan Kota Kufah didengarnya ada seorang lelaki yang mencela sahabat-sahabat mulia seperti Sayyidina Ali, Zubair bin Awwam, dan Talhah bin Ubaidillah radhiyallahu anhum.  Beliau pun memperingatkan lelaki itu supaya berkata-berkata yang baik. Sayangnya lelaki ini keras kepala. Untuk itu, Sayyidina Saad berkata: “Apakah Anda mau berhenti, jika tidak aku akan melaknatmu?” Si lelaki menjadi merah padam dan berseru: “Apakah dirimu mengancamku?” Pada saat itu Sayyidina Saad bin Abi Waqqash mengangkat kedua tangannya dan berdoa: “Ya Allah! Berilah orang ini pelajaran supaya orang lain mengambil hikmah darinya. Mudah-mudahan dengan demikian orang-orang tidak lagi berbuat semaunya.” Satu atau dua menit kemudian terdapat seekor unta yang tidak diketahui asal usulnya berlari ke tengah kerumunan itu blusukan ke dalam jamaah; Dia bergerak seolah-olah sedang mencari seseorang. Si unta akhirnya pergi setelah menginjak-injak pria yang tidak sopan itu di bawah kakinya. Beberapa saat kemudian jeritan pahit pria itu berhenti dan dia menghembuskan napas terakhirnya di antara tatapan bingung orang-orang di sekitarnya.

Ya, terdapat beberapa orang yang menyaksikan kejadian luar biasa dari para Ashabul Kiram. Namun, mereka sendiri sebenarnya berusaha untuk tidak menampakkan keistimewaannya tersebut ke khalayak umum. Mereka secara sukarela mencoba menjauhi semua hal luar biasa lainnya karena mereka percaya bahwa karamah yang sebenarnya adalah tidak terputus dalam bertawajuh demi meraih rida Allah; Mereka lebih memilih untuk tetap tertutup terhadap semua keadaan luar biasa di luar iman, makrifah, dan mahabbah. Mereka juga memilih jalan yang sama bahkan untuk zawq ruhani/kesenangan spiritual. Daripada meraih hal-hal yang luar biasa, mereka lebih memilih untuk hidup sesuai semangat agama, mempraktikkan akhlak mulia, memenuhi diri dengan kesadaran akan makrifah, mahabbah, ikhlas, dan ihsan. Mereka lebih memilih untuk memenuhi hak dari hukum ilahi dan hak hamba-hamba ilahi lainnya. Mereka mengejar beragam kebajikan seperti semaksimal mungkin memperdalam hubungannya dengan Allah SWT.

Anak-Anak yang mengejar Permen
Oleh karena profesi sahabat salah satu asas paling pentingnya adalah tidak berharap untuk memiliki hal-hal luar biasa seperti kasyaf dan karamah, maka para murid-murid Al-Qur’an yang menggenggam erat jalan para Ashabul Kiram hendaknya tidak mengagumi dan penasaran dengan jalan-jalan di luar kebiasaan. Mereka seharusnya tidak menganggap keajaiban seperti terbang di udara, berjalan di atas air, memindahkan objek yang jauh dengan sekali pandang sebagai hal yang istimewa. Hati mereka tidak boleh terikat padanya, pandangan mereka pun tidak boleh jatuh di belakang jejaknya. Selain itu, kita harus gemetar ketakutan karena keajaiban seperti itu mungkin saja istidraj (merupakan salah satu bentuk makar dari Allah kepada orang yang fasik lagi fajir berupa keajaiban dan hal-hal luar biasa yang ia peroleh meskipun ia jauh dari kebajikan dengan tujuan semakin membuatnya sesat); Alih-alih mengungkapkannya dan memberi tahu orang lain, mereka harus berpaling kepada Allah dan mencari pengampunan dan memanjatkan doa agar tidak menjadi sasaran dari istidraj. Mereka harus mempertimbangkan bahwa membicarakan kelebihan yang dimilikinya kepada orang lain tak ubahnya sebagai situasi lucu saat anak-anak memamerkan pakaian pesta mereka dan berkata, “Kakak, lihat Topiku… lihat bajuku…” Dengan demikian mereka harus khawatir telah berbuat sesuatu yang konyol.
Ya, seorang murid Al-Qur’an harus mempertimbangkan kemungkinan bahkan mimpi indah yang dilihatnya bisa jadi merupakan permen yang dilemparkan ke hadapannya agar ia tidak tersesat karena kelemahannya. Alih-alih menganggap mimpi indah itu sebagai tanda bahwa ia adalah orang yang berbudi luhur, ia harus menerimanya sebagai tanda kelemahan, inkonsistensi, dan kurangnya semangat bakti; Karena dia tidak bisa berpegang teguh pada “hablul-matiin/Al-Qur’an”, dia harus percaya bahwa pada saat dia akan jatuh, dia diberi permen yang akan mengingatkannya akan rasa kebenaran yang dia kejar. “Apabila saya benar-benar berdedikasi, seorang sadik yang hakiki, dan seorang pejuang dakwah yang lurus lagi benar, pastilah hal yang demikian tidak akan diberikan kepada saya. Melakukan segala sesuatu demi memperjuangkan idealisme merupakan tugasku. Aku mengerjakannya itu adalah keharusan bagiku.  Betapa buruknya apabila aku melakukannya demi mendapatkan sedikit keuntungan sebagai uang muka di dunia! Betapa aibnya apabila aku berkeinginan untuk mendapatkannya..! Dibandingkan dengan rida Ilahi, manisnya iman, dan hakikat agama, ada di mana posisi manisan-manisan tadi..? Aku bukan anak-anak lagi!” Ia harus bisa berseru demikian dan menyadarkan dirinya.

  1. Mengelola Hidup di sekitar Majelis Ilmu dan Pengabdian Iman 

Karakter lain dari profesi sahabat adalah hidupnya diatur di sekitar majelis ilmu dan pengabdian iman. Ya, para ashabu kiram adalah pahlawan insibag. Semua dari mereka telah tercelup oleh warna materi dan maknawi dari Baginda Rasulullah SAW.  Sebenarnya terdapat celupan insibag dalam setiap majelis ilmu. Aliran ruh dan makna yang demikian itu muncul dari perkataan, penampilan, raut wajah, gerak bibir dan tangan para kekasih Allah sehingga tidak mungkin ia diperoleh semata-mata melalui membaca buku. Mustahil bagi kita untuk dapat menghirup udara spiritual yang akan diisi oleh seorang kekasih Allah dalam majelis itu ketika dia menggeliat dalam doa, membungkuk di hadapan Tuhan, jantungnya berdegup kencang dan pipinya basah oleh air mata, tanpa langsung masuk ke dalam atmosfer dan berhadapan dengannya lutut bertemu lutut. Apalagi jika sosok yang dimaksud adalah Sayyidina Qutbul Anbiya SAW, Sosok Kebanggaan Kemanusiaan. Insibag yang berasal darinya sungguh tak ada tandingannya dan tak bisa ditemukan di tempat mana pun. Karena itu, seperti ditegaskan Badiuzzaman, pasca kepergian Rasulullah ke alam berikutnya mereka yang menyaksikannya baik dalam  mimpi atau pun dalam keadaan setengah sadar dianggap telah berbicara dengan cahaya dari wilayah Muhammad; oleh karena itu, mereka yang berbicara dengan nur nubuwah Muhammad tidak akan pernah mencapai tingkat para sahabat yang berbicara dengannya secara langsung sebagai seorang Nabi.
Betapa jauhnya jarak antara derajat kenabian dengan kewalian dapat ditemukan pula pada perbedaan kualitas dua majelis ilmu tersebut. Dari sisi ini, ungkapan yang dapat menggambarkan keagungan para sahabat barangkali tersirat dalam sebutan “sosok-sosok suci yang pernah melihat Rasulullah”. Mereka menyaksikan secara langsung saat ketika sosok yang memberikan kabar dari masa mendatang berhubungan dengan langit; mereka menjadi saksi hubungan manusia hakiki dengan manusia hakiki lainnya. Di hadapan mereka dibentangkan meja samawi yang diperbaharui setiap hari. Mereka dipelihara oleh pesan-pesan baru yang datang dari Penguasa langit dan bumi. Mereka juga terus-menerus dibasuh dan dimurnikan oleh tetesan rahmat yang turun di setiap peristiwa. Generasi emas tersebut seakan selalu dibangkitkan dengan mukjizat Qur’ani, energi dari wahyu, serta insibag dari majelis ilmu. Mereka sepenuhnya mengangkasa ketika mendengar pesan-pesan yang selalu mengalir apalagi jika pesan tersebut membahas mereka, baik membahasnya secara tersirat maupun tersurat. Mereka mendedikasikan diri untuk iman, Al-Qur’an, dan umat manusia. Demi ketiga hal tersebut, mereka melakukan suatu usaha yang tak kenal kata berhenti. Mereka tidak pernah berhenti karena hal yang sia-sia. Ketika satu tugas selesai, mereka segera berlari untuk menunaikan tugas pengabdian berikutnya.  Mereka tidak pernah berpikir untuk mengistirahatkan kaki-kakinya. Mereka berlari kesana-kemari, dari satu kampung ke kampung berikutnya. Sembilan dari sepuluh sahabat dengan semangat irsyad yang luar biasa serta dengan tujuan untuk meninggikan agama ilahi pergi untuk berhijrah. Semangat yang ditimbulkan oleh iman telah mencapai tingkat sedemikian rupa di antara mereka sehingga mereka menganggap kembali dari tempat yang mereka tuju dengan tujuan hijrah adalah pengkhianatan.

Sebenarnya salah satu hal yang paling kita butuhkan saat ini adalah cinta dan semangat yang seperti ini. Berkat antusiasme Islami yang akan muncul dari majelis ilmu dan kaidah-kaidah hizmet, setiap orang harus dengan serius mengambil tanggung jawab. Mereka harus dipenuhi dengan perasaan tanggung jawab yang serius untuk berusaha memecahkan setiap permasalah yang dihadapi umat manusia. Tujuan hidupnya haruslah berupa pengabdian kepada iman, Al-Qur’an, agama, bangsa, dan kemanusiaan secara keseluruhan. Terkait hal ini, hendaknya setiap individu dapat berikrar dengan penuh ketulusan; “Ya Allah, tujuan penciptaanku adalah untuk mengenal dan menyembah-Mu. Kewajibanku berikutnya adalah bergabung dengan komunitas yang tujuan usahanya adalah mengenalkan-Mu, di mana di dalamnya aku turut mengagungkan nama-Mu ke seluruh penjuru dunia serta memanggul sebagian dari beban beratnya. Apabila aku tidak mampu menunaikan tugas ini, lalu apa makna dari umur kehidupanku? Duhai Penciptaku, bukalah jalan bagiku untuk mengabdi kepada agama, bangsa, dan umat manusia. Jika tidak, ambil saja nyawaku ini, jangan biarkan aku hidup sia-sia di dunia ini…!” Dengan tanggung jawab yang serius, dia harus mencoba memecahkan masalah lainnya. Ia harus fokus berlari mengerjakan amal saleh yang kontinyu. Ia tidak boleh sedikit pun lalai dan kosong. Jika tidak, setan akan mengarahkan mereka yang kosong dan malas ke arah yang berlawanan.   Cinta pada pangkat dan jabatan, kecenderungan untuk memiliki harta benda, serta keinginan untuk berhenti di zona nyaman pun muncul; Kecintaan berlebih pada rumah muncul dan menyebabkan seseorang menjadi lebih tertutup/introvert… Dan tidak boleh dilupakan bahwa orang yang introvert seiring berjalannya waktu akan menjadi miskin sehingga Allah pun memadamkan semangat pelayanan yang sempat dinyalakan dalam dirinya. Kemudian, ia jatuh ke dalam kesempitan dan mengalami depresi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Ya, hidup akan tetap hidup jika kita berusaha menghembuskan kehidupan kepada orang lain. Allah SWT akan menjaga semangat dan gairah orang-orang yang berlari di medang pengabdian apa pun kondisinya. Sedangkan mereka yang berusaha berlepas tangan dari tanggung jawab pertama-tama perlu khawatir akan risiko kejatuhannya pada kelelahan semangat kemudian ketertinggalannya di persimpangan jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *