Kala itu dunia tengah diliputi kegelapan. Gulita yang di dalamnya terkandung cahaya yang sedang dinanti. tentang kedatangan nabi yang dinanti. Sebuah getaran yang membawa berita gembira tentang seorang nabi baru. Getaran itu terus merambat mengetuk setiap telinga dan relung hati manusia, sampai akhirnya banyak penduduk Mekah yang membincangkan ihwal nabi baru yang sedang ditunggu-tunggu kedatangannya. Mereka saling berkata satu sama lain: “Kalian harus segera menemui nabi itu segera setelah ia muncul. Bergegaslah temui ia dan berimanlah kepadanya!”
Harapan itu menjadi buah bibir seluruh manusia dan segenap impian bertumpu kepadanya: sang penyelamat terakhir yang akan datang. Semua pasangan suami-istri mendambakan agar nabi yang dinanti itu berasal dari keturunan mereka, sehingga banyak di antara mereka yang menamai anak mereka dengan nama “Muhammad.”
Tapi sang nabi yang ditunggu kemunculannya itu haruslah berasal dari sebuah garis keturunan yang murni bagaikan emas; dimulai dari Nabi Ibrahim ‘alaihi salam dan Nabi Ismail ‘alaihi salam dan berujung pada Abdul Muthallib, dan Abdullah. Setiap hati terus menantikan cahaya yang akan menyemburat dari garis nasab itu. Sementara rangkaian peristiwa yang terjadi telah menunjukkan bahwa waktu kelahiran sang Nabi Besar akan segera tiba. Saat-saat fajar merekah akan segera menghapus gelap.
Pada masa itu, umat manusia sama sekali tidak mampu memberi makna berarti terhadap hidup mereka. Orang-orang kala itu tak sanggup menentukan tujuan yang akan mereka raih. Tingkah-polah manusia pada saat itu persis seperti yang disebut al-Qur`an: “Dan orang-orang yang kafir, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga. Namun bila didatanginya air itu, dia tidak mendapati sesuatu apapun…”
Demikian pula halnya pada tataran perasaan, pemikiran, dan tatanan sosialnya pun sama kelamnya: “Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun.” (QS al-Nûr (24): 40).
Masa yang sedang kita bicarakan ini dikenal dengan masa jahiliah (‘ahd al-jâhiliyyah). Akan tetapi bukanlah jahiliah bermakna kebodohan yang menjadi antonim bagi pengetahuan, namun lebih merupakan sebagai sinonim bagi kekufuran yang merupakan lawan bagi iman.
Saya sama sekali tidak ingin memaparkan di sini, tentang situasi busuk yang terjadi pada masa jahiliah ini. Oleh karena saya tidak ingin mengetengahkan ke hadapan Anda, meski hanya sekelumit, sebuah paparan kelam yang amat kelam terkait dengan masa tersebut. Sebab menurut hemat saya, penggambaran tentang kebatilan pasti akan menodai pikiran. Padahal tindakan merusak pikiran adalah sebuah tindak kejahatan.
Akan tetapi, kita dapat memahami masa jahiliah melalui beberapa adat dan tradisi yang berlaku saat itu dengan tujuan agar kita dapat menyadari betapa besarnya karunia yang telah Allah Subhânahu wa ta’âla berikan kepada semesta alam. Serta betapa besarnya rahmat sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang telah mengutus Sang Kebanggaan Alam Semesta ke dunia ini.
Kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah nikmat terbesar yang dianugerahkan Allah subhânahu wa ta’âla kepada alam semesta. Inilah yang ditunjukkan oleh ayat al-Qur`an yang berbunyi: “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah…” (QS Ali Imrân (93): 164).
Jadi, silahkan Anda lihat betapa besar rahmat, kelembutan, dan kebaikan Allah subhânahu wa ta’âla ketika Dia mengutus seorang rasul kepada umat manusia yang berasal dari jenis mereka sendiri. Sang Utusan itu dapat merasakan apa yang mereka rasakan; dapat berpikir apa yang mereka pikirkan; menjadi pembimbing dan pemandu di jalan yang dapat menghantarkan mereka kepada Allah. Jika mereka membutuhkan seorang imam, maka Rasulullah telah menjadi imam bagi mereka. Jika mereka membutuhkan seorang orator, maka beliau telah menjadi sosok orator ulung. Jika mereka membutuhkan seorang pemimpin, maka beliau telah menjadi pemimpin yang mengirimkan beberapa surat kepada para penguasa di kawasan Arab serta menjalin serangkaian perjanjian internasional. Jika mereka membutuhkan seorang panglima perang, maka beliau telah memimpin mereka di garis terdepan peperangan. Bahkan Rasulullah telah menjadi panglima perang paling hebat yang pernah ada.
Ada sebuah keyakinan orang-orang Nasrani, dimana mereka meyakini bahwa Allah mengorbankan Isa as. (Yesus) demi menebus “dosa asal” manusia. Kaum Nasrani meyakini bahwa Allah –sebagaimana yang mereka nyatakan- telah mengorbankan puteranya, Yesus Kristus, untuk menjadi penebus dosa bagi seluruh umat manusia. Itulah sebabnya –berdasarkan keyakinan mereka- kemudian Yesus layak disalib di tiang salib. Demikianlah menurut pemahamanan mereka tentang penebusan atas “dosa asal” yang muncul dari Nabi Adam ‘alaihi salam dan terus diwariskan kepada semua keturunannya. Menurut mereka tiap orang memikul dosa ini sejak dilahirkan ke dunia. Keyakinan seperti ini tentu salah pada satu sisi dan sesat di sisi yang lain, karena ia dapat ditafsirkan dengan cara yang berbeda-beda. Akan tetapi interpretasi yang salah ini harus dipahami dalam referensi sebenarnya, yakni:
Allah Yang Maha Berkuasa telah mengutus hamba terbaiknya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai rasul kepada umat manusia karena Allah tak membiarkan manusia menghadapi berbagai kesulitan, kekufuran, penyimpangan dan segala tantangan hidupnya seorang diri tanpa kehadiran seorang pembimbing. Tujuan dari diutusnya Rasulullah itu adalah agar Beliau dapat menyelamatkan manusia dari kesesatan, penyimpangan, dan kelaliman sehingga mereka tidak tersesat jalan, kebingungan, dan tertinggal dalam keadaan sia-sia seperti itu. sebaliknya keberadaan Rasulullah akan membantu manusia untuk meninggalkan langit kemanusiaannya lalu terbang mencapai derajat luhur yang pantas bagi sosok manusia sempurna (al-insân al-kâmil). Sebagaimana yang dinyatakan oleh seorang penyair sufi Ibrahim Hakkı, semua mukmin seyogianya mengenal Allah laksana sebuah khazanah berharga pada kalbunya:
Takkan cukup bumi dan langit mencakupi-Nya
Telah diketahui bahwa khazanah itu bermuara dari kalbu
Kalbu atau hati manusia memang dapat menjadi sumber atau muara bagi begitu banyak khazanah berharga, hingga Allah yang tidak mungkin dapat dimuat oleh langit dan bumi, setiap saat dapat dirasakan sebagai permata paling berharga di dalam hati manusia. Tidak ada satupun buku, akal, pemikiran, filsafat, pernyataan, langit, bumi, dan bahkan semua makhluk di jagad raya yang dapat “melingkupi” Allah Subhânahu wa ta’âla…bahkan tak ada satupun dari hal ini yang mampu untuk mengungkapkan-Nya. Hanya hati manusia –meski hanya sebagian sekali pun- yang mampu menjadi penerjemah bagi-Nya. Ya, kalbu adalah sebuah lidah yang istimewa hingga tak ada satupun telinga yang hingga hari ini mendengar sebuah pernyataan yang begitu cemerlang selain dari lidah ini. Begitu pula manusia, ia akan mengambil jalan di hatinya, mencari apa yang dicarinya di sana dan berusaha untuk men-fanakan diri pada-Nya. Memang, untuk tujuan inilah Allah mengirimkan Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bagi kita.
Ya. Rasulullah memang telah diutus kepada umat manusia untuk membacakan ayat-ayat Allah jalla jalaluhu pada manusia, menunjukkan berbagai macam mukjizat kepada mereka, serta untuk mengajarkan kepada manusia hakikat dirinya. Ya, berkat keberadaan Rasulullah manusia mampu menyucikan diri dari segala kotoran hingga menjadi suci dan bersih untuk kemudian dapat naik dari martabat dunia-material menuju martabat luhur bagi kehidupan hati dan spiritualnya …dan meninggikannya. Ya. Rasulullah-lah yang mengajarkan “Kitâb” (Kitab Suci) dan “hikmah” (kebijaksanaan) kepada umat manusia. Pada dunianya yang dinaungi cahaya Kitab Suci dan hikmah kebijaksanaan itu lah umat manusia pun akan dapat menemukan dirinya sendiri, sembari mengarahkan diri pada jalan menuju keabadian dan membangun akhiratnya; dan memang itulah yang menjadi akibatnya.
Bagi kita, ada beberapa hari penting yang mengandung kemuliaan dan keberkahan yang banyak. Sebagian dari hari-hari itu adalah apa yang kita anggap sebagai Hari Raya. Di tiap pekan, kaum mukminin merasakan suka cita hari Jum’at sebagai hari istimewa, dan di setiap tahunnya merasakan kegembiraan yang lebih besar lagi ketika tiba Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha.
Pada Hari Raya Idul Adha, kaum muslimin mengenang kembali pengorbanan yang dilakukan oleh Ibrahim ‘alaihi salam pada beberapa dimensinya, pada Hari Raya inilah umat Islam bermunajat kepada Allah, berdoa setulus hati demi memohonkan ampunan atas dosa-dosa yang diperbuatnya. Demi mendapatkan ampunan itu, sebagian umat Islam mendatangi Baitullah untuk kemudian tersungkur bersujud di sana, melakukan wukuf di Arafah untuk menghadapkan hati kepada Allah memohon kepada-Nya dengan jiwa semangat Muhammadîy. Adapun Idul Fitri adalah sebuah Hari Raya penuh berkah yang kaya akan makna, karena Idul Fitri merupakan wujud ekspresi kegembiraan yang dikecap oleh umat Islam yang hidup dalam kedekatan pada ridha Ilahi setelah mereka menunaikan puasa sebulan penuh.
Akan tetapi sebenarnya ada sebuah Hari Raya lain yang dapat dianggap sebagai hari besar bagi seluruh umat manusia; dan bahkan bagi seluruh jagad raya. Hari istimewa itu adalah hari dimana Rasulullah dilahirkan ke dunia dan kita menjadi begitu diberkahi untuk mendapati beliau berada di antara kita… hari yaum al-mîlâd. Itulah hari ketika Allah subhânahu wa ta’âla menggantungkan lentera “Cahaya Muhammad” (al-Nûr al-Muhammadiy) di atas langit kemanusiaan laksana mentari yang bersinar terang, dengan adanya lentera Cahaya Muhammad itulah kegelapan jahiliyah terkoyak dan seluruh semesta berpendar cahaya Nur-nya. Cahaya itulah nikmat Allah paling utama dan paling besar yang Dia anugerahkan kepada segenap jin dan manusia.
Penulis: M. Fethullah Gülen