Sulit untuk menggambarkan perasaan Sang Baginda shallallahu ‘alaihi wa sallam pagi hari itu. Beliau baru saja melewati berbagai dimensi kehidupan; diperjalankan dari kota Makkah ke Palestina menggunakan Buraq yang bergerak melebihi kecepatan cahaya, bertegur sapa dengan para rasul pendahulu, bertemu dengan para malaikat di setiap tingkatan langit, diperlihatkan sosok-sosok yang hidup pada zaman yang berbeda, diperkenankan untuk masuk ke dalam surga, juga dipertunjukkan neraka dan karakter manusia yang menjadi calon penghuninya. Terlebih lagi, beliau mendapatkan keistimewaan untuk bertemu langsung dengan Sang Kekasih Agung ‘azza wa jalla yang selalu Beliau rindukan dan dambakan di Sidratul Muntaha.
Setelah mengalami kejadian yang membuat hati Sang Baginda shallallahu ‘alaihi wa sallam berbunga, pagi hari itu, Beliau duduk termenung dengan wajah yang sedih. Kejadian yang baru dialaminya pada malam hari tidak mudah untuk dipercaya oleh manusia. Logika berpikir tidak sanggup untuk menerima sebuah kejadian yang ada di luar nalar kepala. Padahal beliau wajib untuk menyampaikan pesan penting dari Allah ‘azza wa jalla.
Melihat kondisi Sang Baginda shallallahu ‘alaihi wa sallam murung, sosok manusia yang setiap harinya tak pernah berhenti untuk memperolok dan menghalanginya berdakwah pun bertanya amat sinisnya:
“Adakah berita baru yang kamu dapatkan pagi ini, wahai Muhammad?”
“Iya,” Jawab Rasulullah menggantung.
“Apa itu?” Tanya Abu Jahal penasaran.
“Aku telah diperjalankan malam tadi.”
“Kemana?”
“Ke Baitul Maqdis.”
“Kemudian pagi ini kamu sudah berada di sini?!”
“Iya”
Setelah mendengar jawaban Sang Baginda shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Jahal tidak serta-merta memberikan respons negatif. Bukan karena dia mengimani perkataan Nabi, tetapi justru karena dia mempersiapkan rencana buruk untuk menjatuhkan reputasi Rasulullah di depan para penduduk Makkah. Dia menawarkan untuk mengumpulkan mereka di depan Kakbah, kemudian membiarkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan kejadian yang dialami oleh Beliau.
Mendapati tawaran itu, kondisi hati Sang Baginda shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin tidak menentu. Di satu sisi, beliau senang karena mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan kejadian dan pesan penting kepada penduduk Makkah. Namun di sisi lain, Beliau juga merasakan kegamangan orang-orang akan semakin tidak memercayai beliau dan menganggapnya mengada-ada. Namun inilah Sang Baginda shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau menjawab tawaran Abu Jahal dengan mantap,
“Boleh!”
Abu Jahal pun segera bergerak untuk mengumpulkan massa dari berbagai penjuru kota Makkah. Rasulullah pun bersiap untuk menyampaikan peristiwa Isra Mikraj yang dijalani oleh beliau di malam hari. Sejatinya, Beliau hanya perlu menyampaikan kejadian Isra kepada penduduk Makkah. Ini karena Beliau bisa memberikan argumentasi yang tampak terkait dengan kondisi fisik Baitulmukadas. Sedangkan untuk peristiwa Mikraj, hanya diperuntukkan bagi mereka yang telah membuka pintu keimanan kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena mukjizat Mikraj tidak akan bisa diterima oleh mereka yang belum masuk ke dalam atmosfer keimanan kepada Allah dan rasul-Nya.
“Wahai keturunan Bani Ka’b bin Lu’ay, datanglah kalian semua kemari!” seru Abu Jahal.
Ka’b bin Lu’ay merupakan nenek moyang suku Quraiys yang sangat dihormati. Silsilah nasab Sang Baginda shallallahu ‘alaihi wa sallam pun sampai kepadanya. Dengan seruan itu, artinya Abu Jahal memanggil seluruh penduduk Makkah tanpa terkecuali karena tidak satu pun dari penduduk Makkah yang bukan termasuk keturunan Ka’b bin Lu’ay.
Tidak lama kemudian, para penduduk Makkah berkumpul di sekitar Kakbah. Sang Baginda shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sudah siap untuk menyampaikan berita besarnya.
“Wahai Muhammad, ceritakan pada kaummu apa yang baru saja kauceritakan kepadaku!” desak Abu Jahal.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mulai bercerita, “Sesungguhnya tadi malam aku telah diperjalankan.”
“Ke mana?” orang-orang penasaran.
“Ke Baitulmukadas.”
“Lalu, sepagi ini kamu sudah berada di tengah-tengah kami?”
“Iya, benar.” Mendengar keganjilan itu, orang-orang mulai gaduh.
Di antara mereka ada yang bertepuk tangan, ada pula yang meletakkan tangan di kepala sebagai ekspresi rasa heran atas kejadian yang disangka sebagai kebohongan. Begitulah ekspresi masyarakat Jahiliah kala itu ketika menangkap sebuah berita baru.[1]
Reaksi rencana buruk Abu Jahal mulai muncul ke permukaan. Memang sebagian dari orang-orang yang berkumpul ada yang percaya, tetapi jumlah mereka yang tidak percaya lebih banyak. Bahkan ada sebagian orang yang awalnya memiliki hubungan baik kepada Nabi, kemudian justru malah mendustakannya disebabkan mendengarkan peristiwa ini. Di antaranya ada seorang yang bernama Mut’im bin Adiy.
“Sungguh ucapanmu sebelum hari ini masih bisa diterima dengan mudah. Namun ceritamu pagi ini menunjukkan bahwa kamu benar-benar seorang pembohong. Kami saja telah memacu unta dengan kecepatan penuh baru sampai dalam waktu satu bulan, dan perlu waktu yang sama untuk kembali. Bagaimana mungkin kamu bisa sampai Baitulmukadas hanya dalam satu malam?! Demi Lata dan Uzza, kami tidak mempercayainya!” teriak Muth’im dengan lantang.
Inilah hal yang membuat perasaan Sang Baginda shallallahu ‘alaihi wa sallam sedari pagi gundah gulana. Berita yang beliau sampaikan tidak akan mudah diterima oleh kaumnya. Namun ini pula yang membuat Sang Baginda berhak mendapatkan cinta seluruh alam semesta. Bahkan disebutkan bahwa keimanan seseorang tidak akan sempurna jika belum memosisikan Sang Baginda shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi manusia paling dicintai melebihi cinta pada diri sendiri. Bagaimana tidak, beliau telah berada dalam puncak kemuliaan bersama Allah azza wa jalla, merasakan seluruh arti kenikmatan yang bisa dibayangkan dan yang tak mampu terbayangkan oleh manusia. Beliau rela untuk meninggalkan semua itu untuk kembali ke bumi dan bertemu dengan manusia-manusia yang menyakiti hatinya.
Sebagai manusia yang memiliki hati paling lembut, Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak langsung memotong ucapan Muth’im. Dalam suasana yang tidak kondusif ini, seorang Sahabat yang paling dekat dengan Nabi segera mengambil peran dan memberikan jawaban atas ucapan Muth’im. Peran inilah yang di kemudian hari menjadikan beliau mendapatkan gelar As-Shiddiq. Sejatinya Sayidina Abu Bakar tidak sedang berada di lokasi ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dihujani pertanyaan tersebut. Namun ada seseorang yang memberitahu beliau tentang apa yang terjadi di Kakbah.
“Hai Muth’im, sungguh hina ucapanmu kepada putra saudaramu sendiri. Kamu telah mempermalukan dan mendustakan keponakanmu sendiri!” tegas Abu Bakar.
“Saya bersaksi bahwa jika memang Rasulullah yang mengatakan itu, artinya itu adalah sesuatu yang benar. Saya percaya atas kebenaran ucapannya.” tutur Abu Bakar melanjutkan.
“Kalau memang apa yang kamu katakan adalah benar, coba gambarkan kepada kami tentang Baitulmukadas!” tantang salah satu di antara orang-orang yang sudah pernah berkunjung ke Baitulmukadas.
Sang Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menceritakan karakteristik bangunan Baitulmukadas yang Beliau lihat secara langsung. Hal ini yang menjadi alasan mengapa hanya Isra saja yang disampaikan kepada penduduk Makkah. Selain karena juga termaktub dalam surat Al-Isra’ secara eksplisit, Nabi juga berkesempatan menjelaskan sebuah fakta yang kebenarannya bisa dinilai oleh logika manusia biasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dengan detail bentuk Baitulmukadas seperti apa; arsitekturnya, jaraknya dari gunung, dan hal-hal detail lainnya. Di tengah penjabaran Nabi terkait dengan Baitulmukadas, ada beberapa yang Beliau lupa, yaitu jumlah pintu yang ada di sana sehingga Allah azza wa jalla segera memperlihatkan gambaran nyata dari bentuk Baitulmukadas di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka yang awalnya keras dalam mendustakan, pada akhirnya luluh dan tidak memperpanjang urusan.
Sebelum mereka membubarkan diri, Bagindaa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali memberikan sebuah bukti lain dengan menyampaikan bahwa Beliau tadi malam bertemu dengan suatu kafilah dagang. Beliau lalu memberitahu informasi tentang mereka secara lebih detail.
“Ketika mereka melihatku, salah satu unta di kafilah itu ketakutan, lalu unta tersebut berlari dan meninggalkan kafilah. Aku menunjukkan kepada mereka ke arah mana unta mereka pergi dan membantu mereka menemukan unta mereka. Arah yang sedang kutuju adalah kota Damaskus, jadi aku berbelok ke arah Dajinan. Di sana aku menemukan sebuah kafilah lain. Mereka juga berhenti untuk beristirahat. Aku bahkan minum air dari kantong air mereka yang mereka tutupi dengan kain. Saat ini mereka akan memasuki Makkah dari tempat yang disebut Bayda di Tanim, dan di paling depan ada seekor unta berwarna abu-abu. Di unta-unta itu ada dua karung, yang satu hitam dan yang lain berbintik-bintik.“[2]
Beberapa hari berselang setelah peristiwa itu, kafilah tersebut benar-benar tiba. Para penduduk Makkah kembali berkumpul untuk melihat secara langsung ciri-ciri yang kemarin disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para penduduk yang kemarin sempat menentang, saat itu terdiam seribu kata. Saat itu jiwa mereka mungkin belum merasakan indahnya keimanan. Namun satu hal yang pasti, mereka mengakui bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menyampaikan kebenaran.
Sikap Sang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang selalu istikamah dalam kebenaran menjadi pancaran inspirasi positif bagi penduduk Makkah waktu itu; sosok manusia yang ketika di depan umum selalu dihujat dan dipermalukan, tetapi dalam ranah pribadi justru mereka percayakan benda dan barang berharganya kepada Beliau. Inilah teladan alam semesta; hamba Allah yang mendapatkan kehormatan tertinggi untuk bertemu langsung dengan Sang Kekasih Agung azza wa jalla tanpa wasilah. Setelah mencapai derajat yang mulia itu pun, Beliau masih rela untuk turun kembali ke bumi, untuk bertemu dengan manusia-manusia yang selalu mendustakan kabar darinya. Betapa agung dan mulia dirimu wahai Rasulullah, Sang Nabi Mulia yang senantiasa benar apa yang diberitakannya.
***
[1] HR. An-Nasa’i, Sunan, 11285; Ahmad bin Hanbal, Musnad, 2820. Syu’aib al-Arnauthy berkata bahwa sanadnya sahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim. Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushannaf, 31700; Al-Thabarani, Al-Mu’jam Al-Kabir, 12814; ; Al-Thabarani, Al-Mu’jam Al-Ausath, 2447.
[2] Resit Haylamaz, Prophet Muhammad The Sultan of Hearts, (New Jersey: Tughra Book, 2013) hal. 325.