Kemuliaan Akhlak Rasulullah terhadap Mualaf

 

“Hati kaum Anshar meradang mengetahui bahwa Rasulullah telah membagi habis harta rampasan Perang Hunain itu. Namun seketika hati mereka luluh saat mengetahui alasan di sebaliknya. Rasulullah ingin memberi suri teladan kepada kita bagaimana memperlakukan mualaf, orang yang imannya masih lemah dan mudah berbalik jika tidak dirangkul”

 

Akhir-akhir ini perkembangan jumlah mualaf di Indonesia dan dunia kian mencengangkan. Berdasarkan catatan majalah Economist, terdapat pertambahan 5200 mualaf setiap tahunnya di Inggris. Hasil identifikasi Islamic Society of North America (ISNA) menunjukkan terdapat peningkatan jumlah masjid di Amerika, yakni sebesar 2.769 masjid pada tahun 2020[1]. Mualaf Center Indonesia mencatat angka mualaf tahun 2019 meningkat 18% dari tahun sebelumnya, yaitu menjadi 3.500 orang.[2] Hal ini tentu saja menggembirakan kita sebagai umat Islam yang senantiasa menyambut kehadiran mereka.

Meski demikian, banyaknya mualaf ini sering kali tidak diikuti oleh pembinaan dari umat Islam itu sendiri. Mualaf dimaknai sebagai orang yang masih lemah keimanannya dan sangat membutuhkan bimbingan ajaran Islam. Tak jarang para mualaf menghadapi berbagai tantangan yang memilukan seperti ditinggalkan oleh anggota keluarga, mengalami kesulitan ekonomi, kehilangan pekerjaan, dan lain sebagainya. Di tengah kesulitan dunia yang luar biasa, seorang mualaf yang belum kuat keimanannya dapat rentan untuk kembali ke agama sebelumnya. Hal inilah yang menjadi latar belakang menjamurnya mualaf center di Indonesia dan seluruh dunia. Pusat-pusat mualaf ini gencar melakukan berbagai kegiatan seperti program baca Al-Qura’n, dakwah di jalan, pembagian fasilitas shelter bagi mualaf, dan juga kajian ilmiah.[3]

Sayangnya tidak semua mualaf terjangkau oleh mualaf center. Faktor pekerjaan, jauhnya jarak tempat tinggal mereka dari mualaf center menjadi alasan mereka tidak bergabung dengan program yang diadakan mualaf center. Di sinilah diperlukan adanya kepedulian masyarakat Muslim terhadap keberadaan para mualaf di sekitarnya. Terkadang kita terlalu ber-euforia dengan kedatangan “saudara baru”, tetapi sayangnya setelah itu abai terhadap kondisi sosial ekonominya. Hal ini menyebabkan para mualaf merasa hidup terasing dan seakan-akan tidak diayomi oleh komunitas baru tempat mereka berafiliasi. Padahal Rasulullah telah mencontohkan bagaimana kita seharusnya bersikap terhadap para mualaf. Hal ini tampak dari beberapa peristiwa di kehidupan Beliau yang akan kita pelajari bersama dalam artikel ini.

 

Rasulullah Mendidik Para Mualaf

Rasulullah tidak pernah meninggalkan umatnya yang telah masuk Islam. Beliau tidak segan-segan mengirim Sahabat-Sahabatnya untuk mendidik para mualaf, baik diminta maupun tidak. Pada peristiwa hijrahnya kaum Muslimin ke Habasyah, Rasulullah mengutus Ja’far bin Abi Thalib untuk tinggal di sana, menyebarkan dakwah Islam, serta menguatkan keimanan para mualaf. Ja’far diketahui baru bertemu kembali dengan Rasulullah pada saat perang Khaibar, yakni sekitar 15 tahun kemudian.[4]

Mush’ab bin Umair juga diutus oleh Rasulullah untuk berdakwah ke Yatsrib setelah Baiat Aqabah I yang berdampak pada banyaknya orang Yatsrib yang masuk Islam pada saat itu sehingga tidak ada keluarga di Yatsrib kecuali salah satu anggota keluarganya sudah ada yang masuk Islam. Demikian pula dengan Khalid bin Walid, Ali bin Abi Thalib, Barra’ bin Azib, dan Mu’adz bin Jabal merupakan empat Sahabat yang diutus Nabi menyebarkan dakwah di Yaman.[5]

Bahkan tragedi Ar-Raji yang terjadi sekitar tahun 4 Hijriah berawal dari ketika Rasulullah mengutus para Ssahabat penghafal Al-Qura’n atas permintaan suku Adhal dan Qarah. Mereka mengabarkan bahwa di tengah kaumnya ada beberapa orang Muslim dan meminta agar didatangkan para penghafal Al-Qura’n. Di luar dugaan, di tengah jalan enam penghafal Al-Qura’n itu justru dibunuh dengan sangat kejam. Kasus serupa juga terjadi pada Tragedi Bi’r Ma’unah yang berlangsung sekitar satu bulan kemudian ketika 40 Sahabat penghafal Al-Qura’n dibunuh oleh Amir bin Al-Thufail yang dibantu oleh beberapa kabilah dari Bani Sulaim. Dua tragedi memilukan itu merupakan bukti bahwa Rasulullah tidak segan-segan mengirim para Sahabatnya demi mendidik kaum orang-orang yang baru masuk Islam.

Rasulullah Berusaha Menyenangkan Hati Para Mualaf

Hal ini salah satunya dapat kita pelajari dari peristiwa di Ji’ronah. Peristiwa ini terjadi setelah Perang Hunain, tepatnya saat pembagian ganimah atau harta rampasan perang. Perang Hunain terjadi pada bulan Syawal tahun 8 Hijriyah di sebuah lembah antara Makkah dan Thaif. Sejarah mencatat bahwa perang tersebut diikuti oleh 12.000 kaum Muslimin, 10.000 dari Muslimin yang mengikuti Fathu Makkah, dan 2000 dari Quraiys Makkah yang baru saja memeluk agama Islam. Perang menghadapi suku Hawazin dan Tsaqif tersebut walau sempat membuat kaum Mmslimin kocar-kacir, akan tetapi pada akhirnya dimenangkan juga oleh mereka. Harta rampasan yang didapat pascaperang tersebut cukup fantastis, yakni 6.000 tawanan, 24.000 unta, lebih dari 40.000 domba, dan 4.000 uqiyah perak. Rasulullah menginstruksikan Mas’ud bin ‘Amr Al-Ghifari, sebagai penanggung jawab ganimah, untuk membawa semua harta rampasan tersebut ke sebuah tempat yang disebut Ji’ronah. Harta tersebut tidak boleh dibagikan kecuali setelah Rasulullah pulang dari perang di Thaif.

Singkat kata, pascakegagalan Rasulullah dalam pengepungan Thaif, Rasulullah dan semua Sahabat berkumpul di Ji’ronah. Pada saat itu terjadi sebuah peristiwa yang membuat kaum Muslimin, terutama Anshar, merasa kecewa. Mereka terkejut saat melihat Rasulullah membagikan ganimah begitu besar kepada para tokoh Quraiys seperti Abu Sufyan bin Harb dan kedua anaknya, Hakim bin Hizam dan Shafwan bin Umayyah, serta beberapa jajaran pemuka Quraiys lainnya. Dalam peristiwa tersebut, tidak tanggung-tanggung Rasulullah memberikan ganimah berupa 40 uqiyah dan 100 unta kepada Abu Sufyan bin Harb dan sejumlah itu pula kepada kedua anaknya, Yazid dan Muawiyah. Beliau juga memberikan sejumlah 200 unta kepada Hakim bin Hizam, serta 300 unta kepada Shafwan bin Umayyah hingga dikisahkan seluruh harta rampasan pada akhirnya habis terbagikan, terutama dibagikan kepada kaum mualaf dan Muhajirin. Hal ini pada akhirnya sempat membuat kaum Anshar meradang dan menganggap Rasulullah tidak adil dengan kebijakannya. Namun pada akhirnya, Rasulullah pun menegur kaum Anshar dengan berkata:

Wahai kaum Anshar, pembicaraan apa ini yang sampai kepadaku dari kalian?! Kaum Anshar terdiam (tidak mampu menjawab). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan sabdanya, “Wahai kaum Anshar, apakah kalian tidak rela orang-orang itu pergi dengan membawa dunia sementara kalian pulang membawa serta Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ke rumah-rumah kalian?” Mereka menjawab, “Tentu kami rela, wahai Rasulullâh!” Perawi mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya manusia menempuh satu lembah sementara kaum Anshar menempuh syi’b (jalan atau celah di antara dua pegunungan), maka pasti saya akan mengikuti jalan yang ditempuh kaum Anshar.”[6]

Pada akhirnya kaum Anshar pun menangis dan menerima keputusan Rasulullah. Mereka sangat menyesal karena telah berpikiran yang tidak-tidak kepada Beliau.

Dari peristiwa tersebut, dapat kita pahami bahwa Rasulullah tampak sangat memuliakan mualaf dengan cara memberi ganimah sebanyak yang mereka mau, hati seorang mualaf yang pada awalnya goyah akan menjadi semakin mantap untuk memeluk agama Islam. Hal ini terbukti bahwa pada akhirnya Abu Sufyan bin Harb dan Shafwan bin Umayyah, dua tokoh yang sangat jelas permusuhannya kepada Baginda Nabi, kelak menjadi Sahabat Nabi yang baik keislamannya.

 

Rasulullah Memberi Kemudahan pada Mualaf

Sahabat Muawiyah bin Hakam pernah menceritakan saat dirinya salat berjamaah bersama Rasulullah. Pada saat itu beliau mendengar seseorang bersin. Seketika dengan spontan, beliau pun mengucapkan “Yarhamukallah”. Semua Sahabat yang menjadi makmum pada saat itu tampak mengarahkan pandangan kepadanya. Karena kesal, beliau pun berucap “Mengapa kalian melihatku demikian?” Pada akhirnya, para Sahabat pun menepuk-nepuk pahanya sebagai isyarat agar Muawiyah tidak bersuara. Selepas salat, Rasulullah pun berkata kepadanya dengan penuh kelembutan: “Sesungguhnya di dalam salat tidaklah diperkenankan berbicara, melainkan tasbih, takbir, dan bacaan Al-Qur’an.”

Sahabat Muawiyah pun kemudian berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang pengajar sebaik beliau. Demi Allah, Beliau tidak mencelaku, tidak memukulku, dan tidak menghinaku.”[7]

Dari beberapa peristiwa di atas, dapat kita ambil pelajaran bahwa setidaknya terdapat tiga akhlak Rasulullah yang utama yang dapat kita terapkan terhadap para mualaf, yaitu:

  1. Sebagai seseorang yang terlahir Muslim, apabila kita mendapat kawan seorang mualaf, maka kita memiliki sebuah tanggung jawab untuk terus mengajarkan dan membersamainya. Apabila kita merasa tidak memiliki ilmu agama yang mumpuni, maka kita dapat mengajaknya menemui guru yang dapat membimbingnya. Jangan sampai kita membiarkannya mencari ilmu dari sumber yang tidak dapat dipertanggungjawabkan yang justru akan kembali membawanya ke jalan yang tidak benar.
  2. Menyenangkan hati. Tidak mudah bagi seorang mualaf untuk meninggalkan komunitas di agama yang sebelumnya. Seorang mualaf memerlukan sebuah komunitas baru yang dapat menjadi pelipur baginya melupakan kesedihan akibat dikucilkan keluarga dan sahabat-sahabatnya. Jika memiliki kelebihan harta, maka tak ada salahnya kita menyisihkan sedikit yang kita punya untuk membantu perekonomian mereka sebagaimana yang dilakukan oleh Sahabat Anshar kepada Sahabat Muhajirin.
  3. Memberi Kemudahan. Terlalu keras dan memaksakan kehendak dalam mendidik justru akan membuat orang yang baru masuk Islam membenci Islam itu sendiri. Sebagaimana setiap hal memiliki anak tangga dan tahap-tahapnya, maka mempelajari Islam pun demikian. Berikanlah mereka kabar gembira akan pahala surga yang akan mereka dapatkan, dihapuskan dosa-dosa yang telah lalu, seolah-olah seperti terlahir kembali ke dunia alih-alih menakut-nakuti dengan neraka dan dosa atas sesuatu hal yang belum diketahuinya. Sebagian dari kita terkesan terlalu tegas memperlakukan mualaf, menyamakan mereka seperti orang yang telah lama memeluk Islam seperti ancaman neraka jika tidak segera menutup aurat, berhenti meminum minuman keras, atau tidak segera bisa membaca Al-Quran sering kali digaung-gaungkan terhadap para mualaf. Terkadang hal tersebut justru membuat mereka frustrasi dan malah membuat mereka memilih untuk kembali pada keyakinan lamanya

 

 

[1] M. Muhajirin, “Semakin Banyak Mualaf di Barat, Ini Alasan Mereka Memilih Islam,” Langit7-Cahaya Menuju Kebaikan, Sep. 23, 2022. https://langit7.id/read/22874/1/semakin-banyak-mualaf-di-barat-ini-alasan-mereka-memilih-islam-1663913362 (accessed Oct. 22, 2022).

[2] A. Sasongko, “Tren Hijrah Pengaruhi Jumlah Mualaf di Indonesia,” Republika.co.id, Feb. 09, 2019. https://www.republika.co.id/berita/pmm42z313/tren-hijrah-pengaruhi-jumlah-mualaf-di-indonesia (accessed Oct. 22, 2022).

[3] U. Ulya, “EFEKTIVITAS YAYASAN MUALAF CENTER INDONESIA DALAM MEMBINA KEAGAMAAN MUALAF,” Jurnal Multikultural & Multireligiu, vol. 19, no. 1, 2020, Accessed: Oct. 22, 2022. [Online]. Available: https://jurnalharmoni.kemenag.go.id/index.php/harmoni/article/view/325/281

[4] S. S. al Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah – Ar Rahiqul Makhtum. Jakarta Timur: Pustaka Al Kautsar, 2019.

[5] M. H. Yusufpati, “4 Sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam Yang Berdakwah ke Yaman,” Kalam Sindonews, 2022. https://kalam.sindonews.com/read/889407/70/4-sahabat-nabi-muhammad-saw-yang-berdakwah-ke-yaman-1663582177#:~:text=Sahabat%20Nabi%20Muhammad%20SAW%20yang%20berdakwah%20ke%20Yaman%20lumayan%20banyak,Azib%2C%20dan%20Muadz%20bin%20Jabal%20.

[6] HR. Bukhari, al-Fath, 16/170. no. hadis 4331; Muslim, 2/736, no. 1059.

[7] HR. Muslim no. 700.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *