MUSH’AB BIN UMAIR – 1 Potret Sang Guru Dakwah

Arti nama Mush’ab secara istilah adalah unta yang sukar dinaiki atau kuda jantan. Sebuah nama yang melukiskan karakter seseorang yang kuat, tangguh, dan pemberani. Begitu pula sosok dari salah satu Sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia ini.  Beliau adalah sosok yang tak tertandingi di masanya.  Safirul Islam[1], duta pertama yang menjadi pelopor dalam membangun fondasi penyebaran cahaya Islam, pemilik dua hijrah yang merintis dan mengimami salat Jumat di kota Madinah, sang penakluk hati setiap kalbu kawan bicaranya, prajurit gagah berani yang tak gentar mati.

Beliau dilahirkan di masa Jahiliah pada 585 M, empat belas tahun (atau lebih sedikit) setelah kelahiran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pemuda yang berpenampilan rupawan ini tumbuh dan berkembang bersama dengan kelimpahan dan kemewahan duniawi. Berasal dari keturunan Hasyim bin Abdul Manaf bin Abdul Dar bin Qushay bin Kilab al-Abdari al-Qurasyi yang merupakan salah satu keturunan terkaya kaum Quraisy. Disebutkan dalam beberapa riwayat bahwa kedua orangtuanya begitu memanjakannya sehingga sandal yang beliau pakai ialah sandal al-Hadrami, pakaiannya ialah pakaian yang terbaik, dan ia adalah orang Makkah yang paling harum sehingga semerbak harumnya meninggalkan jejak di jalan yang beliau lewati. Hidangan makanan pun tak pernah luput dari hadapannya.

Setelah mendengar berita tentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembawa risalah cahaya Islam, remaja yang dijuluki ‘Mush’ab al-Khoir’[2] ini, dengan otaknya yang cerdas, kebijaksanaannya yang agung, dan juga disertai hidayah dari Allah subhanahu wa ta’ala, segera tertarik dan memutuskan untuk pergi ke Darul Arqam. Di sana beliau melihat para pioner Islam tengah berkumpul dan belajar. Untaian ayat Al-Qur’an yang dilantunkan kala itu membuat hatinya terpaku. Dengan getaran iman yang masuk ke dalam kalbunya, getaran metafisika yang menembus sanubarinya, mungkin ruh yang ada di dalam dirinya pun berteriak sambil berkata, “Inilah sesuatu yang kucari, sesuatu yang kurindukan sedari dahulu.”. Sesuatu yang tak sebanding dengan keindahan dan kenyamanan dunia yang beliau pernah rasakan sebelumnya.  Akhirnya beliau pun memilih untuk masuk ke dalam cahaya Islam, menjual dunianya untuk diganti dengan kekalnya kebahagiaan akhirat.

Potret Mush’ab bin Umair, khususnya dalam bidang dakwah, sebetulnya bisa menjadi pecutan bagi umat Islam saat ini, apalagi di periode ketika mata umat manusia haus akan manifestasi iman dalam amal saleh kehidupannya, telinganya kenyang dengan perkataan yang tak terealisasi. Keteguhan iman, keindahan sikap, dan karakter mulia yang beliau miliki layak untuk dijadikan sebagai seorang guru dakwah.

 

Keteguhan Iman

Agama akan hidup bergantung pada keeratan kita dalam memeluknya. Jika ikatan yang kita eratkan mudah lepas begitu saja tanpa harus mementingkan apa yang kita sucikan itu, agama hanya akan menjadi sebuah objek belaka. Menjaga kemudian menyiarkannya merupakan dua hal yang tidak bisa lepas dari tugas dakwah ini. Setiap Mukmin seharusnya mengetahui dengan baik agamanya kemudian menjelaskan nilai sakral yang telah ia hidupkan di dalam dirinya. Perlu kita tekankan kembali bahwa hanya mereka yang menggenggam erat agama dan mampu menjaga hubungan baik dengannya yang akan melanjutkan tugas suci ini. Maka bagi keberlangsungan dakwah yang kita laksanakan, sosok Mush’ab dalam menjalankan tanggung jawabnya dapat menjadi tolok ukur dan pedoman yang agung.

Keteguhan iman yang beliau miliki merupakan salah satu kuncinya. Meski lubang kematian berada di hadapannya sehingga menjadikan tubuhnya tersungkur tak berdaya pada saat Perang Uhud, beliau sanggup berkata, “Betapa indahnya mati syahid di jalan-Mu!” Keseimbangan pemikiran dan kehendak membuatnya yakin bahwa apa yang beliau ketahui adalah kebenaran sehingga berujar, “Jika memang Allah subhanahu wa ta’ala memberikan kehendak ini untukku, maka aku pun harus menjalankannya dengan sepenuh jiwa!” Selain itu, beliau juga memusatkan tujuannya pada satu titik. Di matanya tak terlihat jalan lain selain menyiarkan cahaya Islam dan berjihad di jalan Allah subhanahu wa ta’ala. Beliau membuktikannya dengan misi yang dijalani, menuntaskan sepenuh hak tugas suci ini tanpa ragu meski harus mengorbankan dirinya sendiri. Sebuah isyarat yang menunjukkan eratnya hubungan Sayidina Mush’ab dengan Allah subhanahu wa ta’ala dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 

 

Pengorbanan yang Tulus, Keberanian yang Tangguh, dan Kelembutan Sikap

Hanya yang mampu mendedikasikan dirinya untuk menjauh dari segala kelezatan dan kenikmatan duniawilah yang akan melakukan tugas agung ini. Dengan penuh pengorbanannya, Sayidina Mush’ab telah berjanji bahwa selama hidupnya beliau akan melindungi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga pada saat tak mampu lagi beliau menjadi pelindung bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meski telah mengorbankan sekujur tubuhnya di medan perang, kepalanya tertunduk malu, menumpahkan air mata istrinya, Hamnah binti Jahsy, dan putri semata wayangnya. Kini beliau pun tak memiliki kain kafan yang cukup bahkan untuk menutupi jasadnya. Barangkali ia memang tak mampu menoleh ke arah dunia atau dunia itu sendirilah yang lari darinya. Sebuah potret pengorbanan jasmani dan rohani dari seorang guru dakwah.

Beliau mampu menaklukkan hati kawan bicaranya dengan membaurkan keberanian sikap dan kelembutan bahasa sembari berkata, “Sekiranya engkau duduk dan mendengarkan apa yang ingin aku sampaikan? Jika engkau meridainya, maka terimalah. Namun jika memang engkau membencinya, maka aku akan pergi dan takkan lagi mengganggumu.” Meski keberanian, kegigihan, dan kelembutan hati sangatlah penting dalam berdakwah, tetapi hal tersebut perlu kita ikat dalam landasan yang kokoh, rencana yang matang, dan kondisi yang sesuai supaya tidak terwujud kontradiksi sosial. Bersamaan dengan bahasa sikap yang beliau perankan, pada akhirnya beliau mampu menjadi wasilah bagi masuknya Sa’d bin Muadz, petinggi kaum Aus yang memiliki peranan setara dan selayaknya Umar bin Khattab ketika masuk Islam di kota Makkah. Setelah itu, sebagian besar dari kaumnya pun berbondong-bondong masuk Islam.

Ikhlas dalam Sanubari dan Sabar dalam Jiwa

Lebih daripada itu semua, beliau mungkin memiliki sebuah ramuan mujarab yang mampu memberikan pengaruh kepada kawan bicaranya: ramuan ikhlas yang merupakan ruh dalam setiap amal. Kita tidak tahu, selembut dan setulus apa beliau membaca Al-Qur’an dan menyampaikan dakwahnya sehingga kawan bicaranya tanpa ragu masuk ke dalam cahaya Islam. Sebagai manifestasinya, mungkin beliau mengetuk setiap pintu rumah yang ada di kota Madinah demi memenuhi hak dakwahnya sehingga pintu cahaya Islam terbuka untuk setiap kalbu dan menjadikan hal tersebut sebagai fondasi bagi penyebaran agama Islam di masa mendatang dan menjadikannya layak memiliki gelar ‘Muqri’ul Madinah’.[3]

Kesabaran juga merupakan tolok ukur dalam tugas suci ini, layaknya induk ayam mengerami telurnya yang menunggu hingga waktu bertelur tiba. Namun di sisi lain, beliau juga tetap aktif dalam menjalankan kausalitas lain demi menjaga telurnya dapat berkembang dengan sempurna. Kemewahan dan kelimpahan dunia yang beliau miliki telah sirna, orangtuanya telah menyiksa dan mengusirnya, tekanan yang diberikan kaum Quraisy memaksanya pergi berhijrah. Meskipun begitu, dengan derita yang ada, beliau menahan gigi gerahamnya dan berusaha memenuhi tugas yang beliau jalankan demi menjelaskan hakikat Islam.

 

Karakternya yang Mulia

Selain tutur bahasanya yang lembut dan ketulusan senyuman yang beliau sebarkan, beliau juga percaya jikalau cara yang terbaik untuk menjelaskan sebuah hakikat ialah dengan meyakinkan kawan bicara bahwa apa yang beliau lakukan adalah benar. Khususnya di periode ketika manusia lebih mementingkan logikanya, beliau mengatur strategi agar dapat menjelaskan hakikat tersebut sesuai dengan kondisi, waktu, dan tempatnya tanpa perlu menghapus nilai-nilai kemanusiaan. Beliau juga menghormati pendapat mereka sehingga mereka pun bersedia mendengarkan apa yang hendak beliau sampaikan. Mereka yang hatinya keras pun setelah mengenal potret diri Sayidina Mush’ab radiyallahu ‘anhu, pada akhirnya luluh dan masuk ke dalam cahaya Islam dengan sepenuh hati.

Selain itu, beliau juga mampu menyalurkan derita yang beliau miliki ke dalam hati yang lain, agar mereka pun dapat merasakan keindahan dalam menjalankan tugas suci ini selagi melanjutkan tongkat estafet yang perlu beliau jaga dan beliau amanahkan kepada generasi selanjutnya. beliau mengajak mereka yang telah beriman untuk ikut berperan sekaligus meyakinkan yang lain dalam tugas menjelaskan hakikat Islam. Lebih dari itu, beliau juga tak luput mengantarkan dan mengenalkan mereka kepada mursyid sesungguhnya, yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah loyalitas hakiki sang guru dakwah yang ingin beliau contohkan kepada kita semua.

Sosok mulia Mush’ab bin Umair setara dengan makna luhur dari nama yang beliau miliki. Meski gemilang dunia telah memanjakannya, tetapi kehausan iman yang beliau rasakan telah mengubah hidupnya secara utuh, menjadikannya sosok pemuda yang rela mengorbakan jasmani maupun rohaninya demi tugas dakwah. Ini bukanlah hal yang mudah. Namun jika orang tersebut memiliki keteguhan iman dengan meyakini apa yang ia ketahui adalah benar, fokus pada tujuan suci yang ia emban, maka menjaga keseimbangan pemikiran dan memaparkan kehendaknya bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dimanifestasikan. Di samping itu, keberanian, kelembutan hati, kesabaran, dan keikhlasan merupakan sifat mulia yang tak bisa lepas dari tugas dakwah ini. Beliau jalankan irsyadnya sesuai ketebalan atmosfer pengetahuan kawan bicaranya, karena setiap orang merupakan satu dunia yang berbeda. Bersama dengan karakter mulia yang beliau miliki, beliau berusaha mencari hati yang haus untuk diajarkan cara minum dan memberikan minuman tersebut kepada yang lain, menghormati setiap kawan bicara dengan nilai-nilai kemanusiaan yang mereka miliki, mengantarkan mereka kepada mursyid hakiki untuk menjadikan mereka hamba yang layak di hadapan Sang Maha Pencipta setelah menafikan dirinya. Inilah sosok guru dakwah yang kita tunggu-tunggu dan kita butuhkan di sepanjang masa.

 

***

 

[1]Julukan bagi Sayidina Mush’ab bin Umair yang berarti duta Islam.

[2]Mush’ab yang bijak atau yang selalu berbuat kebaikan.

 

[3]Narasumber Madinah.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *