MUS’HAB BIN UMAIR – 2 Manifestasi Impian Agung

“Wahai Rasulullah, harmoni rasa rindu akan sebuah hakikat sudah sejak lama hadir, bahkan sebelum aku mengenalmu.

Melodi keindahan beserta kesempurnaan lirik yang engkau lantunkan tak henti-hentinya menggetarkan jiwa ini untuk melebur bersama dengan merdunya irama iman dan harapan.

Kini sudah tiba waktunya untuk aku pergi bersama dengan impian agung ini, demi mengalunkan kemuliaan namamu sebagai nada awal untuk melengkapi komposisi lantunan cahaya Islam.”[1]

 

Kalimat di atas merupakan sebuah ungkapan dari dalam lubuk hati seorang pahlawan pemberani di saat Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya untuk mengajarkan cahaya iman dan membangun landasan peradaban Islam di kota Madinah. Inilah sebuah impian agung yang diukir dan dimanifestasikan dengan kemuliaan aksi oleh seorang Sahabat Nabi yang bernama Mus’hab bin Umair.

Memiliki angan-angan merupakan sebuah anugerah yang Allah subhanahu wa ta’ala limpahkan kepada setiap umat manusia. Namun hal itu perlu disempurnakan bersama dengan tujuan yang bernilai. Kita sebagai pengikut Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan Potret Kebanggaan Umat Manusia akan memiliki sebuah nilai luhur jika amanah kenabian yang telah dimanifestasikan oleh Beliau mampu kita raih dan kita aplikasikan ke dalam setiap ranah kehidupan. Dengan tugas dakwah inilah, sebenarnya kita akan layak untuk mendapatkan kemuliaan sebagai umatnya yang istimewa. Sedangkan jika seseorang lupa atau bahkan dengan sengaja melupakan impian agung tersebut, lembah keegoisan[2] yang merupakan penyakit kronis di era ini akan mengantarkannya ke dalam lumpur dunia. Setelah itu, hal tersebut akan mengotori hati nuraninya sehingga ia pun jatuh ke dalam lubang keputusasaan di saat-saat tidak mampu meraih impian yang ia harapkan. Sayidina Mush’ab bin Umair kembali hadir untuk mengajarkan kita tentang arti penting mencintai hakikat, keharusan untuk memiliki pandangan yang positif, makna kepuasan hakiki, dan keluhuran sikap itsar yang satu sama lain saling berpadu untuk membentuk sebuah impian agung yang sesungguhnya.

 

Mencintai Hakikat dan Bergerak dengan Pandangan Positif  

Pada awalnya sebuah kabar tentang hadirnya sosok seorang nabi kala itu tidak menggugah jiwanya untuk bangkit dari bayang-bayang kenikmatan dunia. Namun sudah menjadi fitrah bagi seseorang yang mencintai hakikat untuk mencari dan meneliti akan kebenaran yang sesungguhnya. Di keesokan harinya, tepat ketika beliau melewati rumah salah seorang Sahabat yang merupakan sosok agung keenam yang  menyatakan keislamannya[3] dan juga figur yang mengajarkan Al-Qur’an kepada Fatimah binti Khattab dan suaminya Said bin Zaid, di saat itulah pintu hidayah terbuka lebar dalam dirinya. Khabbab bin Arat yang kala itu tidak lebih dari seorang budak yang mahir dalam mengolah besi mampu meluluhkan hati mulia Sayidina Mush’ab. Dengan besi panas yang bertumpu di tangannya, ia pun berujar, “Tahukah kau Mush’ab, bahwa besi panas yang ada di tanganku ini tak sebanding dengan panasnya api yang kini membara di dalam hatiku?” Ungkapannya itu pun membuat hati pemuda ini ikut tersulut terbakar meleburkan kekufuran yang sudah sejak lama merisaukan fitrah Islamnya. Belaiu sama sekali tidak pernah memandang rendah siapa pun yang menyatakan kebenaran, meskipun beliau adalah seorang pemuda tenar yang ternama.

 

Makna Kepuasan Hakiki

Seolah-olah semua kenikmatan dunia yang telah ia dapatkan, segala keramahan atmosfer ragawi yang telah ia jalani tidak sebanding dengan gemilangnya iman dan pancaran tegangan metafisik yang beliau rasakan pada saat itu. Meski tak akan ada lagi semerbak harumnya busana yang beliau pakai, limpahan hidangan dunia yang menghiasi hawa nafsunya, juga rasa cinta seorang ibu yang selalu memanjakannya, dengan penuh keyakinan ia pun berkata, “Tidak! Aku telah puas dengan kondisiku saat ini.” Seteguk iman yang telah mengalir ke dalam jiwanya menutup setiap celah kelezatan dunia yang telah ia ubah menjadi kebahagiaan abadi dan merasakan kepuasan hakiki yang sesungguhnya. Demikian pentingnya dakwah ini sehingga hal tersebut juga mengharuskan kita sebagai individu yang bertanggung jawab dalam melanjutkan estafetnya untuk merasa cukup dengan keindahan iman yang kita hirup tanpa perlu sedikit pun mengharap pamrih dari orang lain.

 

 

 

Keluhuran Sikap Itsar

Luhurnya sikap itsar tak lupa beliau tampilkan pada saat peperangan di Uhud berlangsung sengit. Dengan sebuah pertimbangan yang matang, “Apakah aku sudah layak untuk menghadap ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala dengan keadaanku saat ini?”, “Apakah diri ini sudah pantas menjadi pelindung Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam?” beliau memilih mengorbankan sekujur tubuhnya untuk melindungi Manusia Agung yang telah menyelamatkan dirinya dari gelapnya kekufuran. Beliau membuat para malaikat merasa cemburu dengan pengorbanannya tersebut sehingga mereka pun menjelmakan diri mereka dengan Mush’ab yang sedang sibuk berperang hingga petang usai.[4] Sosok yang telah berdedikasi untuk berdakwah perlu mencari jalan untuk mendapatkan rida Allah subhanahu wa ta’ala dengan luhurnya sikap itsar yang akan mereka manifestasikan layaknya para Sahabat ketika memaparkan iradahnya dalam harapan hijrah, “Manakah yang lebih makbul, menghiasi setiap detik waktu bersama dengan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan kenangan yang ada ataukah pergi ke seluruh penjuru dunia dengan meninggalkan semua yang ada seraya melukiskan sebuah kehidupan baru untuk memperdengarkan keagungan asma Allah subhanahu wa ta’ala di setiap kalbu yang membutuhkan?” lalu membawa mereka menuju impian agung bersama dengan hijrah yang telah mereka jalani saat itu. Mereka tak lepas mengarungi perjalanan hijrah itu demi menjalankan sebuah takdir yang telah terlukis indah dalam peta penyebaran cahaya Islam ke seluruh penjuru dunia.

Seberapa agung impian yang seseorang miliki tergantung pada cerminan nilai yang ada pada dirinya. Dengan kata lain, nilai seseorang akan terlukiskan sesuai dengan tujuan yang ia harapkan. Jika seseorang mengikat tujuannya dengan mengharapkan rida Ilahi, dan dengan tujuan tersebut ia manifestasikan dengan semangat untuk mengagungkan asma Allah subhanahu wa ta’ala ke seluruh penjuru dunia, maka ia pun akan terselamatkan dari pusaran egosentrisme. Bersamaan dengan itu semua, hal tersebut juga akan mengantarkannya menuju keluasan hati nurani yang mencakup seluruh alam semesta.[5] Layaknya Mush’ab bin Umair, ia akan terbang dan menyaksikan layar rohaniah teraktual di depannya, membangkitkan harapan baru, membuka sebuah cakrawala lain di setiap langkahnya, dan selalu berlari menuju impian hakiki layaknya kuda kesatria yang rela mati saat menggapai tujuannya tersebut. Ini yang seharusnya kita manifestasikan dari tugas dakwah, untuk kita jadikan sebagai impian agung demi merasakan tanggung jawab akan adanya beban kenabian yang ditampilkan oleh kemulian Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita semua. Oleh karena itu, di mana dan dalam kondisi apa pun kita berada, sebagai sosok manusia yang mendalami nilai dakwah ini, sudah menjadi tanggung jawab bagi kita untuk melakukan yang terbaik dan utama, baik bagi generasi saat ini maupun yang akan datang.

 

***

 

 

 

 

 

 

 

 

[1] Dibuat oleh penulis.

[2]Said Nursi, Badiuzzaman, Al-Maktubat. Risalah Nur Press, Tangerang Selatan (2017).  hal. 807.

[3]http://fauzanhizbullah.blogspot.com/2012/11/khabbab-bin-arats-seorang-pandai-besi.html

[4] Hakim, Manshur Abdul, Khalid bin Walid, Panglima yang tak terkalahkan, Al-Kautsar, Jakarta (2014), hal. 163.

[5] Gülen, Fethullah, Kendi İklimimiz, Nil Yayınları, İstanbul (2011), hal. 206-207

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *