Jika manusia adalah seumpama penggembara dan dunia hanyalah salah satu dari sekian banyak tempat persinggahan, maka hal penting yang harus dilakukannya ketika berada di dunia ini adalah menemukan sosok terpenting, termulia, dan paling utama yang menjadi pembimbing seluruh umat manusia di muka bumi ini. Perjalanan yang ditempuhi tersebut harus pula bisa menjawab tiga pertanyaan penting yang akan menyingkap tirai hakikat keberadaan manusia, yakni: dari mana kita berasal, mengapa kita ada, dan akan ke mana kita pergi? Itulah mengapa bersama dengan sifat rahman dan rahim-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala menganugerahkan kepada kita seorang rasul yang memiliki semua kriteria paripurna untuk menjadi pembimbing terbaik bagi umat manusia menemukan hakikat kehidupan yang harus dijalaninya.
Dari semua kualitas utama yang ada pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, salah satu aspek paling menonjol yang menjadi penguat pentingnya keberadaan Beliau adalah rasa kasih sayang, kesetiaan, dan kelembutan yang memancar indah dari setiap perilakunya yang tak hanya ditujukan kepada manusia saja, tetapi juga bagi seluruh alam sehingga banyak kalbu yang pada akhirnya terpikat dan tunduk pada kebenaran yang dibawanya.
Afeksi, kasih sayang, dan kesetiaan merupakan nilai-nilai kemanusiaan paling indah yang dicontohkan oleh Beliau hingga menjadikan manusia berada pada derajat kemuliaannya. Dalam hal ini, tentu saja, tak ada yang bisa menandingi rasa kasih Tuhan pada hamba-hamba-Nya sehingga untuk menjelaskan dan mengajarkan kepada umat betapa pentingnya keberadaan rasa ini, pada beberapa hadisnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan kepada kita kondisi kasih sayang seorang ibu kepada anaknya sebagai perlambang bagi besarnya kecintaan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang jauh lebih mulia daripada cinta ibu kepada anaknya tersebut, misalnya saja pada hadis yang diriwayatkan dari Sahabat Umar bin Khathab radiyallahu ‘anhu berikut ini:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendapatkan beberapa orang tawanan perang. Ternyata dari tawanan tersebut ada seorang perempuan yang biasa menyusui anak kecil. Apabila dia mendapatkan anak kecil dalam tawanan tersebut, maka dia akan mengambil dan menyusuinya. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda kepada kami: ‘Menurut kalian, apakah perempuan itu tega melemparkan bayinya ke dalam api?’ Kami menjawab; ‘Sesungguhnya ia tidak akan tega melemparkan anaknya ke dalam api selama ia masih sanggup menghindarkannya dari api tersebut.’ Lalu Beliau bersabda: ‘Sungguh, kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya melebihi kasih sayang perempuan itu terhadap anaknya’.”[1]
Begitu besarnya kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya menjadikan begitu banyak inayah pertolongan dan magfirah-Nya melingkupi semua aspek kehidupan kita. Salah satu bentuk kasih sayang ini diwujudkan-Nya dengan keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembimbing, guru, dan panutan bagi kita. Rasulullah, Sang Sayidul anam merupakan sosok manusia utama yang merupakan sebab bagi terciptanya segenap mayapada, pemberi makna untuk semua enigma, penerjemah atas segala resah-gulana, pemberi jawaban atas semua galau dan tanya. Beliaulah yang oleh Ustaz Badiuzzaman Said Nursi disebut sebagai cermin paling bening yang memantulkan keindahan dan kehalusan estetika Sang Pemilik alam seperti yang ditunjukkan oleh tanda-tanda kekuasaan-Nya, serta sosok terbaik yang mencintai dan membuat dirinya dicintai oleh-Nya. Beliau adalah sosok terbaik yang memperkenalkan dan memberitahukan khazanah gaib yang berisi mukjizat paling indah dan permata paling berharga milik Sang Pencipta alam.[2]
Menjadi Wafa dalam Setia
Adanya rasa kasih dan cinta akan mendorong kita memiliki perasaan setia dan taat, sebuah asa sekaligus pemikiran penting yang mengarahkan seseorang pada derajat terhormat di mata Allah dan manusia. Adanya kesetiaan pada seseorang akan mendorong kita untuk memiliki pula nilai-nilai kebajikan terbaik yang bisa dimiliki seorang manusia, seperti teguh kala berjanji, menempatkan kemauan pada sesuatu yang menjadi haknya, menunjukkan rasa hormat dan penghargaan sebagai rasa syukur atas berkah dan rahmat Allah yang ada pada dirinya. Jika ditelusuri lebih dalam, dinamika utama lain dari kesetiaan adalah adanya rasa keterikatan, yakni upaya-upaya yang meyakinkan, jujur, dan dapat dipercaya saat memberikan janji. Rasa keterikatan juga akan mendorong manusia untuk memberikan dukungan dan harapan yang terbaik bagi sesama, menjadi pendamping terbaik dalam pencapaian rida Ilahi, menjaga kepercayaan, dan usaha terbesar untuk dapat memenuhi tugas yang diberikan atau sedang dilaksanakan.
Wafa adalah sebuah konsep diri tentang kesetiaan yang menurut Ibnu Hazm sebagai salah satu dalil atau pembuktian paling kuat dari baiknya keturunan atau akar yang bersih dari seorang individu.[3] Dalam hal ini kita melihat bahwa menjaga kebersihan keturunan melalui kehalalan asupan makanan dan tarbiah bagi mereka sangat penting karena akan menampakkan pula efek baik dalam bentuk salah satu kualitas diri yang tinggi berupa sifat setia yang akan pula menjadi karakter anak cucu kita nantinya.
Lantas mengapa seorang Mukmin harus memiliki kesetiaan? Apa alasan dari keberadaan perasaan ini? Menurut Maulana Jalaluddin Rumi, alasan pertama bagi adanya perasaan setia adalah karena “cinta dan kepatuhan”[4]. Demi buih lautan yang menggulung ombak, kata setia adalah sebuah pembuktian, bukan hanya sebatas patah kata. Mereka yang setia akan terus maju karena cinta, bertetap dalam rungkup setia, tanpa pernah tunduk pada putus asa atau menyerah dalam retak jiwa. Dengan modal setia dan cinta inilah jiwa-jiwa melesat meraih kedalamannya. Oleh karena sebenarnya satu-satunya hakikat yang dicapai ruh jiwa manusia pada iman, makrifat, dan hubungannya dengan Tuhan pun adalah cinta.[5]
Jika demikian, siapakah atau apakah yang layak mendapatkan kesetiaan bagi orang-orang beriman dan bagaimana kita harus setia? Yang pertama dan utama tentu saja kita harus menunjukkan kesetiaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, Dzat yang telah menjadi pemilik jasad dan jiwa, kalbu dan raga kita. Ada pula banyak ayat Al-Qur’an yang mengacu pada pola setia yang harus dimiliki oleh seorang mukmin agar nanti pada saat dihisab akan dapat mempertanggungjawabkan janji setianya ketika ia berada di alam ruh dahulu pada ucapan qâlu bâla, syahidnâ atas pertanyaan alastu birabbikum.[6] Selanjutnya kesetiaan yang kedua adalah kesetiaan kita kepada Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam, lalu diteruskan dengan kesetiaan pada Al-Qur’an yang dibawa oleh Beliau, setia pada Islam sebagai agama yang kita imani dan yakini, setia kepada seluruh guru serta para ulama sejak dari zaman para Sahabat Rasulullah hingga di zaman ini, manusia-manusia mulia di jalan Islam yang telah mencurahkan banyak pengorbanan bagi kebaikan kita. Berikutnya adalah rasa setia kepada orangtua yang membimbing kita di jalan iman dan ibadah kepada Allah, serta tentu saja setia pada dakwah untuk mengajak manusia di jalan menuju-Nya sebagaimana telah dicontohkan dengan amat sempurna oleh Sang Sayidul anam, Rasulullah tercinta shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kesetiaan kepada Mereka yang Giat Berdakwah
Ketika seorang Mukmin dituntut untuk memiliki kesetiaan pada Sang Nabi, maka sesungguhnya Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah terlebih dahulu menunjukkan sikap penuh kasih dan setia dengan teladan terbaik yang bisa kita ambil sebagai panutan. Beliau adalah sosok yang paling teguh dan serius dalam hal menepati dan memenuhi janjinya. Beliau tidak pernah melanggar janji atau lupa pada mereka yang pernah membantunya. Sang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang nabi yang selalu berusaha melindungi teman-temannya, selalu menanyakan kabar mereka dan bertanya jika mereka membutuhkan sesuatu. Pada banyak hadis kita akan mendapati bagaimana kesetiaan mewarnai setiap langkahnya, bahkan Beliau rela menunggu berhari-hari demi setia dalam menepati janji. Selain itu, Nabi juga setia kepada sekutu-sekutunya, pihak-pihak yang pernah membantu dan mendukung dakwahnya, Beliau juga sangat setia kepada mereka yang membantu para Sahabatnya.
Kesetiaan ini tidak hanya Beliau tunjukkan kepada mereka yang berkedudukan tinggi atau para Sahabat yang berjasa dalam pekerjaan besar. Sesungguhnya Beliau justru menampakkan kesetiaan dengan sikap penuh kasih kepada siapa saja yang berjasa dalam khidmah agama Islam tanpa memandang kedudukan atau jabatan mereka. Salah satu kisah yang sangat menyentuh hati adalah bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat peduli pada seorang nenek tua berkulit hitam yang biasa membersihkan dan menyapu Masjid Nabawi sebelum datang waktu salat. Sosok wanita ulet, rajin, dan bertekad kuat untuk tetap melakukan sesuatu bagi agamanya meski telah renta itu bernama Ummu Mahjan. Ketika Ummu Mahjan jatuh sakit, Rasulullah meminta para Sahabat agar saat beliau wafat tidak menguburkannya sebelum Beliau menyalatkannya. Namun malam harinya ketika wanita itu wafat, para Sahabat mendatangi kediaman Rasulullah tetapi ternyata Beliau telah tertidur. Maka dikarenakan tak ingin mengganggu waktu istirahatnya, mereka pun pada akhirnya langsung menguburkan Ummu Mahjan di daerah Baqi al-Gharqad. Ketika mendengar kabar tersebut setelahnya, Rasulullah sangat terkejut dan meminta mereka menunjukkan kuburan Ummu Mahjan. Sesampainya di sana Beliau melaksanakan salat gaib dan bersabda:
“Sesungguhnya kuburan-kuburan ini telah dipenuhi kegelapan bagi penghuninya. Dan Allah benar-benar akan memberikan mereka cahaya karena salat yang aku lakukan atas mereka.”[7]
Peristiwa di atas menunjukkan kepada kita betapa besar rasa setia yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tunjukkan kepada siapa pun yang berkhidmah bagi agama ini, meski pada seorang tukang sapu masjid. Yang Beliau tampakkan adalah penghormatan atas bakti dan semangat wanita tersebut untuk melakukan sesuatu bagi agama Islam yang walau tampak remeh, tetapi sangat dalam maknanya karena takaran kemampuan wanita tua tersebut sudah sangat terbatas.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sangat mencintai, baik Sahabat Anshar maupun Muhajirin. Maka banyak hadis yang menunjukkan betapa Beliau teramat setia dan menganjurkan kita untuk pula setia kepada mereka radiyallahu ‘anhum. Pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radiyallahu anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tanda kemunafikan adalah membenci sahabat Anshar dan tanda keimanan adalah mencintai sahabat Anshar.”[8]
Hadis ini menunjukkan ketinggian kedudukan para Sahabat Anshar dan dukungan Beliau sebagai balasan atas kesetiaan mereka pula.
Kesetiaan kepada Kewajiban Dakwah
Kisah pedih Rasulullah ketika berada di Thaif sudah menjadi hal yang kita ketahui bersama. Kala itu Beliau pergi berdakwah ke kota Thaif karena selepas wafatnya sang istri, Sayidah Khadijah, pada tahun ke-10 kenabian lalu disusul pula dengan wafatnya paman yang menjadi pelindungnya, Abu Thalib, hanya berselang beberapa hari kemudian, menimbulkan kesedihan yang luar biasa bagi Rasulullah. Tahun tersebut disebut sebagai ‘Tahun Kesedihan’ atau ‘amul huzn. Setelah kematian Abu Thalib, Abu Lahab yang merupakan kepala kabilah Hasyim setuju untuk mengambil alih perlindungan bagi Rasulullah atas desakan saudara perempuannya. Namun setelah beberapa waktu ia membatalkan keputusan ini atas dorongan ‘Uqbah bin Abu Muaith dan Abu Jahal. Kala itu sikap kaum Quraisy terhadap Sang Nabi semakin menjadi-jadi. Hal ini kemudian membuat Rasulullah mengarahkan dakwahnya ke luar kota Makkah.[9] Bersama Zaid bin Haritsah beliau pergi ke Thaif, tempat tinggal suku Tsaqif. Beliau mengajak para petinggi kabilah seperti ketiga putra ‘Amr bin Umair, yakni Abduyalil, Mas’ud dan Habib, dan beberapa orang penting lain dari kabilah tersebut. Rasulullah menyampaikan ajakan untuk masuk ke dalam Islam, tetapi tak satu pun dari orang-orang Bani Tsaqif yang mendengarkan seruan tersebut, malah rakyatnya melempari batu kepada Beliau dan Zaid bin Haritsah. Saat itu, sebagaimana Rasulullah terluka akibat lemparan batu tersebut, Sahabat Zaid juga mengalami luka di bagian kepala saat berusaha melindungi Beliau. Sedemikian rupa Zaid bin Haritsah radiyallahu ‘anhu berusaha menjadikan tubuhnya sebagai tameng agar Rasulullah tidak terkena lemparan batu-batu tersebut, tetapi keduanya tetap terkena hantaman batu-batu yang dihujamkan secara bertubi-tubi.
Peristiwa ini dikenal sebagai momen untuk kita melihat bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat setia kepada umat manusia meski saat itu banyak dari manusia justru menzaliminya. Doa Rasulullah yang mengungkapkan permohonan perlindungannya dari Allah bagi orang yang justru menyakitinya melukiskan betapa dalamnya kasih sayang pada diri Beliau. Suatu hari Sayidah Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah:
“Wahai Rasulullah, pernahkah engkau mengalami hari yang lebih buruk daripada Perang Uhud?” Maka Rasulullah menjawab, “Suatu hari aku pernah menemui kaum yang sangat kejam yang belum pernah aku temui sebelumnya, yaitu hari ketika aku menemui kaum kampung ‘Aqobah (di Thaif. Ketika aku ingin menemui (untuk meminta perlindungan sekaligus menyebarkan Islam) pada Ibnu Abi Yalil bin Abdi Kulal (salah satu pembesar di Thaif), tetapi dia tidak memenuhi keinginanku, lalu aku pulang dalam keadaan wajahku berdarah (karena perlakuan warganya yang melempari dengan batu). Ketika aku berhenti di Qarnul Tsa’alib (Miqat Qarnul Manajil), aku melihat ke atas dan awan memayungiku sehingga aku merasa teduh. Lalu, aku melihat Jibril memanggilku seraya berkata: “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan (hinaan) kaummu dan penolakan mereka kepadamu. Allah telah mengutus malaikat penjaga gunung terhadapmu.“Ya Muhammad,” sahut malaikat penjaga gunung. “Jika engkau mau supaya aku melipatkan Akhsyabain (dua gunung di Makkah, yaitu gunung Abi Qubaisy dan gunung yang menghadapnya) ini di atas mereka, niscaya akan kulakukan.” Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam malah berdoa (dengan tidak ada sedikit pun keinginan untuk membalasnya). Bahkan, aku berharap mudah-mudahan Allah mengeluarkan dari tulang rusuk mereka, (keturunan) yang menyembah Allah Yang Esa dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.[10]
Lalu apa yang terjadi setelah kejadian di Thaif? Ternyata balasan atas ketabahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mulai banyaknya orang yang mendapatkan cahaya hidayah. Setelah itu ada 6 orang dari Yatsrib yang berbaiat kepada Beliau sebagai Muslim, lalu pada tahun berikutnya 12 orang asal Yatsrib datang untuk berbaiat di Aqabah. Berikutnya pada tahun selanjutnya rombongan yang datang berjumlah 70 orang, begitu terus hingga terus bertambah dan bertambah.[11] Maka dari contoh ini seolah-olah kita diminta melihat bahwa hikmah dari bersabar dan terus setia dalam dakwah adalah diterimanya apa yang kita sampaikan meskipun mungkin bukan pada sasaran yang dituju pada awalnya. Jika suatu kaum menolak, maka Allah akan mendatangkan kaum lain yang lebih baik untuk menerima dakwah kita, asalkan keteguhan pada janji setia untuk berdakwah ini tetap dipegang kukuh. Maka tak heran jika seorang ulama besar seperti Fethullah Gülen berkata: “Telah mulai kita lewati jalanan penuh duri, tetapi telah ditegakkan janji pada Ilahi untuk takkan berpaling kembali. Hanya dengan itulah jarak akan ditempuhi, barulah setelah itu jalanan akan kembali sunyi, hanya dengan begitu jembatan yang tampak sulit akan terlampaui.”
Contoh lain dari kesetiaan Beliau untuk memegang teguh misi terpenting dan utama dalam hidupnya adalah putaran kisah pada masa boikot yang dialami oleh kaum Muslimin. Pada kisaran tahun 616-619 M terjadi peristiwa pemboikotan terhadap Bani Muthalib dan Bani Hasyim oleh kaum Quraisy yang bertujuan untuk membuat suku-suku yang melindungi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut mati kelaparan di tengah panasnya gurun tanpa adanya bantuan dari mana pun. Mereka diusir hingga ke sebuah tempat di luar Makkah bernama Syi’b Abu Thalib yang di sana sangat sulit untuk mendapatkan makanan sehingga orang-orang pun terpaksa memakan dedaunan dan kulit hewan kering untuk bertahan hidup. Kala itu semua orang kelaparan dan berada dalam kondisi teramat sulit. Pada saat itu di malam hari proses boikot tidak terlalu ketat sehingga terkadang beberapa dari mereka bisa mendapatkan makanan dari saudara-saudaranya yang tidak terkena dampak boikot. Namun di tengah rasa lapar yang begitu melilit sekali pun, Nabi Muhamad shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melanjutkan dakwah Islam walaupun kekejaman demi kekejaman kaum Quraisy terus datang silih berganti. Sekiranya berkesempatan masuk ke Makkah pada malam atau siang hari, maka bukanlah makanan yang dicari melainkan Beliau akan sibuk mencari pintu yang masih bisa diketuk untuk menerima dakwahnya, sekiranya ada hati yang masih mau menerima pencerahan darinya. Ibnu Katsir menyebutkan: “Rasulullah tetap melanjutkan dakwah seperti biasanya, mengajak manusia untuk mengesakan Allah siang dan malam, baik diam-diam maupun terang-terangan, menyerukan perintah-perintah Tuhan tanpa ada rasa takut sedikit pun.”[13] Kegigihan Beliau dalam berdakwah menjadikan hal tersebut sebagai tujuan tertinggi yang tak akan terhalangi oleh kesulitan atau kondisi apa pun. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa kesetiaan serupa inilah yang kelak akan mengantarkan manusia dan kemanusiaan pada keberhasilan dakwahnya.
Tidak Meninggalkan Umat meski telah Sampai ke Sidratulmuntaha[14]
Isra Mikraj merupakan salah satu peristiwa istimewa dari begitu banyaknya mukjizat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan berdasarkan kajian sebagian besar ulama tafsir, dinyatakan bahwa peristiwa Isra Mikraj adalah suatu peristiwa amat istimewa dan mahaagung karena pada awal ayat yang menceritakan kejadian ini Allah berfirman dengan diawali kata “subhâna” yang berarti “mahasuci”, sementara bentuk ini tidak terdapat pada 113 surat lain di dalam Al-Qur’an. Karenanya, nyata bahwa peristiwa mahadahsyat ini dapat mewakili pembuktian kecintaan Allah dan kasih-Nya terhadapnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai khatamun nabiyyin[15] dan sebagai penghiburan atas beratnya cobaan yang Beliau alami saat itu.[16]
Pada saat itu ketika banyak orang menyangsikan kebenaran hal tersebut bahkan beberapa dari mereka yang lemah imannya menjadi murtad, salah seorang Sahabat terbaik, Abu Bakar radiyallahu ‘anhu, justru segera membenarkan Beliau sehingga laqab (julukan) as-shiddiq yang bermakna ‘orang yang jujur dan banyak membenarkan’ pun disematkan kepadanya.[17] Berbagai hal yang sangat mengagumkan terjadi di malam itu, mulai dari perjalanan yang sangat jauh dari Masjidilharam ke Masjidilaksa yang ditempuh hanya dalam waktu singkat, pembelahan dada Sang Nabi, dinaikkannya Beliau hingga ke langit ketujuh, pertemuan Beliau dengan para nabi dan malaikat serta menjadi imam salat bagi mereka, bahkan sampai ke Sidratulmuntaha yang secara jelas disampaikan pada kita pada surat An-Najm:
“Dan sungguh, dia (Muhammad) telah melihatnya (dalam rupa yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratulmuntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratulmuntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak menyimpang dari yang dilihatnya itu, dan tidak pula melampauinya. Sungguh, dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kebesaran) Tuhannya yang paling besar.” (QS. 53/13-18).
Pada salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasulullah menyampaikan gambaran tentang apa yang Beliau lihat di Sidratulmuntaha: “Ketika dimikrajkan ke langit, aku dinaikkan ke Sidratulmuntaha. Kemudian, aku melihat cahaya yang agung. Daun-daun Sidratulmuntaha itu seperti kuping-kuping gajah dan buah-buahnya seperti kendi besar. Di sana ada empat sungai yang dari akarnya keluar dua sungai luar dan dua sungai dalam. Saat itu, aku bertanya, ‘Apa ini, Jibril?’ Ia menjawab, ‘Dua sungai dalam adalah dua sungai di surga, sedangkan dua sungai luar adalah sungai Nil dan Eufrat’.” Pada saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga diperlihatkan pada Baitulmakmur yaitu tempat yang setiap harinya didatangi tujuh puluh ribu malaikat, lalu setelah itu Rasulullah meninggalkan Malaikat Jibril di Sidratulmuntaha untuk kemudian berangkat menuju Mustawa, ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala.”[18] Di sanalah Beliau menerima perintah salat yang pada awalnya berjumlah 50 waktu, tetapi kemudian berkurang menjadi 5 waktu salat.
Perjumpaan yang sangat sakral ini mengukuhkan posisi Beliau yang sangat tinggi, maka Imam Nasai mengatakan, “Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Mu’adz bin Hisyam, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Qatadah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas mengatakan, “Apakah kalian heran bila predikat khullah (kekasih Allah) bagi Ibrahim, kalam (diajak bicara) bagi Musa, dan ru’yah (melihat Allah) bagi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam?”[19] Dalam hal ini ada penjelasan lebih lanjut apakah Beliau melihat langsung atau tidak. Maka dalam kitab Sahih Muslim disebutkan melalui Abu Dzar yang telah mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah engkau melihat Tuhanmu?” Maka Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Hanya nur (cahaya) yang kulihat, mana mungkin aku dapat melihat-Nya.” Menurut riwayat lain, jawaban Rasulullah adalah: “Aku (hanya) melihat cahaya.” Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id Al-Asyaj telah menceritakan kepada kami Abu Khalid, dari Musa bin Ubaidah, dari Muhammad bin Ka’b yang mengatakan bahwa para Sahabat pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah Engkau pernah melihat Tuhanmu?” Maka Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Aku melihat-Nya dengan pandangan hatiku sebanyak dua kali. Kemudian Rasulullah membaca firman-Nya: ‘Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya’.” [20]
Ibnu Jarir meriwayatkan hadis ini dari Ibnu Humaid, dari Mahran, dari Musa bin Ubaidah, dari Muhammad bin Ka’b, dari sebagian Sahabat Nabi yang menceritakan bahwa kami bertanya,“Wahai Rasulullah, apakah engkau pernah melihat Tuhanmu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Aku tidak melihat-Nya dengan mataku, tetapi aku melihat-Nya dengan mata hatiku sebanyak dua kali. Kemudian Beliau membaca firman-Nya: Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat (lagi).[21]
Hadis dan ayat-ayat di atas menggambarkan betapa banyaknya kebesaran Allah yang diperlihatkan kepada Beliau saat itu. Maka hal ini menunjukkan betapa istimewanya posisi Beliau. Namun ada hal yang sangat menarik bahwa setelah ditunjukkan berbagai hal luar biasa bahkan bisa melihat surga, Sang Nabi tercinta tak tebersit dalam kehendaknya untuk tetap berada di sana dan tak perlu pergi kembali ke dunia yang penuh dengan kesulitan dan cobaan ini. Beliau memilih tetap menemui kita umatnya, memilih membersamai perjuangan dakwah di tengah masyarakat yang melakukan kezaliman kepadanya, memilih meneruskan tugas teramat berat yang penuh dengan derita dan kesulitan. Ya, kesetiaan semacam inilah yang ditunjukkan oleh Beliau kepada kita, umat yang masih sering lalai dan tak jua mampu memantaskan diri menjadi pengikutnya dengan kesetiaan serupa.
Dialah Nabi yang Selalu Menyebut “Ummati, Ummati”
Sebagai seorang Mukmin, kita semua diwajibkan untuk mengimani keberadaan hari akhir. Salah satu makna mendalam mengapa keberadaan Hari Akhir harus diyakini adalah agar kita menjadi manusia yang bertanggung jawab atas semua perilaku, sikap, ucapan, dan semua tingkah laku kita, bahkan satu suapan, satu perkataan, satu kedipan mata, setiap tarikan napas ada perhitungannya. Selain itu keberadaan Hari Akhir yang abadi juga menjadi semacam penguat bagi hati yang patah akibat wafatnya orang yang dikasihi. Kepergian guru, ayah, ibu, saudara, sahabat, ataupun anak ke alam baka pasti meninggalkan kepahitan bagi jiwa, tetapi syukurlah pengetahuan atas keberadaan alam akhirat yang abadi menjadikan kita bisa lebih kuat menghadapi cobaan tersebut, untuk kemudian bertekad memperbaiki amal agar bisa mendapat tempat yang baik dan berkumpul dengan mereka kelak di sana, selamanya. Keadaan umat manusia di Padang Mahsyar dan alam akhirat digambarkan pada banyak ayat dan hadis. Salah satunya adalah pada hadis berikut ini:
“Telah menceritakan kepada kami (Sulaiman bin Harb), telah menceritakan kepada kami (Hammad bin Zaid), telah menceritakan kepada kami (Ma’bad bin Hilal Al ‘Anazi), dia berkata, ‘Kami, orang-orang penduduk Basrah, berkumpul dan pergi menemui (Anas bin Malik), lalu kami pergi bersama Tsabit Al–Bunani dengan tujuan bertanya tentang hadis syafaat. Ternyata Anas bin Malik berada dalam istananya, lalu kami temui beliau tepat ketika dia sedang salat Duha. Kemudian kami meminta izin dan ia pun memberi izin yang ketika itu ia tengah duduk di atas kasurnya. Maka kami berkata kepada Tsabit: ‘Jangan kamu bertanya kepadanya tentang sesuatu sebelum hadis syafaat.’ Lantas Tsabit bertanya, ‘Wahai Abu Hamzah, kawan-kawanmu dari penduduk Basrah datang kepadamu untuk bertanya tentang hadis syafaat.’ Lantas Anas berkata, ‘Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menceritakan kepada kami, Beliau bersabda: ‘Jika Hari Kiamat tiba, maka manusia saling bertumpukan satu sama lain.
Lantas mereka kemudian mendatangi Adam dan berkata, ‘Tolonglah kami agar mendapat syafaat Tuhanmu.’ Namun Adam hanya menjawab, ‘Aku tak berhak untuk itu, tetapi datangilah Ibrahim sebab dia adalah khalilurrahman (kekasih Ar–rahman).’
Lantas mereka mendatangi Ibrahim. Namun sayang Ibrahim berkata, ‘Aku tak berhak untuk itu, coba datangilah Musa, sebab dia adalah kalimullah (nabi yang diajak bicara oleh Allah).’
Lantas mereka pun mendatangi Musa. Namun Musa berkata, ‘Saya tidak berhak untuk itu, coba mintalah kepada Isa, sebab ia adalah roh Allah dan kalimah-Nya.’
Lantas mereka pun mendatangi Isa. Namun Isa juga berkata, ‘Maaf, aku tak berhak untuk itu, tetapi cobalah kalian temui Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.’
Lantas mereka pun mendatangiku sehingga aku pun berkata: ‘Aku kemudian meminta izin Tuhanku dan aku diizinkan, Allah mengilhamiku dengan puji-pujian yang aku pergunakan untuk memanjatkan pujian terhadap-Nya, yang jika puji-pujian itu menghadiriku sekarang, aku tidak melafalkan puji-pujian itu. Aku lalu tersungkur sujud kepada-Nya, lantas Allah berfirman: ‘Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu, katakanlah, engkau akan didengar, mintalah engkau akan diberi, mintalah keringanan engkau akan diberi keringanan.’ Maka aku mengibai ‘Duhai Tuhan, umatku, umatku...’ Allah menjawab, ‘Berangkat dan keluarkanlah dari neraka siapa saja yang dalam hatinya masih terdapat sebiji gandum keimanan.’ Maka aku mendatangi mereka hingga aku pun memberinya syafaat. Kemudian aku kembali menemui Tuhanku dan aku memanjatkan puji-pujian tersebut, kemudian aku tersungkur sujud kepada-Nya, lantas ada suara ‘Hai Muhammad, angkatlah kepalamu dan katakanlah, engkau akan didengar, dan mintalah engkau akan diberi, dan mintalah syafaat engkau akan diberi syafaat.’ Maka aku berkata, ‘Umatku, umatku,’ maka Allah berkata, ‘Pergi dan keluarkanlah siapa saja yang dalam hatinya masih ada sebiji sawi keimanan,’ maka aku pun pergi dan mengeluarkannya. Kemudian aku kembali memanjatkan puji-pujian itu dan tersungkur sujud kepada-Nya, lantas Allah kembali berkata, ‘Hai Muhammad, angkatlah kepalamu, katakanlah engkau akan didengar, mintalah engkau akan diberi, dan mintalah syafaat engkau akan diberi syafaat.’ Maka aku berkata, ‘Wahai Tuhanku, umatku, umatku.’ Maka Allah berfirman: ‘Berangkat dan keluarkanlah siapa saja yang dalam hatinya masih ada iman meskipun jauh lebih kecil daripada sebiji sawi.’ maka aku pun berangkat dan mengeluarkan mereka dari neraka.”
Tatkala kami pulang dari tempat Anas, aku mengatakan kepada sebagian sahabat kami, ‘Duhai sekiranya saja kita melewati Al–Hasan (yang menyepi di rumah Abu khalifah)’. Lantas kami menceritakan kepada Al–Hasan dengan apa yang telah diceritakan Anas bin Malik kepada kami. Selanjutnya kami pun menemuinya dan kami ucapkan salam, ia mengizinkan kami dan kami katakan, ‘Wahai Abu Sa’id, kami datang menemuimu setelah kami kembali dari saudaramu, Anas bin Malik. Belum pernah kami lihat sebagaimana yang ia ceritakan kepada kami tentang syafaat.’
Lantas ia berkata, ‘Hei…!’ Maka hadis tersebut kemudian kami ceritakan kepadanya (Al–Hasan) dan berhenti sampai sini. Namun ia berkata, ‘Hei…!’ Hanya sampai situ?’ Kami menjawab, ‘Dia tidak menambah kami daripada sekadar ini saja.’ Lantas ia berkata, ‘Sungguh, dia pernah menceritakan kepadaku itu -secara sempurna- sejak dua puluh tahun yang lalu, aku tidak tahu apakah dia lupa ataukah tidak suka jika kalian kemudian pasrah.’ Kami lalu berkata, ‘Wahai Abu Sa’id, tolong ceritakanlah kepada kami!’ Al–Hasan kemudian tertawa seraya berkata, ‘Sesungguhnya manusia diciptakan dalam keadaan tergesa-gesa. Saya tidak menyebutnya selain saya akan menceritakannya kepada kalian. Anas telah menceritakan kepadaku sebagaimana dia ceritakan kepada kalian. Nabi berkata: “Kemudian aku kembali untuk keempat kalinya, dan aku memanjatkan dengan puji-pujian itu, kemudian aku tersungkur sujud dan diserukan, ‘Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu, ucapkanlah, engkau didengar, mintalah engkau diberi, dan mintalah syafaat, engkau akan diberi syafaat,’ maka aku berkata, ‘Wahai Tuhanku, izinkanlah bagiku memohon untuk orang-orang yang mengucapkan La Ilaha Illallah!’ Maka Allah menjawab, ‘Demi kemuliaan, keagungan, dan kebesaran-Ku, sungguh akan Aku keluarkan siapa saja yang mengucapkan La Ilaha Illallah!’.”[22]
Membaca hadis di atas dan hadis-hadis lain yang serupa menggambarkan bahwa kesetian seorang Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasul bagi kita, umatnya, akan membuat Beliau takkan mengangkat dahinya hingga ampunan bagi kita dikabulkan. Pada saat yang begitu genting, penuh dengan hiruk-pikuk dan kegemparan hingga semua orang akan hanya memikirkan dirinya sendiri, Sang Kekasih tercinta shallallahu ‘alaihi wa sallam itu justru hanya akan memikirkan kita, umatnya, sehingga kata ummati, ummati… yang memang selalu menghiasi bibirnya yang mulia sedari lahir, saat Beliau menghadapi sakitnya sakratulmaut, dan kelak saat semua orang akan mendapatkan perhitungannya di pengadilan paling besar itu akan selalu terucap. Beliaulah sang pembela kita dengan dahi mulianya bersujud bagi kita yang sesungguhnya begitu hina dan tak layak mendapatkan kesetiaan sebesar ini. Beliau pulalah yang kelak akan menunggu kita di titian tersulit, yang lebih tipis daripada sehelai rambut, yang teramat tajam seperti pedang dan berada di atas kobaran api neraka, yakni Jembatan shirat[23]. Jembatan yang penuh kesulitan ini akan dilalui semua manusia sesuai dengan amal salehnya selama di dunia, ada yang begitu mudah melaluinya ada pula yang tak berhasil dan jatuh ke neraka, sebagaimana gambaran dalam hadis berikut ini:
Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Lalu diutuslah amanah dan rahim (tali persaudaraan). Keduanya berdiri di samping kiri-kanan shirath tersebut. Orang pertama lewat seperti kilat.’ Aku bertanya: ‘Atas nama bapak dan ibuku, adakah sesuatu seperti kilat?’ Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Tidakkah kalian pernah melihat kilat, bagaimana ia lewat dalam sekejap mata? Kemudian ada yang melewatinya seperti angin, yang seperti burung, yang seperti kuda yang berlari kencang. Mereka berjalan sesuai amalan ibadah mereka. Nabi kalian waktu itu berdiri di atas shirath sambil berkata: ‘Ya Allah, selamatkanlah, selamatkanlah! Sampai pada hamba yang lemah amalannya datang lalu ia tidak bisa melewati kecuali dengan merangkak.’ Beliau menuturkan (lagi): ‘Di kedua belah pinggir shirath terdapat besi pengait yang bergatungan untuk menyambar siapa saja yang diperintahkan untuk disambar. Maka ada yang terpeleset tetapi selamat dan ada pula yang terjungkir ke dalam neraka.”[24]
Kembali bergetar kalbu ini jika mengingat bahwa pada peristiwa yang akan sangat berat bagi sebagian orang ini, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan berdoa: “Rabbi sallim… Allahumma sallim…”, seraya memohon agar kita, umatnya, selamat. Tak cukup dengan itu, Beliau adalah seorang rasul termulia yang senantiasa mengingat kita sepanjang hidupnya dan menyimpan syafaat terbesarnya bagi keselamatan kita semua melalui hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap nabi memiliki doa yang selalu diucapkan. Aku ingin menyimpan doaku sebagai syafaat bagi umatku pada Hari Kiamat.”[25]
Tentu saja rangkaian kesetiaan penuh kesyahduan yang manis di sepanjang hidup Beliau yang tercinta itu akan mencapai puncak tertingginya melalui pertemuan terindah tatkala Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menanti kita di tepian telaga Kautsarnya. Penantiannya itu pastilah menggambarkan besarnya rasa cinta Beliau kepada umatnya, bahkan lebih besar daripada cinta seorang ibu yang menunggu kedatangan anak-anaknya. Potret kejadian yang pasti kelak akan sangat indah ini dijelaskan pada hadis berikut ini:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far, telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari ‘Ala` bin Abdurrahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Beliau pernah mendatangi pemakaman dan Beliau mengucapkan salam kepada ahli kubur, beliau mengucapkan: “Semoga keselamatan senantiasa tercurah bagimu, rumah bagi kaum Muslimin, dan insyaAllah ta’ala kami akan menyusulmu.”
Lalu beliau bersabda: ‘Sungguh kami berharap untuk dapat berjumpa dengan saudara-saudara kami ini.’ Para Sahabat bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apakah kami bukan saudara-saudaramu?’ Beliau menjawab: ‘Kalian adalah para Sahabatku dan saudara-saudaraku yang datang setelahku, sesungguhnya aku menunggu kalian di telagaku.’ Mereka bertanya: ‘Wahai Rasulullah, bagaimana anda bisa mengenali orang-orang yang tidak Anda ketahui dari umatmu?’ Beliau menjawab: ‘Bagaimana menurut kalian jika seseorang memiliki kuda berbulu putih di muka dan di kedua pergelangan kakinya, di tengah-tengah gerombolan kuda hitam pekat? Bukankah ia dapat dikenali?’ Mereka menjawab: ‘Tentu saja.’ Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya mereka datang pada Hari Kiamat dengan muka dan kedua pergelangan tangan dan kaki mereka yang putih bekas air wudu.”
Beliau lalu bersabda: ‘Aku menunggu kalian di tepi telaga.’ Lalu Beliau melanjutkan: ‘Ketahuilah bahwa telagaku akan dijaga sebagaimana di jaganya telaga dari unta yang tersesat. Kemudian aku akan memanggil mereka; ‘Mari datanglah.’ Maka dikatakan; “Sesungguhnya mereka telah mengubahnya setelahmu, serta mereka masih terus membalikkan badannya’, maka aku berkata: ‘Majulah, majulah’.”[26]
Sejatinya, menjadi setia adalah juga menjadi sebuah poin penting yang ingin ditegurkan kepada kita sebagai umat. Maka tak heran jika Ibnu Abi Mulaikah selalu memanjatkan doa: Allaahumma innaa na’uudzu bika an narji’a ‘alaa a’qaabinaa aw nuftana ‘an diininaa (Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari berbalik ke arah belakang (murtad) atau terkena musibah dalam agama kami)[27] sebagaimana yang terdapat dalam kutipan firman Allah: A’qaabikum tankishuuna “…maka kamu selalu berpaling ke belakang”.[28]
Menjadi setia adalah keniscayaan jikalau kita mengaku seorang mukmin karena setia dan iman bagaikan dua sisi mata uang. Tanpa setia pertemanan akan dangkal dan kering makna, tanpa setia kasih sayang akan patah dan bernoda, tanpa setia kehambaan akan kehilangan kemurniannya dan menjadi tanpa rasa. Cinta yang tak nampak di pelupuk mata takkan berteman dengan rindu, sementara hamba yang pepak dengan setia takkan berkelindan dengan malu ketika nanti di hari perhitungan meminta-minta syafaat kepada Sang Penghulu para nabi, Baginda termulia yang dalam setiap detik kehidupannya adalah keselamatan dan iman kita, umatnya, yang selalu memberatkan kalbunya.
Wahai Sang Nabi, ampunilah kami yang tak layak untuk menyamai kecintaanmu, yang belum mampu belajar merindumu sebesar kasih sayang dan kesetiaan yang engkau shallallahu ‘alaihi wa sallam tunjukkan selalu, dalam putih kasih seorang pemandu terbaik pada umat yang amat dicintainya.
[1] HR. Bukhari, Adab, no. 5540.
[2] Badiuzzaman Said Nursi, Maktubat, surat ke-19 Risalah Mukjizat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi w asallam, Envar Neşriyatı, 1996.
[3] Ali bin Aḥmad bin Ḥazm, Güvercin Gerdanlıǧı, İnsan Yayınları, 2002.
[4] Mevlana Celaletin Rumi, Matsnawi jilid I. (Mevlana – Mesnevî Tercümesi), ÖTŰKEN NEŞRİYAT A.Ş. 2004.
[5] M. Fethullah Gülen, Kendi Dünyamıza Doǧru, Ruhumuzun Heykeli Dikerken 2, Nil Yayınları, 2011.
[6] QS. Al-A’raf, 7/172. “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)’.”
[7] HR. Muslim, bab Jenazah no. 1588; Bukhari dan Ibnu Majah juga meriwayatkannya.
[8] HR. Muslim, no. 108.
[9] Syekh Syafiyurrahman Al-Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah ar-Rahiq Al-Maktum, Pustaka Al-Kautsar, 2008.
[10] HR. Bukhari-Muslim.
[11] M. Fethullah Gülen, Cahaya Abadi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, Kebanggaan Umat Manusia, Republika Penerbit, 2012.
[13] Ibnu Katsir, Al-Sirah Al-Nabawiyah: The Life of the Prophet Muhammad, Trans. Trevor Le Gassick, (Lebanon: Garnet Publishing Limited, 1998), 32 via Momina Naveed, Boikot, Mata Air edisi 22, 2019.
[14] Tempat paling tinggi dan paling akhir di atas langit ketujuh yang dikunjungi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Mikraj. Di tempat itu Nabi melihat Malaikat Jibril dalam bentuk yang asli dan menerima perintah salat lima waktu.
[15] Penutup para nabi.
[16] Haris, A. (2015). Tafsir tentang peristiwa Isra’ Mi‘raj. TAJDID: Jurnal Ilmu Ushuluddin, 14(1), 167-180.
[17] An-Nawawi, Tadzhibul Asma wal Lughah, juz II, h. 181
[18] Fatoni Achmad dan Ivonia, Studi Analitis Peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW dalam Pendekatan Sains, Jurnal Ilmiah MOMENTUM Vol.07 No.1 November 2018.
[19] Tafsir Ibnu Katsir On-line.
[20] QS. An-Najm, 62/11.
[21] QS. An-Najm, 62/ 8.
[22] HR. Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad juz 21 hadis no. 13590.
[23] HR. Muslim. بَلَغَنِي أَنَّ الْجِسْرَ أَدَقُّ مِنَ الشَّعْرَةِ وَ أَحَدُّ مِنَ السَّيْف “Aku diberitahu bahwa jembatan itu lebih halus daripada rambut dan lebih tajam daripada pedang.”
[24] Sahih Muslim, hadis no.195
[25] Sahih Muslim No. 293, Bukhari no. 5829
[26] Hadis Sunan Ibnu Majah, Kitab Zuhud No. 4296
[27] Hadis Sahih Al-Bukhari, Kitab Hal-hal yang Melunakkan Hati No. 6104
[28] QS. Al-Mukminun 66