Pencarian Kesunyian dan Semangat Sayidah Khadijah

Meski berat, Rasulullah pada akhirnya meninggalkan Kakbah yang kian hari kian dijauhkan dari hakikat kebenarannya. Dengan bekal yang dibawanya, Rasulullah beranjak pergi menuju keheningan. Alasannya adalah kejahilan yang semakin hari semakin bertambah pekat dan Kakbah yang dikelilingi dan dipenuhi oleh berbagai macam berhala-berhala dan pemikiran paganismenya yang merajalela. Kakbah yang dibangun oleh seorang Nabi Agung, Ibrahim ‘alaihi salam, dengan penuh keikhlasan dan ketulusan menjadi semacam mainan di tangan orang-orang Makkah kala itu. Orang-orang yang melupakan penghambaan kepada Tuhan semesta alam berlomba-lomba menjadi budak bagi tuhan yang palsu lagi semu. Tampak bahwa kondisi ini amat mengusik rohani Rasulullah yang suci.

Kakbah yang tujuan awal pendiriannya adalah untuk menghadirkan kedamaian di muka bumi, saat itu seakan-akan ingin diubah menjadi pusat bagi kekakuan hati. Karena itulah, dari atmosfer itu Rasulullah berusaha untuk menjauhkan diri. Meski di satu sisi beliau menjauhkan kaki darinya, tetapi di sisi lain di sanalah Beliau meninggalkan hatinya. Beliau tidak dapat terpisahkan dari Kakbah yang amat tercinta.

Saat berpisah dan menjauh darinya pun, Rasulullah memilih untuk berada di tempat yang masih tetap bisa untuk memandanginya. Tempat itu merupakan puncak bagi sebuah gunung bernama Nur. Di puncak gunung itu terdapat sebuah gua bernama Hira yang darinya Beliau dapat melihat Kakbah. Rasulullah beranjak menuju gua tersebut pada saat Beliau menjauh dari Kakbah. Berhari-hari bahkan berbulan-bulan Beliau berdiam di sana, memanfaatkan waktunya untuk ibadah. Tampaknya ini adalah suratan takdir yang ditulis Dzat Yang Maha Agung kepada Beliau agar dapat memikul tugas menyampaikan risalah universal yang hukumnya akan terus berlangsung hingga Hari Kiamat kelak.

Punggung Sang Nabi Kesedihan itu bungkuk. Sesekali dari lubang Hira Beliau perhatikan punggung Kakbah yang juga bungkuk. Pemandangan itu sekali lagi memaksa punggungnya untuk lebih membungkuk lagi. Mungkin dengan membayangkan masa depan yang penuh keimanan dengan keadaannya yang suci dan murni, meski sejenaksetidaknya dapat menjadi pelipur hati. Selama tinggal di Hira, Beliau mengisi hari-harinya dengan ibadah yang khas baginya. Dan mungkin Beliau juga menyebutkan satu per satu perlakuan tak mengenakkan kepada Kakbah sembari merapalkan doa agar dianugerahkan kembali kepada mereka nilai-nilai kemanusiaan yang telah lenyap sedari lama. Jabal Nur yang ditempuh dengan perjalanan kaki selama berjam-jam seakan-akan menyampaikan undangan bagi pemilik cahaya. Mereka semua berada dalam penantian akan datangnya cahaya dari langit.

Seakan-akan Beliau membungkuk rukuk ke arah Kakbah, tertutup bagi selainnya, terbuka bagi ibadah khas kepada Tuhannya. Di saat tangan penuh berkahnya bertemu dengan wajah indahnya, terdapat hidangan kalbu tak terdefinisikan yang tak dapat dirasakan di waktu-waktu yang selainnya.

 

Kekhawatiran dan Semangat Sayidah Khadijah

Bagi Sayidah Khadijah, setiap perpisahan dengan Rasulullah mengisyaratkan kesedihan yang berbeda. Sepertinya Rasulullah memang mendapatkan ketenteraman yang berbeda di gua Hira. Namun di sisi terdalam pada diri Sayidah Khadijah, setiap perpisahan itu menyisakan serpihan kepedihan. Ada kekhawatiran jika terjadi sesuatu pada Sang Baginda. Karenanya, Sayidah Khadijah mengirim pekerjanya untuk membuntuti jejak Rasulullah demi memastikan keamanannya. Tak lupa beliau selalu memperingatkan mereka untuk senantiasa melindunginya.[1]

Meski Rasulullah akan kembali datang untuk mengambil bekal yang dipersiapkan olehnya, meski Rasulullah akan kembali pulang untuk menukar bekal yang telah habis, terkadang Sayidah Khadijah masih saja tidak dapat meredam rasa rindunya sehingga beliau pun memutuskan untuk menyusuri jalanan demi dapat bertemu dengan sang sandaran hati. Setelah berkilo-kilo meter perjalanan dan berjam-jam waktu ditempuh dengan membawa bekal, beliau akhirnya dapat sampai dan menyerahkan bekal itu kepada Rasulullah dengan tangannya sendiri.[2]

Terkadang Sayidah Khadijah menghirup atmosfer penuh misteri gua Hira bersama Sayidnya. Beliau menganggap bahwa kebersamaan dengannya di gua Hira yang digapai dengan penuh perjuangan adalah anugerah tak terhingga. Sesekali mereka bertemu di sebuah tempat yang kini dikenal dengan nama Masjid Ijabah dan menjadikan kawasan ini sebagai tempat untuk bermalam. Setelah itu, mereka kembali berpisah dengan Rasulullah yang kembali ke Hira dan Sayidah Khadijah kembali pulang.

Melihat sang suami berada jauh dari rumah bukanlah hal yang mudah bagi seorang perempuan. Namun Sayidah Khadijah sama sekali tidak menunjukkan reaksi sekecil apa pun atas perpisahan panjang tersebut. Jangankan bereaksi, beliau justru rela berbagi kesendirian Rasulullah dengan cara mendukungnya dan mempersiapkan diri demi menyongsong hari-hari di masa depan.

[1] Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa Al-Nihayah, 3/11.

[2] HR. Bukhari, Sahih, 3/1389 (3609).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *