ALLAH Maha Agung yang menciptakan manusia dan menuntunnya menuju jalan bahagia, telah mengutus para Rasul ke muka bumi di setiap masa untuk membimbing umat manusia kepada kebenaran sekaligus mengajarkan mereka cara meraihnya. Ya, Allah tidak membiarkan kerajaan lebah tanpa ratu, singgasana semut tanpa raja, demikian juga manusia sebagai makhluk terbaik tidak akan dibiarkan tanpa diutusnya seorang Rasul sebagai pemberi petunjuk dan pemimpin bagi umat manusia. Oleh karenanya, Para Nabi menjadi rujukan satu-satunya dalam mengetahui bagaimana sikap yang patut dilakukan dalam mengarungi kehidupan.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah teladan terbaik di kalangan para Nabi karena ajarannya merupakan risalah terakhir telah merangkum seluruh ajaran nabi-nabi sebelumnya. Tidak ada Rasul setelah Nabi Muhammad sehingga Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikannya contoh terbaik sepanjang masa, setiap tindakannya senantiasa dalam bimbingan Allah. Dengan demikian, Rasulullah memiliki kedudukan khusus di sisi Tuhannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki keutamaan tiada duanya, yang senantiasa memperoleh petunjuk Allah Subhanahu wa ta’ala dan selalu dalam bimbinganNya. Allah berfirman: ... Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.[1] Dan sebagaimana sabda Nabi, “Allah telah mendidikku secara langsung dengan pendidikan yang sangat sempurna”.[2]
Salah satu aspek penting dalam meneladani Rasulullah adalah keteladanannya dalam membangun rumah tangga serta bagaimana Beliau menjalin hubungan dengan para istrinya. Seperti yang kita ketahui, Rasulullah memiliki banyak istri, mereka dibesarkan dalam tradisi berbeda, ditambah lagi jarak usia mereka yang juga tidak sama. Tentu perbedaan-perbedaan seperti ini mengandung banyak hikmah. Salah satu hikmah yang terpenting adalah agar keluarga besar Rasulullah menjadi contoh bagi semua kalangan dan menjadi tuntunan paripurna dalam menjalin hubungan harmonis dalam rumah tangga.
Terutama di zaman ini, meneladani Rasulullah memiliki urgensi yang sangat besar karena banyaknya kegagalan yang terjadi dalam rumah tangga. Dan sangat disayangkan, fenomena ini banyak terjadi dalam keluarga-keluarga muslim. Kemudian, Persentase perceraian meningkat setiap tahunnya, kasus kdrt semakin marak. Demikian juga persentase anak terlantar yang sengsara akibat perceraian kedua orang tuanya (broken home) terus melonjak. Oleh karenanya, meneladani kembali kehidupan Rasulullah amatlah penting di saat kondisi darurat seperti ini.
Dalam tulisan ini, kita akan memaparkan keteladanan Rasulullah sebagai insan terbaik yang telah dididik langsung oleh Allah dengan didikan terbaik. Ya, keteladanan Nabi sebagai seorang suami yang membangun bahtera rumah tangga; yaitu bagaimana beliau memperlakukan para istri tercinta, ummahat almukminin. Tentunya, Rasulullah memperlakukan para istrinya dengan sangat baik, selalu menghargai dan meringankan beban mereka. Meski badai masalah dan cobaan sewaktu-waktu melanda, namun beliau tetap berupaya menunjukkan teladan terbaik yang memberikan kebahagiaan kepada ummahat al-mukminin.
Urgensi membangun sebuah keluarga
Islam yang merupakan tuntunan terakhir yang dibawa Rasulullah untuk umat manusia menekankan pentingnya sebuah pondasi penting dalam hidup bermasyarakat; yaitu manusia terlahir ke dunia melalui ikatan pernikahan yang sah dari ayah dan ibu. Oleh karenanya, beragamnya warna kulit, ras, jenis kelamin, bangsa, asal keturunan bukanlah sebab pemecah, namun sebaliknya, semua itu bertujuan agar umat manusia bersatu, saling memahami dan mengenal satu sama lain.
Keluarga yang merupakan bagian terkecil dari sebuah masyarakat memiliki peran yang sangat penting, adapun porosnya terletak pada hubungan antara suami dan istri.
Dalam syariat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Nabi akhir zaman, mengajarkan secara khusus kepada para suami agar bersikap baik dan penuh kasih sayang kepada istrinya. Meski dia menemukan sifat atau kelakuan istri yang tidak ia sukai, janganlah menjadi sebab untuk berselisih atau bahkan bercerai, namun hendaknya menerima segala kekurangan yang ada karena semua itu tidaklah sia-sia, akan ada ganjaran besar yang tidak disangka-sangka dari kesabaran ini.[3] Memperlakukan pasangan hidup dengan cara-cara seperti ini sangatlah penting untuk menjaga hubungan tetap harmonis.
Sebagaimana yang kita singgung sebelumnya, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah teladan terbaik bagi seorang suami. Sudah semestinya kita mendalami kehidupan rumah tangga Nabi dan mengamalkan keteladanan yang sempurna tersebut.
Musyawarah Rasulullah dengan para istri
Manusia bukanlah mesin ataupun robot, tetapi makhluk yang memiliki perasaan, pikiran dan kebebasan berpendapat, yang menginginkan pendapatnya diterima atau dipertimbangkan. Suami-istri yang hidup bersama di bawah satu atap sepanjang usianya pastilah menghadapi suatu permasalahan di saat-saat tertentu. Hendaknya setiap permasalahan yang melanda diselesaikan secara bersama. Tentunya dalam hal ini musyawarah dan dialog memiliki kedudukan yang sangat penting.
Pasangan suami-istri hendaknya tidak luput untuk saling bertukar pikiran, mempertimbangkan pendapat dan mencari titik temu. Setiap tindakan yang akan ditempuh dari permasalahan apapun semestinya dikompromikan terlebih dahulu. Demikian juga, saat dilanda rasa bimbang dalam menentukan sebuah pilihan alangkah baiknya meminta pendapat pasangan dan mempertimbangkannya dengan baik. Prinsip musyawarah seperti ini adalah perkara yang sangat penting dan tidak boleh diabaikan dalam membina kehidupan berumah tangga.
Musyawarah juga dapat dianalogikan sebagai sebuah usaha untuk mendapatkan madu solusi dari beragam sarang lebah dan beraneka bunga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam benyak hal melakukan musyawarah dan bertukar pendapat dengan istri-istrinya, bahkan dalam kondisi kritis sekalipun. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa bertukar pikiran dengan pasangan hidup adalah bagian dari sunah dan jalan Nabi. Bahkan salah satu surat dalam Alquran bernama As-Syura yang artinya musyawarah. Dalam surat inilah Allah Subhanahu wa ta’ala memuji orang-orang yang melakukan musyawarah.
Sang kebanggaan umat manusia shallallahu ‘alaihi wasallam adalah insan paling sempurna dalam menjalankan perintah bermusyawarah. Saat wahyu pertama turun di Gua Hira, baginda Nabi telah mempraktikkan prinsip musyawarah ini. Ya, saat malaikat Jibril ‘alaihi salam datang menemui Rasulullah pertama kalinya, beliau bersegera pulang ke rumah untuk menemui sang istri tercinta Sayidah Khadijah radiyallahu ‘anha. Kemudian beliau bertukar pendapat dengannya mengenai peristiwa yang baru saja terjadi di gua Hira. Sayidah Khadijah yang memiliki firasat baik pun menyampaikan kata-kata yang menghibur Rasulullah dan menenangkan hatinya.[4]
Di setiap kesempatan dan dalam kondisi apapun, Rasulullah tidak pernah mengabaikan prinsip musyawarah dengan istri-istrinya. Dalam hal ini, Rasulullah ingin menunjukkan kepada kita betapa pentingnya prinsip ini dalam sebuah keluarga. Misalnya saja, pada saat perjanjian Hudaibiah yang merupakan salah satu peristiwa terpenting dalam Islam. Saat itu mayoritas para sahabat menilai poin-poin kesepakatan dalam perjanjian tersebut sangat merugikan umat Islam, merekapun merasa kesal dan keberatan untuk menerima kesepakatan tersebut.
Dalam keadaan krusial seperti ini, Rasulullah pun menyuruh para sahabat untuk menyembelih hewan kurban dan bertahalul dari ihram. Perintah ini begitu berat di hati para sahabat karena mereka berharap masih ada kesempatan untuk bisa menunaikan ibadah umrah ke Makkah. Rasulullah pun merasakan keadaan sahabat yang lamban bergerak untuk menjalankan perintah tadi. Ini adalah perkara rumit dan sangat sensitif! Dalam keadaan seperti ini baginda Nabi pun mendatangi istrinya Ummu Salamah radiyallahu ‘anha untuk bermusyawarah tentang fenomena yang sedang terjadi. Dari hasil mufakat dengan sang istri, Rasulullah pun melakukan apa yang disarankan Sayidah Ummu Salamah. Beliau bergegas menyembelih kurbannya dan lansung bertahalul dari ihramnya. Para Sahabat yang melihat perbuatan Rasulullah itu, langsung memahami bahwa kesempatan untuk menunaikan umrah di tahun ini telah tertutup rapat. Mereka pun berbegas serentak melaksanakan apa yang telah Nabi lakukan. Demikianlah, musyawarah yang Rasulullah lakukan dengan sang istri ini mungkin tidak akan kita temui dalam catatan sejarah peradapan manusia manapun.
Pada zaman ini, meski sudah sekian lama para pemimpin dunia mendeklarasikan secara resmi dukungan penuh atas hak-hak asasi perempuan, namun sampai detik ini kita belum menemukan contoh konkret sebagaimana yang telah Rasulullah praktikkan.
Saat sang istri tercinta Sayidah Aisyah radiyallahu ‘anha difitnah salah seorang kaum munafik, kita juga menyaksikan baginda Nabi menyelesaikannya dengan melakukan musyawarah. Dalam keadaan pilu seperti ini, Rasulullah masih meminta pendapat istrinya Sayidah Zainab binti Jahsy radiyallahu ‘anha tentang tuduhan dusta yang ditujukan kepada Sayidah Aisyah. Demikianlah yang senantiasa Rasulullah contohkan kepada umat manusia. Namun alangkah ironinya, saat ini kita masih sangat jauh dari jalan yang nabi ajarkan bahkan masih sering terdengar berseliweran ungkapan miris dalam masyarakat “mufakatlah dengan istrimu tapi lakukanlah hal sebaliknya.”
Rasulullah meringankan pekerjaan istrinya
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak mungkin menjalankan kehidupannya tanpa bantuan orang lain. Kehidupan bersama akan terwujud dengan baik jika kita mau melakukan berbagai pekerjaan bersama-sama. Pasangan suami-istri yang hidup di bawah satu atap sangat membutuhkan prinsip saling membantu ini. Jika setiap pasangan saling bahu membahu mengangkat beban secara bersama maka pekerjaan rumah akan terasa ringan, hidup menjadi indah, berbagai kesulitan akan terasa mudah. Apapun jabatan yang disandangnya, suami-istri saat di rumah adalah mitra bagi satu dengan lainnya.
Jabatan dan pangkat bukanlah penyebab bagi suami untuk tidak membantu istrinya di rumah, dan tidak sepatutnya hal tersebut terjadi. Kata-kata yang terlontar seperti, “Aku memiliki jabatan ini, pangkatku yang tinggi tidak mungkin melakukan pekerjaan remeh temeh seperti ini, statusku di mata masyarakat sangat terhormat!” hanyalah omong kosong belaka, sebuah kebohongan untuk lari dari tanggung jawab dan hanya menginginkan kenyamanan. Adakah di muka bumi ini manusia yang derajatnya lebih tinggi dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Tentu tidak. Selain itu, tidak ada dari kita yang memiliki tanggung jawab sebesar yang diemban baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau adalah manusia termulia di langit dan bumi, setiap saat wahyu turun padanya, malaikat Jibril pun berdialog dengannya, para malaikat langit dan bumi mengucapkan salam takzim padanya. Ya, tugas semesta selalu manantinya. Namun walau demikian, Rasulullah tidak pernah abai untuk meringankan pekerjaan istri-istrinya. Seakan tidak kenal lelah terus membantu mereka di rumah. Dan lagi-lagi, Rasulullah menunjukkan keteladanan terbaik bagi umat manusia.
Terdapat beberapa riyawat yang menjelaskan teladan terbaik dari Rasulullah dalam rumah tangganya yang penuh berkah. Dalam riwayat tersebut dijelaskan bagaimana beliau membantu para istrinya di rumah. Beliau melakukan sendiri beberapa pekerjaan rumah, misalnya, beliau menjahit pakaiannya yang robek dengan tangannya yang mulia. Pada lain kesempatan, Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengembala kambing, memperbaiki alas kaki yang lepas, memberi makan unta dan melakukan segala keperluannya tanpa meminta bantuan orang lain. Di lain waktu, Beliau makan di alas yang sama dengan khadimnya dan membuat roti bersama. Sebagaimana yang juga ketahui dari riwayat-riwayat lainnya, bagaimana Nabi memikul sendiri belanjaannya dari pasar dan membantu istrinya dalam mengasuh anak.
Penghargaan Nabi kepada istrinya
Salah satu cara terbaik dalam menjalin hubungan dengan manusia agar tetap bisa melanggengkan jalinan cinta dan menambah kasih sayang adalah dengan sikap menghargai orang lain. Sikap menghargai ini adakalanya diwujudkan melalui kata-kata, cara kita memandang atau perbuatan nyata. Sebagaimana memuji orang lain secara berlebihan tidak tepat, begitu juga tidak pernah memberi penghargaan kepada orang lain demi memenangkan hatinya juga merupakan sikap kufur nikmat. Dalam kehidupan di dunia ini, sikap menghargai orang lain adalah hal yang sangat penting, terlebih lagi dalam keberlangsungan bahtera rumah tangga hingga akhir usia.
Semua poin yang baru saja kita sebutkan di atas telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau menunjukkan kecintaannya kepada para istrinya dengan sangat nyata. Beliau kerap memuji istri-istrinya akan kelebihan-kelebihan mereka. Sebagaimana juga, Beliau sering memapah istrinya saat menaiki hewan tunggangan.[5] Ya, Rasulullah memperlakukan para istrinya dengan penuh cinta dan kasih sayang yang menjadikan rumah tangganya dipenuhi kebahagiaan dan keharmonisan. Pada suatu hari, salah seorang sahabat mengundang baginda Nabi untuk acara makan-makan. Rasulullah yang merupakan lambang akhlak mulia mengajukan sebuah permintaan kepada sahabat tersebut agar sang istri jika diperbolehkan juga ikut mendampinginya. Nabi pun berkata, “Bagaimana apakah boleh jika istriku juga ikut?”.[6]
Di lain waktu, apabila istrinya sedang dirundung suatu masalah, Nabi langsung memberi perhatian penuh. Misalnya, jika salah seorang mereka terlihat bersedih Beliau langsung menghiburnya, tangan yang penuh berkah itu pun mengusap air mata yang mengalir dan seketika tangisan itupun terhenti. Suatu hari, Nabi tanpa sengaja melihat ummul mukminin Sayidah Safiyah radiyallahu ‘anha bersedih lantaran mendengar salah seorang istri Nabi mengatakan padanya bahwa ia berasal dari Bangsa Yahudi. Ia dipanggil dengan ungkapan, “Wahai perempuan Yahudi…”. Sayidah Safiyah pun bersedih dan mengadukannya kepada baginda Nabi. Setelah mendengar kisahnya, Rasulullah pun mengatakan sesuatu yang sangat menghibur hatinya. “Jika dia mengatakan seperti itu lagi, katakan padanya, Ayahku Nabi Harun, Pamanku Nabi Musa, adapun suamiku sebagaimana yang kamu tahu, Nabi Muhammad, lantas Apa yang bisa kamu banggakan dihadapanku?” [7]Siapa yang tidak senang dengan penghargaan seperti ini! Ya, apa yang baru saja Rasulullah sampaikan padanya memang benar, bukan dusta. Sayidah Safiyah pun pergi meninggalkan tempat tersebut tanpa tersisa secuil pun kesedihan dalam hatinya.
Sebagaimana yang kita ketahui, ummul Mukminin Sayidah Aisyah tidak dikaruniai anak. Oleh karenanya, ia pun tidak memiliki kunyah (nama panggilan) yang bagi bangsa Arab merupakan hal yang penting. Sayidah Aisyah Ummul mukminin bersedih karenanya. Oleh karena itu, di suatu hari ia pun menyampaikan kesedihannya kepada baginda Nabi. Setelah mendengarkan ceritanya, Rasulullah pun berucap,”Keponakanmu Abdullah bin Zubair adalah sama seperti anakmu sendiri, kamu bisa menjadikan namanya sebagai kunyahmu. Dengan demikian, mulai saat itu Sayidah Aisyah memiliki kunyah dengan sebutan “Ummu Abdillah”.[8]
Kasih sayang Rasulullah pada istrinya
Istri adalah amanah yang Allah titipkan kepada suami, menngkhianati amanah merupakan salah satu sifat orang munafik. Dalam Alqur’an terdapat banyak ayat yang menjelaskan bagaimana cara memperlakukan istri, juga melalui sabda-sabda Nabi yang agung menjelaskan tentang adanya hak-hak yang mesti dipenuhi dalam rumah tangga. Allah berfirman,“Sebagaimana suami memiliki hak atas istrinya, pun sebaliknya, istri juga memiliki hak atas suaminya….”.[9] Baginda Nabi juga menekankan agar suami memperlakukan istrinya dengan baik, dalam Alquran disebutkan: “Hendaknya kamu memperlakukan istri dengan sebaik-baiknya, seandainya kamu tidak menyukainya, mungkin saja dari sesuatu yang tidak kamu suka, Allah telah menyiapkan banyak kebaikan bagimu”.[10] Hadis ini menjelaskan hak-hak yang mesti dipenuhi sebagaimana yang telah disinggung pada ayat sebelumnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai simbol teladan memerintahkan umatnya untuk memperlakukan pasangan hidupnya dengan penuh kasih sayang. Bahkan Beliau menyampaikan bahwa perlakuan baik tersebut dapat menjadi wasilah untuk meraih berbagai kebaikan di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala. Sayidah Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah shallallau ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.”[11] Hadis ini menjelaskan pada kita bagaimana Rasulullah memperlakukan ummahatul mukminin dengan penuh kasih sayang. Pada riwayat lain beliau bersabda, “Berlaku baiklah terhadap istrimu karena mereka adalah amanah Allah atas kamu dan kehormatan mereka halal bagimu dengan nama Allah. Tidak ada hak bagimu untuk menyakitinya, cukuplah bagimu jika istri tidak melakukan keburukan secara terang-terangan”.[12] Berdasarkan hadis diatas Rasulullah menegaskan bahwa istri adalah salah satu amanah terbesar yang Allah titipkan. Oleh karenanya sudah semestinya kita menunaikan amanah tersebut dengan sebaik-baiknya.
Salah satu bentuk perlakuan baik terhadap istri adalah bersikap bijak terhadap kesalahan dan khilafnya. Rasul sang mentari kasih sayang shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar tetap sabar dan pengertian terhadap perlakuan orang lain, terlebih lagi kepada istri yang halus perasaannya. Oleh karenanya, berperilaku lemah lembut dan penuh kasih sayang pada pasangan hidup sangatlah dianjurkan dalam Islam. Dalam sebuah hadis diriwayatkan, wanita diumpamakan sebagai “Makhluk yang tercipta dari tulang rusuk lelaki.”[13] Ya, perumpamaan ini menunjukkan pentingnya bagi kaum lelaki bersikap baik dan penuh kasih sayang kepada pasangannya karena jika tidak, maka tulang itu akan patah dan sulit untuk menyatu kembali.
Manusia bukanlah makhluk sempurna, memiliki kekurangan di sana-sisi. Namun terdapat cara untuk menutupi setiap kesalahan, bahkan dari kesalahan tersebut kita dapat mengambil banyak pelajaran dan hikmah. Oleh karenanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghadapi dengan sangat bijak apabila sewaktu-waktu terjadi hal semacam ini dari para istrinya. Beliau pun menyelesaikannya dengan sangat hati-hati sehingga dampak yang akan terjadi dari sikap marah dapat dihindari, namun sebaliknya yang terjadi adalah sesuatu yang positif.
Ummul mukminin Sayidah Shafiyah adalah istri Rasulullah yang sangat pandai memasak. Di suatu hari, beliau mengirimkan makanan kepada baginda Nabi yang saat itu sedang berada di rumah Sayidah Aisyah. Melihat makanan itu datang, tiba-tiba dalam hati Sayidah Aisyah muncul api cemburu hingga ia merasa gemetaran. Saking gemetarnya, saat memegang bejana yang berisi makanan tersebut tanpa sengaja terjatuh ke lantai dan pecah. Rasulullah yang menyaksikan hal tersebut tidak memberi respon apa-apa, namun beliau bersabar dan memahami apa yang sedang terjadi. Dengan berperilaku demikian, pada akhirnya permasalahan dapat diselesaikan dengan baik. Setelah kejadian itu, Sayidah Aisyah pun menyesal. Tidak cukup dengan rasa menyesal, beliau pun bertanya kepada baginda Nabi bagaimana cara untuk menebus kesalahannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberitahukan padanya bahwa piring yang pecah diganti dengan piring yang sama jika ada, dan makanan yang tumpah diganti dengan memasak makanan yang sama.[14]
Dalam Islam, diantara bentuk perlakuan baik terhadap pasangan hidup adalah dengan tidak merendahkannya, terlebih lagi memukulnya. Rasulullah sangat tidak suka dengan umatnya yang merendahkan siapa saja, terlebih lagi merendahkan pasangan hidup yang memiliki perasaan lembut dan sensitif.
Rasulullah melarang keras umatnya memukul istrinya karena perbuatan kasar seperti ini tidak pantas dilakukan oleh siapa pun. Namun sangat disayangkan, di zaman sekarang kita kerap menyaksikan suami yang berbuat kasar tanpa henti kepada pasangan hidupnya. Di siang harinya istrinya dipukul seperti hewan, kemudian mencercanya di malam harinya. Ya, orang yang merusak hubungan baik di malam hari, serta merta akan bersikap buruk juga di siang harinya. Sungguh Rasulullah tidak pernah melakukan hal tercela seperti ini kepada para istrinya.
Perhatian Rasulullah kepada kerabat istrinya
Hal yang menarik perhatian kita adalah bagaimana Rasulullah menguatkan ikatan keluarga dengan para ummahatul mukminin, yaitu dengan memberi rasa hormat kepada para kerabat istri-istrinya. Pada beberapa kesempatan Beliau mengirimkan berbagai hadiah kepada mereka. Suatu hari Rasulullah menyambut dengan begitu hangat seorang wanita tua yang tengah berkunjung ke rumah sehingga membuat hatinya sangat senang. Sayidah Aisyah pun terheran lalu bertanya tentang sikap berbeda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Beliau pun menjawab, “Duhai Aisyah, wanita tua itu adalah teman dekatnya Khadijah saat masih hidup, ia menyempatkan waktu untuk singgah kemari saat merasa sehat”. Kemudian beliau melanjutkan, “Menjaga kesetiaan dalam persahabatan adalah bagian dari iman”. Demikianlah, kemudian Beliau menegaskan bahwa sikap baik kepada wanita tua itu akan membuat Sayidah Khadijah senang di alam sana. Tidak hanya itu saja, bahkan di setiap menyembelih domba, baginda Nabi tak lupa mengirimkan sebagian dagingnya kepada sahabat-sahabat dekat Sayidah Khadijah.[15]
Kecintaan Rasulullah kepada istrinya
Dalam Islam kita sangat dianjurkan untuk saling mencintai, memahami dan menutupi segala aib dan kekurangan orang lain. Setiap kesalahan semestinya dibalas dengan sikap memaafkan. Sikap seperti ini tentu lebih dianjurkan lagi untuk dilakukan kepada pasangan hidup kita. Kebersamaan dalam rumah tangga tidaklah sebatas di dunia ini saja, tapi akan tetap kekal selamanya di akhirat kelak. Sang kebanggaan umat manusia shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai suami yang penuh kasih sayang, walaupun dalam keadaan super sibuk, masih bisa meluangkan waktunya untuk memberi perhatian penuh pada para istrinya. Baginda Nabi pun mendengar keluh kesah, menanggapi dengan seksama setiap cerita yang disampaikan dan menunjukkan rasa antusias atas apa yang diceritakan. Sayidah Aisyah suatu malam pernah bercerita panjang pada Rasulullah tentang sebuah hikayah masyhur bangsa Arab yang berkisah tentang sebelas wanita arab yang tengah berkumpul bersama dan saling bercerita tentang suami mereka. Rasulullah pun dengan penuh antusias mendengarkan kisah itu, kemudian memberi komentar-komentar yang membuat hati istrinya senang.[16]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan kasih sayang kepada para ummahatul mukminin dengan meluangkan sebagian waktunya untuk mereka. Baginda Nabi memiliki jabatan sebagai pemimpin pemerintahan Islam, di saat yang sama, Beliau juga seorang Rasul utusan Allah. Meski tidak banyak waktu luang lantaran banyaknya tugas yang diemban, Beliau tetap berusaha menyediakan waktu untuk memberi perhatian serta kasih sayang pada keluarganya.
Walaupun waktu baginda Nabi sebagai hamba terbaik banyak dihabiskan untuk beribadah kepada Allah dan juga waktu yang tak kalah pentingnya untuk membersamai para sahabat, namun hal itu tidak membuat Beliau mengabaikan keluarganya. Permasalahan keluarga benar-benar Nabi perhatikan. Saat berkumpul dengan keluarga, Beliau bertanya tentang kondisi dan keluh kesah mereka, dan bahkan ada kalanya Beliau menyisipkan senda gurau yang membuat mereka tersanjung dan bahagia.
Bahkan, demi bisa berkumpulnya semua istri, setiap malam Beliau mengundang para ummahatul mukminin untuk berkumpul di salah satu bilik istrinya yang akan Beliau tempati pada malam itu. Saat bersama-sama, Rasulullah menyampaikan kisah-kisah teladan yang terkadang diselingi dengan kisah-kisah jenaka yang membuat mereka tersenyum senang.
Salah satu indikasi terpenting dari cinta kasih adalah memberikan perhatian penuh atas kesenangan sang istri. Siapa saja yang benar-benar mempelajari sirah nabi pasti akan melihat keluasan cara pandang Nabi dan sikapnya yang sangat bijak. Hal ini memberikan keyakinan pada kita bahwa Beliau senantiasa dalam didikan Allah dan pantauanNya. Pada suatu malam, Rasulullah minta izin kepada Sayidah Aisyah untuk melakukan salat sunah. Sayidah Aisyah pun mengizinkan dan sangat tersanjung dengan pertanyaan seperti ini. Ummul mukminin Sayidah Aisyah bercerita,
Pada suatu malam Rasulullah berkata padaku, “Duhai Aisyah, apakah engkau izinkan, malam ini aku beribadah kepada Allah?” ( Baginda Nabi sungguh pribadi yang sempurna untuk beribadah kepada Allah pun beliau masih meminta izin kepada sang istri). “Duhai Rasulullah, sungguh aku senang jika terus berada disampingmu, namun apa yang kamu inginkan lebih aku senangi,” ucap Sayidah Aisyah. Lalu, Nabi pun mengambil wudhu dan menunaikan shalat malam, saat membaca firman Allah “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi….., Beliau terus mengulanginya dengan deraian air mata yang mengalir di pipinya hingga fajar tiba.
Dari peristiwa ini kita pahami bahwa Rasulullah tidak hanya memberikan perhatian dalam hal keduniaan, bahkan masalah akhirat sekalipun (shalat malam) beliau tetap menunjukkan perhatian penuh kepada istrinya (meminta izin terlebih dahulu).
Kesimpulan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah teladan terbaik bagi umat manusia dalam segala aspek kehidupan. Salah satu aspek keteladanannya adalah bagaimana Beliau memperlakukan istri-istrinya sebagai kepala keluarga demi menjaga keharmonisan rumah tangga. Namun sebaliknya pada zaman ini, bahtera rumah tangga umat Islam banyak yang mengalami keretakan dan tenggelam akibat dilanda badai masalah. Saat kita melihat ke inti permasalahannya, akan kita temui bahwa hal itu bermula dari sebuah permasalahan kecil namun disepelakan bahkan diabaikan.
Dengan kata lain, keretakan rumah tangga disebabkan beberapa faktor diantaranya: Sikap tertutup dan egois yang berupaya menyelesaikan permasalahan sendirian tanpa terlebih dahulu bertukar pendapat dengan pasangan; enggan membantu istri demi meringankan pekerjaan yang merupakan tanda kecintaan pada pasangan hidup; masih sangat kurangnya sikap menghargai dalam keluarga; mengabaikan keluh kesah pasangan yang bisa menjadi sumber masalah dalam rumah tangga; belum terwujudnya Kasih sayang dan cinta masih yang semestinya.
Rasulullah adalah teladan terbaik bagi umat manusia dalam menyelesaikan permasalahan yang telah dipaparkan di atas. Kita memiliki keyakinan penuh, saat mengikuti tuntunan nabi dan menjalankannya dengan baik dan benar, berbagai permasalahan rumah tangga akan terselesaikan dan dengannya terbinalah bahtera rumah tangga yang bahagia dan harmonis.
Referensi:
[1] An-Nisa (4: 113)
[2] Münavi, Feyzü’l-Kadir, 1/224
[3] An-Nisa (4:19)
[4] HR Bukhârî, Bad’ü’l-vahyi 3
[5] HR Bukhari, Maghâzî 38
[6] HR Müslim, Aşribah 139
[7] HR Tirmizî, Manâkıb 63; Hâkim, al-Müstadrak, 4/31
[8] İbn Sa’d, Tabakât, 8/66
[9] Al-Baqarah, 2/218
[10] An-Nisâ, 4/19
[11] HR Tirmizi, Manakib 63
[12] HR Tirmizi, Tafsir Taubah (9) 2
[13] HR Bukhari, Nikah 79; Anbiya 1
[14] HR Abu Daud, Buyuk 91; Nasai, İsyratu’n-Nisa 4
[15] Ibnu’l-Asîr, Usdu’l-Ghâbah, 7/84
[16] HR Bukhari, Nikah 82