Sang Konselor Terbaik; Kelihaian Nabi Memetakan Bakat Sahabat

Berburu ke padang datar, mendapat rusa belang kaki.

Berguru kepalang ajar, bak bunga kembang tak jadi.

Berguru langsung kepada Nabi, para Sahabat ibarat kembang mewangi.

Bakat mereka tergali, ilmu mereka terwarisi, tak pernah layu terlebih mati.

 

Di setiap aspek kehidupannya telah ada suri teladan. Tak perlu jauh-jauh mencari sosok brilian, sebab telah ada Rasulullah sebagai sumber dari segala sumber panutan, terlebih lagi di bidang pendidikan. Inilah ranah yang sangat penting. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk mendidik manusia. Maka manusia yang paling beruntung adalah mereka yang dididik langsung oleh Beliau. Merekalah para Sahabat radiyallahu ‘anhum ajmain.

Sebagai seorang utusan Ilahi, Rasulullah adalah sosok guru terbaik sepanjang masa. Bahkan di dalam pendidikan, Beliau tidak hanya mencakup definisi seorang guru yang dipahami saat ini, melainkan juga adalah kepala sekolah, perancang dan pengawas kurikulum, penasihat, konsultan, termasuk juga konselor. Rasanya tak ada satu pun profesi di dunia ini yang mencakup seluruh kinerja Rasulullah.

Tidak hanya sekadar mengajar, Rasulullah juga memerhatikan murid-murid Beliau, apa kelebihan, potensi, dan bakat yang mereka punya. Inilah yang dilakukan oleh konselor masa kini. Namun jauh di atas konselor, Sang Nabiyullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan menggali bakat para Sahabat, mengarahkan, membimbing mereka, hingga terbentuklah generasi luar biasa hasil dari tarbiyah nabawiyah. Merek lah generasi paling berbakat yang pernah ada di bawah langit, generasi terbaik hasil didikan sang konselor tercerdas sepanjang masa; Khalilullah Muhammad shallallahu ‘alaih wa sallam.

 

Bakat dalam Pendidikan Islam

Pemetaan bakat yang dilakukan Rasulullah kepada para Sahabat ternyata dapat juga kita jumpai teorinya di dalam ilmu pendidikan. Dalam falsafah pendidikan Islam, diketahui bahwa setiap anak memang terlahir dengan bakat istimewanya masing-masing. Ada peran yang kelak akan ia lakoni saat dewasa.

Betapa bakat sangatlah dianjurkan untuk diperhatikan dan dikembangkan untuk kemudian dimanfaatkan. Namun dalam perjalanannya, bakat anak akan sangat terpengaruh oleh lingkungan tempat dirinya dibesarkan. Jika tidak ada yang membantunya melejitkan bakat itu, maka kemampuan tersebut akan meredup sedikit demi sedikit hingga tak lagi nampak meski sekadar kerlipnya. Namun apabila ada seseorang yang membimbingnya, maka berkilaulah bakat itu dengan amat luar biasa.

Bakat merupakan bekal kemampuan yang keberadaannya ibarat garis pada kertas. Anak bukanlah lembar putih tanpa garis, melainkan telah ada garis samar yang belum terbentuk jelas. Tentang bagaimana nantinya garis tersebut akan terlihat jelas, maka itu dipengaruhi oleh lingkungan anak itu berada. Orangtua perlu mengenal bakat anaknya, sehingga dengan demikian, maka anak akan dapat diarahkan kepada hal-hal yang lebih bermanfaat.

Bukanlah hal yang mudah bagi orangtua maupun guru untuk menggali bakat seorang anak. Namun begitu, kita telah memiliki teladan yang berbagai aktivitasnya telah tercatat dalam pahatan berlian sunah dan sirah nabawiyah. Begitu indah catatan kehidupan Beliau hingga melahirkan decak takjub berbuah cinta dan keinginan dahsyat untuk mengikutinya, tentang bagaimana Rasulullah memetakan bakat para Sahabat yang terlahir dari kejahiliahan menjadi tokoh besar dalam sejarah peradaban manusia.

 

Melihat dan Menggali Bakat Sahabat yang Terpendam

Biji emas tak ubahnya tanah biasa sebelum digali dari tambang.” Demikianlah sepatah mutiara dari lisan Imam Syafi’i berkaitan dengan menuntut ilmu.[1] Para Sahabat bersinar layaknya emas, setelah Rasulullah menggali bakat mereka yang terpendam. Hal ini tidak hanya terjadi pada 2-3 Sahabat saja, melainkan pada kebanyakan dari mereka. Cukuplah kisah Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu berikut ini mewakilinya.

Zaid bin Tsabit lahir dari kalangan Ansar. Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau masih sangat muda. Acapkali Rasulullah mengumumkan jihad, Zaid tidak diizinkan karena usianya yang masih sangat belia. Ada teman sepermainannya yang dibolehkan pergi ke medan perang karena mahir memegang senjata, tetapi Zaid tetap saja ditolak karena kecil tubuhnya.

Hal itu membuat Zaid kecil begitu berduka, sebab ia sangat ingin menjadi Sahabat dekat Nabiyullah tercinta. Tak bisa berjihad, Zaid pun akhirnya memilih untuk menghafal kitabullah. Zaid yang yatim itu lalu berkata kepada sang ibunda tentang keinginannya berada di sisi Nabi. Ibunda begitu gembira, keluarganya pun membawa Zaid menuju Baginda Nabi untuk unjuk gigi.

“Wahai Nabi Allah, ini adalah putra kami, Zaid bin Tsabit. Ia sudah hafal 17 surat dalam Al-Qur’an. Ia membacanya dengan benar sebagaimana diwahyukan kepada Anda. Ia juga cakap lagi mahir baca-tulis. Ia ingin berada di samping Anda, menyertai Anda dengan kemampuanya. Jika Anda berkenan, silakan dengarkanlah bacaannya.” ujar wakil keluarga Zaid.

Tentu Rasulullah bersedia mendengarkan bacaan Zaid. Ternyata, bacaannya begitu menyentuh hati Nabi. Tersirat kebahagiaan di wajah Beliau yang lebih indah dari purnama di malam hari. Beliau mengamati Zaid, meneliti kemampuannya, dan Nabi memberi pengarahan:

“Wahai Zaid, pelajarilah tulisan bangsa Yahudi.”

“Baik, wahai Rasulullah.” Zaid bersemangat, bersegera mengikuti perintah tersebut.

Ternyata hanya perlu waktu singkat untuk Zaid menguasai bahasa Ibrani. Tak lebih dari sebulan, ia telah mahir menulis, membaca, berbicara bahasa Yahudi tersebut. Sejak saat itu, Zaid pun diamanahi untuk menulis surat Rasulullah kepada kaum Yahudi dan menerjemahkan surat-surat yang datang dari mereka.

Tak berselang lama, Rasulullah kembali menguji kemampuan Zaid. Rasulullah berkata kepada Zaid, “Apakah engkau bisa bahasa Suryaniyah?”

“Tidak, wahai Rasulullah.” jawab Zaid.

“Pelajarilah! Sungguh nanti akan datang surat-surat kepada kita.” pinta Rasulullah. Zaid pun segera mempelajarinya dan hanya butuh waktu 17 hari untuk ia mahir bahasa tersebut. Maka orang-orang pun mengenal Zaid sebagai penerjemah dan penulisnya Rasulullah.[2]

Kelak, saat masa pengumpulan Al-Qur’an, Zaidlah yang mendapat amanah dari Khalifah Abu Bakar untuk menulis ayat suci. Saat itu, usia Zaid baru 22 tahun. Namun Khalifah Abu Bakar dan Sahabat Umar telah memilihnya sebagai ketua tim penulisan Al-Qur’an sebab keduanya melihat kelebihan Zaid dan keahliannya pada saat ia menjadi sekretaris sekaligus penerjemah Nabi.

Seandainya Zaid diizinkan ikut berperang, mungkin ia hanya menjadi pasukan biasa saja. Rasulullah menggali bakat Zaid, dan siapa sangka ternyata pemuda itu memiliki ketajaman yang luar biasa dalam aspek bahasa. Keahliannya pun begitu bermanfaat bagi umat. Rangkaian indah tulisan Al-Qur’an yang saat ini dibaca kaum Muslimin adalah berkat andil Zaid bin Tsabit dalam pembukuannya.

Selain Zaid, terdapat sederet nama para Sahabat muda lain yang tergali bakatnya oleh Sang Nabi. Sebut saja Abdullah bin Umar bin Khathab, yang dibimbing Nabi hingga menjadi perawi hadis terbanyak nomor dua setelah Abu Hurairah. Ada pula Usamah bin Zaid bin Haritsah yang dikenal sebagai panglima termuda kaum Muslimin, serta beberapa nama Sahabat lain yang bersinar setelah melalui pendidikan Rasulullah, khususnya para Sahabat cilik yang tumbuh dewasa di bawah cahaya tarbiah nabawiyah.

 

Mengembangkan Bakat Sahabat yang Sudah Terbentuk

Rasulullah begitu mahir melihat bakat para Sahabat untuk kemudian Beliau kembangkan. Lalu bagaimana dengan para Sahabat yang memang sudah tampak kehebatan mereka sebelumnya? Tentu ada sederet nama Sahabat yang sudah berbakat ketika memeluk Islam dan menjadi murid Rasulullah.

Ternyata, dalam mendidik Sahabat dengan kondisi demikian pun, Rasulullah adalah juaranya. Sebut saja salah satunya Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu. Semua warga Makkah tentu tahu kehebatan Sahabat Khalid di medan laga. Sebelum masuk Islam, beliau bahkan telah sering kali menjadi panglima pasukan kafir Quraisy Makkah.[3] Tak ada yang menyangkal kehebatan Khalid dalam strategi perang. Dan Rasulullah juga mengetahuinya.

Namun seseorang yang berbakat membutuhkan tempat yang “pas” untuknya. Sebagaimana “Kayu gaharu tak ubahnya kayu biasa jika ia berada di dalam hutan.”[4], maka seorang yang berbakat memerlukan tempat yang tepat untuk bakatnya bersinar. Ia memerlukan seseorang yang menerimanya, memahami bakatnya, mengembangkannya, kemudian memanfaatkannya untuk kebaikan.

Itulah yang terjadi pada Khalid bin Walid. Beliau memeluk Islam bukan di awal waktu. Ketika beliau baru saja memeluk Islam, sebuah pasukan dibentuk Rasulullah untuk melawan Romawi di Perang Mu’tah. Rasulullah mengangkat tiga panglima sekaligus untuk memimpin pasukan Muslimin. Apakah salah satu di antaranya adalah Khalid? Ternyata tidak. Rasulullah mengangkat tiga Sahabat as-sabiqun al-awalun[5] sebagai panglima perang. Mereka adalah putra Zaid bin Haritsah (angkat Rasulullah), Ja’far bin Abi Thalib (sepupu Rasulullah), serta Abdullah bin Rawahah (pemuka kaum Ansar) radhiyallahu ‘anhum.

Rasulullah memahami perasaan Sahabat. Bagaimana mungkin seseorang yang baru memeluk Islam menjadi pemimpin di antara mereka. Jika Sahabat Khalid yang memimpin, sehebat apapun beliau, akan percuma jika tidak ada penerimaan dari pasukan yang dipimpinnya. Sebagaimana kata pepatah, seseorang tidak dikatakan pemimpin kecuali ada yang menaatinya.

Rupanya Rasulullah menginginkan peristiwa mengalir begitu saja. Biarlah pasukan melihat bakat Khalid di medan laga. Di kancah peperangan, atas takdir Allah, satu per satu panglima berguguran. Saat ketiga panglima syahid seluruhnya, bendera putih Rasulullah berkibar tanpa ada yang mengusungnya.

“Wahai kaum Muslimin, angkatlah seseorang di antara kalian sebagai panglima!” seru salah seorang pasukan.

Namun tidak ada yang bersedia. “Engkau saja!” “Aku tidak sanggup.”

Akhirnya mereka pun menunjuk seseorang yang dianggap paling kompeten. Tentu saja dialah Khalid bin Walid. Sang Saifullah mengambil bendera, bertempur dengan hebat, membuat strategi yang sangat cerdas, lalu memimpin pulang pasukan dengan kemenangan besar.[6]

Kabar pertempuran di medan Mu’tah belum sampai hingga Madinah. Namun Rasulullah diberi wahyu tentang jalannya peperangan lalu memberikan kabar kepada para Sahabat di Madinah, “Salah satu dari pedang-pedang Allah (yakni Khalid bin Walid) mengambil bendera dan Allah memberikan kemenangan kepada mereka.”[7]

Dari perang tersebut, Khalid menunjukkan kepiawaiannya. Pasukan Muslimin menyaksikannya. Nampak sudah bakat Khalid dan diakui oleh pasukan yang dipimpinnya. Inilah yang diarahkan Rasulullah untuk Khalid yang berbakat. Maka Khalid pun resmi menjadi panglima kaum Muslimin sejak masa Rasulullah hingga kekhalifahan Khalifah Umar. Betapa banyak jasa Khalid bin Walid dalam menyebarkan agama Islam hingga ke penjuru dunia, dari barat hingga timurnya.

Masih banyak Sahabat lain yang sudah berbakat saat berislam lalu dioptimalkan bakat tersebut oleh Baginda Rasulullah. Pada umumnya, Sahabat yang demikian ialah mereka yang masuk Islam saat usia dewasa. Umar bin Khathab adalah sosok yang gagah berani tetapi tidak pernah diangkat menjadi panglima perang. Rupanya Rasulullah melihat bakat Sahabat Umar yang paling menonjol berupa wibawa kepemimpinannya. Maka Sang Nabiyullah pun memberi banyak isyarat agar kelak meneruskan kekhalifahan kaum Muslimin setelah Abu Bakr.

 

Memotivasi dan Mendoakan Sahabat yang Berpotensi

Satu hal lagi yang tidak boleh luput dari kehebatan Rasulullah dalam memetakan bakat para Sahabat adalah kemampuan Rasulullah dalam mengembangkan potensi para Sahabat yang belum tampak bakatnya tetapi telah menunjukan potensi luar biasa. Hal ini terjadi pada para Sahabat yang berjumpa dengan Nabi dalam waktu singkat, baik masuk Islam belakangan ataupun lahir di masa akhir kenabian.

Salah satu cara yang berliu praktikkan adalah dengan memberi semangat lalu mendoakannya. Ada dua kisah istimewa dalam hal ini. Ialah Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Keduanya menunjukkan potensi keilmuan di atas rata-rata, terlihat dari semangat serta kegigihan mereka. Sayangnya, keduanya baru belajar di akhir kehidupan Rasulullah.

Abu Hurairah masuk Islam pada tahun ke-7 Hijriah. Sahabat yang memiliki nama asli Abdullah bin Shakhr Ad-Dausi itu menyadari dirinya masuk Islam belakangan. Maka beliau pun memilih tinggal di shuffah[8] agar bisa terus belajar kepada Rasulullah. Bahkan Abu Hurairah adalah ahlus shuffah yang paling terkenal karena sangat jarang absen di majelis Rasulullah.[9]

Namun dalam perjalanannya, Abu Hurairah kesulitan mengejar ketertinggalan padahal beliau sangat bekerja keras untuk menghafal hadis Rasulullah. Abu Hurairah menceritakan, “Aku membagi malamku tiga bagian pertama untuk membaca Al-Qur’an, sebagian lain untuk tidur, sebagian lainnya lagi untuk mengulang hafalan hadis.[10]

Rasulullah mengetahui bagaimana potensi Abu Hurairah. Dalam suatu kesempatan, Beliau bahkan pernah memuji Abu Hurairah, “Aku melihat semangatmu akan hadis.”[11] Maka ketika Abu Hurairah mengadu tentang kesulitannya menghafal hadis, Rasulullah segera mendoakannya.

Abu Hurairah menceritakan momen luar biasa tersebut, “Aku berkata kepada Rasulullah bahwa aku mendengar berbagai hal dari Beliau tetapi tidak dapat menghafalnya. Rasulullah lalu bersabda, ‘Bentangkanlah sorbanmu!’, maka aku pun membentangkan sorbanku. Kemudian Beliau menyampaikan banyak sekali hadis dan tidak ada satu pun yang terlupa bagiku dari apa yang beliau sampaikan.”[12]

Rasulullah juga mengaminkan doa Abu Hurairah agar tak lupa akan ilmu.[13] Suatu hari Rasulullah melewati tiga orang Sahabat yang tengah berdoa di dalam masjid. Rasulullah kemudian duduk lalu menyuruh ketiganya untuk melanjutkan doa. Beliau pun mengaminkan doa mereka, kecuali Abu Hurairah yang sedari Nabi hadir, beliau belum memanjatkan doa. Hingga ketika kedua temannya selesai berdoa dan diaminkan Rasulullah, Abu Hurairah pun bermunajat,

Ya Allah, aku memohon kepada-Mu apa yang diminta oleh kedua temanku tadi dan aku meminta ilmu yang tidak dilupakan.” Lantas Rasulullah pun segera mengucapkan amin.[14]

Atas rahmat Allah lalu berkat doa Rasulullah, Abu Hurairah pun menjadi sosok yang paling banyak menghafal hadis Nabi. Menurut Baqi bin Makhlad, hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah mencapai 5.374 hadis[15] padahal Abu Hurairah hanya berjumpa dengan Baginda Nabi selama empat tahun saja. Bahkan, menurut Abu Hurairah yang diriwayatkan dalam Sahih Bukhari, beliau hanya tiga tahun bermulazamah[16] dengan Rasulullah. Namun dalam waktu yang singkat itu, Abu Hurairah berada di peringkat pertama sebagai perawi terbanyak hadis Nabi. Dari riwayat Abu Hurairahlah umat Muslim banyak mengambil hadis nabi hingga kini.

Berbeda dengan Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas lahir tiga tahun sebelum hijrah.[17] Artinya, ketika Rasulullah wafat menuju Ar-Rafiq Al-A’la, usia Ibnu Abbas baru 13 tahun. Beliau begitu belia ketika merasakan hangatnya cahaya pendidikan Rasulullah.

Meski singkat perjumpaannya dengan Rasulullah, Ibnu Abbas adalah Sahabat yang diakui paling paham tentang Kitabullah, paling faqih akan tafsirnya, serta yang paling paham menjelaskan kandungan ayat serta rahasia hikmah di baliknya.[18] Karena alasan ini pula, Sahabat Umar bin Khathab mengangkat Ibnu Abbas yang masih sangat muda untuk berada di majelis musyawarah kekhalifahannya.

Bagaimana cara Rasulullah mendidik Ibnu Abbas hingga menjadi ulama muda yang amat jenius? Terdapat sejumlah hadis tentang bagaimana Baginda Nabi mendidik sepupunya tersebut. Nasihat Rasulullah saat Ibnu Abbas membonceng kendaraannya di dalam perjalanan adalah salah satunya. Kemudian peristiwa yang begitu mempengaruhi kehidupan Ibnu Abbas adalah ketika Rasulullah mendoakannya.

Di suatu malam, Ibnu Abbas membantu Rasulullah mengambil air untuk salat malam. Saat itu, beliau tengah menginap di rumah bibinya, Maimunah radhiyallahu ‘anha, yang tak lain adalah Ummul Mukminin. Beliau sering kali mampir ke rumah Ibunda Maimunah karena ingin dekat dengan Rasulullah.

Ketika Ibnu Abbas telah menyiapkan air, Ibunda Maimunah berkata kepada Rasulullah, “Yang menyiapkan air wudu untuk engkau adalah Ibnu Abbas. Serta-merta Rasulullah pun mendoakannya, ‘Ya Allah, faqih-kanlah dia terhadap agama dan ajarkanlah (ilmu) tafsir kepadanya!’.”[19]

Di lain kesempatan Rasulullah memeluk Ibnu Abbas dan mendekatkannya ke dada beliau seraya berdoa, “Ya Allah, ajarkanlah hikmah kepadanya!”[20] Doa-doa Rasulullah kepada Ibnu Abbas adalah agar Allah memberi pemahaman agama seakan-akan beliau melihat betapa besar potensi Ibnu Abbas yang tampak dari semangatnya dalam menuntut ilmu. Memang benar, jika ada simbol bersejarah dalam semangat thalabul ‘ilmi, maka itu adalah Ibnu Abbas.

Namun begitu, Ibnu Abbas yang lahir belakangan pun telah sangat jauh tertinggal dari indahnya tarbiah Nabawi. Hanya sedikit yang dapat beliau pelajari secara langsung dari Rasulullah. Beliau menyadarinya dan menjadi pemuda yang paling bersemangat dalam belajar kepada para Sahabat. Ketika Rasulullah wafat, Ibnu Abbas mendatangi satu per satu rumah para Sahabat Nabi untuk belajar. Bahkan beliau pernah menunggu di depan rumah seorang Sahabat hingga tubuhnya berdebu.

Maka jadilah Sahabat Ibnu Abbas seperti yang didoakan Rasulullah; seorang ulama yang paling fakih dan paling paham akan tafsir. Kecerdasannya bahkan melebihi para Sahabat senior yang hidup sekian lama bersama Rasulullah. Di dalam keilmuan, ia digelari Al-Bahr (lautan) karena ilmunya begitu luas seluas samudera. Tafsir Al-Qur’an yang kita pahami saat ini, begitu banyak yang bersumber dari Ibnu Abbas.

 Menemukan Hikmah dari Sirah Nabawiyah

Sederet kisah di atas layaknya peti harta karun bagi dunia pendidikan. Yang kita bahas ini barulah satu peti. Masih banyak peti-peti lain yang belum terungkap dan menunggu untuk dicari, dengan membaca perjalanan hidup Sang Nabiyullah Kebanggaan Umat Manusia. Peta-peta pencarian peti itu telah banyak tersebar di kita-kitab para ulama, di majelis-majelis mereka. Pertanyaannya hanyalah, apakah para pendidik, orangtua maupun guru, bersedia mengambil peta itu kemudian mencari peti yang lebih berharga daripada harta apa pun di dunia ini?

Telah datang uswah terbaik dari Rasulullah, telah terang cara yang ditempuh sang manusia terbaik dalam mendidik. Teladan Sang Nabi sebagai konselor bakat seakan-akan menjawab kebutuhan pendidikan dewasa ini. Dengan mengikuti cara Rasulullah, kebangkitan kemanusiaan yang menitikberatkan pada kebermanfaatan pada sesama tidaklah hanya mimpi di siang bolong. Dengan menjadi konselor seperti yang dilakukan Rasulullah, atas izin Allah, akan ditemukan bakat-bakat luar biasa yang tersimpan di dada-dada para pemuda kita.

Penulis: Afriza Hanifa

 

Referensi

  1. Al-Qur’an Al-Karim.
  2. Shahih Al-Bukhari.
  3. Al-Mubarakfury, Syaikh Shafiyyurrahman. 2011. Ar-Rahiq Al-Makhtum (Sirah Nabawiyyah). Terj. Agus Suwandi. Jakarta: Ummul Qura.
  4. Al-Mubarakfury, Syaikh Shafiyyurrahman. 2007. Raudhah Al-Anwar fi Sirah An-Nabiy Al-Mukhtar (Taman Cahaya di Atas Chaya Perjalanan Hidup Rasulullah). Terj. Abu Abdillah Muhammad Affifuddin As-Sidawy. Tegal: Ash-Shaf.
  5. Al-Asfihani, Abu Nu’aim. Hilyat Al-Auliya’. Jilid 1.
  6. Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari.
  7. Asy-Syafi’i, Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Ustman. Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i. Beirut: Syirkah al-Arqam bin Abi al-Arqam.
  8. Basya, Dr. Abdurrahman Ra’fat. 2013. Shuwar min Hayati Ash-Shahabah (Sirah Sahabat). Abu Abdillah Al-Watesi. Yogyakarta: Pustaka Al-Haura.
  9. Katsir, Ibnu. Al-Bidayah Wan Nihayah. e-book.
  10. Mansur, Yakhsyallah. 2015. Ash-Shuffah; Pusat Pendidikan Islam Pertama yang Didirikan dan Diasuh Nabi Muhammad. Jakarta: Penerbit Republika.
  11. Muqbil, ‘Umar bin Abdullah. 2009. Li-yaddabbaru Ayatih, Hashad ‘Am min Al-Tadabbur. Ar-Riyadh: Markaz Al-Tadabbur Lil-Istisharat Al-Tarbawiyah wal-Ta‘limiyah.
  12. Syantut, Dr. Khalid Ahmad. 2022. Tarbiyah Al-Athfaal fi Al-Hadis Asy-Syariif (Libatkan Allah dalam Pengasuhan Ananda). Hanin Fathullah. Jakarta: Maskana Media.
  13. Quthb, Muhammad. 1993. Manhaj At-Tarbiyah Al-Islamiyah. Beirut: Dar asy-Syuruq.

[1] Asy-Syafi’i, Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i (Beirut: Syirkah al-Arqam bin Abi al-Arqam), hlm. 39.

[2] Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Shuwar min Hayati Ash-Shahabah (Sirah Sahabat), Terj. Abu Abdillah Al-Watesi (Yogyakarta: Pustaka Al-Haura, 2013), Jilid 1, hlm. 560-561.

[3] Baca kisahnya di: Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Shuwar min Hayati Ash-Shahabah (Sirah Sahabat), Terj. Abu Abdillah Al-Watesi (Yogyakarta: Pustaka Al-Haura, 2012), Jilid 2, hlm. 276-279.

[4] Asy-Syafi’i, Loc. Cit.

[5] Istilah untuk mengungkapkan para Sahabat yang terlebih dahulu masuk Islam.

[6] Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury, Ar-Rahiq Al-Makhtum (Sirah Nabawiyyah), Terj. Agus Suwandi (Jakarta: Ummul Qura, 2011), Hlm. 692-694.

[7] HR. Bukhari, II/611.

[8] Sebuah tempat di serambi Masjid Nabawi yang digunakan sebagai tempat tinggal orang-orang yang tidak punya kerabat dan tempat tinggal di Madinah. Yakhsyallah Mansur dalam “Ash-Shuffah” menyebutkan bahwa inilah pusat pendidikan Islam pertama yang didirikan dan diasuh oleh Nabi Muhammad. Tentang Ash-Shuffah juga bisa dibaca dalam artikel majalah Mata Air: mataair.co/shuffah-pusat-bagi-para-jenius/

[9] Abu Nu’aim Al-Asfihani, Hilyat Al-Auliya’, I/377.

[10] Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq, 67 /362.

[11] HR. Bukhari.

[12] HR. Tirmidzi.

[13] Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Op. Cit, hlm. 756-757.

[14] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari.

[15] Yakhsyallah Mansur, Ash-Shuffah (Jakarta: Penerbit Republika, 2015), hlm. 81.

[16] Metode belajar klasik yang di dalamnya murid-murid tinggal dekat dengan guru untuk mempelajari suatu ilmu.

[17] Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya. Op. Cit., Jilid 1, hlm. 261.

[18] Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya. Loc. Cit.

[19] HR. Ahmad dalam al-Musnad 1/328 dengan sanad yang hasan.

[20] HR. Bukhari no. 3756.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *