Abdurrahman Bin ‘Auf, Dakwahku juga Dermaku

Beliau adalah satu dari delapan sosok mulia yang sejak awal telah menerima cahaya Islam, potret “Asyarah Mubasyarah” bergelar Shadiq al-Bar[1] sehingga beliau pun pantas meraih doa untuk merasakan hidangan mata air hakiki yang akan beliau gapai kelak di surga. Seperti halnya sosok perantara yang memperkenalkan cahaya Islam kepadanya, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq, beliau adalah satu dari dua potret yang pernah mengimami Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Beliau masih hidup. Lelaki yang lahir 10 tahun setelah tahun gajah itu, bersama manifestasi iman yang telah merasuk ke dalam kalbunya, memiliki nama lengkap Abdurrahman bin ‘Auf bin Abdul Manaf bin Abdul Harits bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah al-Qurasyi al-Zuhri, yang mana nasabnya bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Kilab bin Murrah. Rasulullah mengganti nama lamanya Abdul Kakbah yang bermakna “Hamba Kakbah” menjadi “Hamba Sang Rahman”.

Di kesempatan kali ini, dengan karakter murah hati, dermawan, kesatria, dan sikap tawaduknya, Sayidina Abdurrahman bin ‘Auf akan menjelaskan kepada kita arti sebuah nilai dakwah yang telah beliau manifestasikan dan beliau dapatkan dari contoh luhur Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Melalui lantunan ayat suci Al-Qur’an yang seolah-olah setiap saat terngiang-ngiang di telinganya yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang Mukmin, baik diri maupun harta mereka, dengan memberikan surga untuk mereka” (QS. At-Taubah, 9/111)”, beliau berusaha terbang menggapai keluhuran rohani dengan mengepakkan sayap dari relung jiwa dan kelimpahan hartanya untuk beliau sumbangkan di jalan Allah subhanahu wa ta’ala. Di samping tekadnya yang luhur untuk berada di jalan hakiki, tabiatnya pun ahli dalam berniaga. Pribadinya yang tampil dewasa itu tak luput untuk hadir menjadi sosok penasihat ulung bagi para Sahabatnya. Lebih dari itu semua, beliau juga berhasil menundukkan kepalsuan dunia meski limpahan harta memenuhi setiap detik kehidupannya. Oleh karena itu, kesatria yang menjadi kepercayaan penduduk langit dan bumi ini[2] pun patut jika kita jadikan contoh bagi setiap dakwah yang diharapkan oleh sebagian besar umat Muslim saat ini.

Tekad yang Luhur

Di awal pertama beliau masuk Islam, salah satu insan pemilik dua hijrah ini pun tidak luput dari penyiksaan sehingga mengharuskannya pergi berhijrah ke Habasyah. Tentunya beliau juga harus meninggalkan semua yang beliau miliki demi menyelamatkan agamanya. Usai cahaya iman dan Islam tumbuh sebagai tunas di dalam sanubarinya, hal yang berkaitan beliau selain memperdengarkan asma agung Allah dan juga utusan-Nya ialah hal yang tak bernilai lagi di matanya. Dua puluh satu titik luka yang beliau rasakan di Perang Uhud, yang membuat kakinya pincang dan dua gigi serinya tanggal, tak membuatnya gentar untuk tetap menjalankan dakwah di hari-hari selanjutnya. Beliau percaya dengan penuh keyakinan bahwa apa yang beliau lakukan itu benar. Beliau memahami bahwa kekufuran merupakan api yang dapat melenyapkan kehidupan abadinya, dan dengan ini, beliau pun berusaha membantu memadamkan api yang menyulut kalbu setiap orang, setelah berhasil menyelamatkan dirinya terlebih dahulu dari kobaran api tersebut. Tekad dan kesadaran akan nilai dakwah yang begitu luhur itu bersumber dari kedalaman iman. Sahabat yang masuk ke dalam lingkaran Ashabul Badr[3] ini pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kirimkan sebagai pemimpin pasukan ke Daumatul Jandal dan berhasil mengislamkan kepala suku di sana.

Tangan Emas Tak Bernoda

Tatkala mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah ke Madinah, demi dapat melepas kerinduan bertemu dengan Mursyid Hakikinya itu, beliau bergegas meninggalkan Habasyah. Baginda Nabi mempersaudarakannya dengan Sa’d bin Rabi’ Al-Anshari yang juga memiliki status sosial yang tinggi di kalangan penduduk Madinah. Di saat beliau mendapatkan penawaran yang setara dengan kedudukan sosial sebelumnya yang ingin diberikan saudaranya itu, beliau justru menjawab, “Semoga Allah memberkati harta dan keluargamu. Akan tetapi tunjukanlah padaku di mana letak pasar di kota ini!”. Beliau lebih memilih untuk menolak penawaran tersebut dan tidak mau menodai tangannya dengan mengharapkan sesuatu dari orang lain demi kepentingan pribadinya dan berusaha memulai mata pencahariannya untuk beranjak pergi ke pasar. Bersama dengan doa dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya akan keberkahan hartanya yang melimpah juga dengan keahliannya yang dapat mengubah sebongkah batu menjadi emas, benar-benar membuatnya pantas untuk memiliki gelar “Tangan Emas Tak Bernoda”. Meskipun begitu, titel tersebut tidak menyebabkan beliau lupa diri. Sa’id bin Jubair berkata: “Abdurrahman bin Auf tidak dapat dibedakan di antara hamba sahayanya.

Terbang bersama Kedermawanan

Seolah-olah sisi kedermawanannya tidak ingin kalah dengan tekad luhur yang beliau miliki, sehingga semakin banyak harta yang beliau dapatkan, maka semakin sering pula beliau mendermakan hartanya. Meski bagi beberapa orang harta adalah serpihan hati. Namun baginya, jika itu digunakan demi kepentingan yang berkaitan dengan rida Allah subhanahu wa ta’ala, maka beliau pun akan rela menyumbangkan sebagian atau bahkan keseluruhan hartanya. Hal ini beliau buktikan dengan penyerahan dua ratus uqiyah emas[4] bagi keperluan Perang Tabuk dan santunan kepada 100 veteran Perang Badar yang mencapai 4000 dinar. Beliau juga mendermakan seluruh unta berjumlah 700 ekor, lengkap dengan barang dagangan di punggungnya, untuk beliau sumbangkan di jalan Allah subhanahu wa ta’ala setelah mendengar Sayidah Aisyah radiyallahu ‘anha berkata: “Semoga Allah melimpahkan berkah-Nya kepada Abdurrahman dengan baktinya di dunia, serta pahala yang besar di akhirat nanti. Aku pernah mendengar Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa Abdurrahman bin ‘Auf akan masuk surga sambil merangkak.[5] Dengan sabda ini, beliau akhirnya lebih memilih untuk hidup selayaknya orang Muslim daripada harus mementingkan hartanya dan menjadikannya sosok yang layak mendapatkan salam dan berita gembira dari surga langsung dari Allah subhanahu wa ta’ala melalui perantara Malaikat Jibril yang disampaikan kepada Baginda Nabi berkat kedermawanannya.[6]

Sosok Penasihat Ulung

Selain menjadi pribadi yang istimewa, yakni sebagai mufti di Madinah ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, beliau juga merupakan salah satu sosok yang menurunkan jenazah Baginda Nabi ke liang lahat. Bersamaan dengan itu, sepeninggal Rasulullah, beliau juga adalah orang yang bertanggung jawab memenuhi segala kebutuhan ibu-ibu mulia Ummahatul Mukminin dan mengadakan pengawalan bagi mereka ketika berpergian. Beliau juga merupakan penasihat di masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shidiq radiyallahu ‘anhu. Di masa kekhalifahan Umar bin Khattab radiyallahu ‘anhu, beliau turut andil menemaninya berkeliling di tengah malam untuk memastikan keamanan di kota Madinah. Terkadang beliau juga menjadi perantara bagi para Sahabat untuk menyampaikan keluh-kesahnya kepada Khalifah. Selain menggantikan Umar sebagai imam ketika beliau ditusuk oleh hamba Majusi, Sahabat Abdurrahman bin ‘Auf jugalah yang mempelopori pemilihan khalifah setelah Umar dan menarik dirinya dari menjadi khalifah. Beliau lebih memilih untuk bertanggung jawab dalam proses pemilihan ini, yang selama tiga hari tiga malam beliau mengelilingi kota Madinah untuk mengecek kesepakatan publik mengenai siapa yang pantas untuk menjadi khalifah pada saat itu.

Berhasil Menundukkan Kepalsuan Dunia

Di akhir hidupnya, Sayidina Abdurrahman bin ‘Auf menangisi kondisi dirinya yang berkelimpahan harta dengan berkata, “Sesungguhnya Mush’ab bin Umair lebih baik dariku. Ia meninggal di masa Rasulullah dan tidak memiliki apa pun untuk digunakan sebagai kafan. Hamzah bin Abdul Muthalib juga lebih baik dariku. Kami tidak mendapatkan kafan untuknya. Sesungguhnya, aku takut bila menjadi seseorang yang dipercepat kebaikannya di kehidupan dunia. Aku takut ditahan dari Sahabat-sahabatku karena banyaknya hartaku”. Namun, di atas kesedihannya itu Ali bin Abi Thalib berkata, “Engkau telah mendapat kasih sayang Allah, dan engkau berhasil menundukkan kepalsuan dunia. Semoga Allah merahmatimu. Ia wafat di Madinah pada usianya 75 tahun.

Sosok para Sahabat yang penuh dengan kemuliaan tak henti-hentinya melukiskan pancaran sinar benderang ke dalam kalbu setiap Mukmin dengan pena iman dan warna-warni aksi luhur dari kuas yang mereka goreskan. Sudah sejak lama umat Muslim haus akan contoh luhur yang seharusnya menghiasi kehidupan mereka. Pancaran iman, kedamaian Islam, dan dimensi ihsan yang mereka manifestasikan ke dalam tugas dakwah setidaknya dapat menjadi oasis bagi kondisi kita saat ini. Tentunya juga jika kita mampu berucap dengan yakin, “Ya Allah, kami sudah siap.” untuk tidak pernah kenyang memberikan setiap pengorbanan bagi dakwah ini dengan jiwa raga juga harta yang kita miliki. Mungkin kita tidak akan mampu seutuhnya untuk menjadi sosok luhur para Sahabat, tetapi dengan berusaha mengimplementasikan apa yang mereka wujudkan, semoga kita akan menggapai kemuliaan dapat berkumpul bersama dengan mereka dalam lingkaran rida Allah subhanahu wa ta’ala.

Penulis: Haerul Al Aziz, B.A., M.Krim.

[1] Orang yang tulus dalam menyebarkan kebaikan

[2] (HR. Al Hakim dalam Al Mustadrak, Abu Nu’aim Al Ashfahani dalam Ma’rifat Al Shahabah, dan Ibnu Abi Ashim dalam Al Sunnah)

[3] Para Sahabat yang ikut serta dalam Perang Badar

[4] 1 uqiyah setara dengan 31,7475 kg emas

[5] Imam Ahmad di dalam Al-Musnad (1/115), Ath-Thabrany di dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (1/129)

[6] Aizid, R. (2018) The Great Sahaba. Yogyakarta: Laksana., hal. 69-70

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *