Dalam sejarah dunia, sebuah teks yang pertama kali berkaitan dengan hak asasi manusia adalah Khutbatul Wada’. Seperti yang kita ketahui, beberapa waktu sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat pada tahun 632 M, di kota Makkah beliau menyampaikan kepada sekitar seratus ribu manusia sebuah pidato bersejarah yang dikenal dengan Khutbatul Wada’ atau khotbah perpisahan. Sedangkan teks pertama yang pernah diumumkan berkaitan dengan hak asasi manusia di Eropa bernama Magna Charta adalah pada tahun 1215 M. Rentang waktu antara Khutbatul Wada’ dan Magna Charta adalah 583 tahun. Sedangkan deklarasi PBB tentang hak asasi manusia disetujui pada tahun 1948 M, yakni tepat 1316 tahun setelah Khutbatul Wada’ disampaikan.
Isi Khutbatul Wada’
Pembahasan yang ada dalam Khutbatul Wada’ terdiri atas semua hak dan kebebasan yang mencakup individu, keluarga, masyarakat, dan semua bentuk kemanusiaan. Hak-hak tersebut disampaikan pada Khutbatul Wada’ dengan sangat jelas; hak untuk hidup, hak untuk memiliki, dan hak mendapat perlindungan bagi keluarga.
“Wahai manusia, seperti halnya hari ini adalah hari yang mulia, bulan ini adalah bulan yang mulia, dan kota ini (Makkah) adalah kota yang mulia, maka jiwa dan harta benda kalian juga mulia dan telah terlindungi dari segala bentuk ancaman.”
Pada zaman Jahiliah, yang paling banyak menjadi korban adalah para perempuan dan anak-anak. Pada masa itu perempuan dianggap tak ubahnya sebuah barang atau alat hiburan yang sama sekali tidak ada harganya. Terkadang kaum musyrikin melihat dan menganggap perempuan sebagai suatu aib yang harus ditutupi, kadang pula sebagai alat hiburan. Dengan adanya hak dan kebebasan yang dimiliki oleh perempuan dalam Khutbah Wada’, tugas-tugas para perempuan dan pria tertata dengan sangat baik.
“Wahai manusia, saya menasihati agar kalian melindungi hak-hak para perempuan dan dalam hal ini takutlah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Kalian telah menerima para perempuan sebagai amanat dari Allah subhanahu wa ta’ala. Kehormatan dan kesucian mereka akan menjadi halal bagi kalian dengan menyebutkan nama Allah (melalui akad nikah). Sebagaimana kalian memiliki hak atas istri kalian, mereka juga mempunyai hak atas kalian. Hak kalian atas istri kalian adalah mereka tidak boleh menerima atau memasukkan orang yang tidak kalian sukai ke dalam rumah. Jika mereka memasukkan orang yang tidak kalian sukai ke dalam rumah, maka kalian bisa menghukum mereka. Para perempuan juga memiliki hak atas kalian, yaitu secara halal. Kalian harus memenuhi segala bentuk kebutuhan sandang dan pangan mereka.”
Khutbatul Wada’, sebagai sebuah dokumen tentang hak asasi manusia, mengatur hak-hak asasi manusia yang mencakup seluruh umat manusia. Menurut Islam, semua manusia adalah sama dan setara tanpa ada perbedaan bahasa, suku, warna kulit, dan jenis kelamin. Merasa lebih unggul (lebih utama) berdasarkan bahasa, suku, warna kulit, dan jenis kelamin adalah sepenuhnya bertentangan dengan Islam.
“Wahai manusia, Tuhan kalian adalah satu dan ayah kalian adalah satu. Kalian adalah anak cucu Adam, sedangkan Adam tercipta dari tanah. Orang Arab tidak memiliki keunggulan atas ajam (non-Arab), seperti juga orang ajam tidak memiliki keunggulan atas orang Arab; Tidak ada keunggulan pada orang berkulit merah atas orang berkulit hitam ataupun sebaliknya. Keunggulan hanya ada pada ketakwaan, yaitu rasa takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Orang yang paling mulia derajatnya di sisi Allah adalah orang yang paling takut kepada-Nya.”
Deklarasi Hak Asasi Manusia
Dalam sejarah Eropa, naskah perdana hak asasi manusia adalah Magna Charta pada tahun 1215. Dengan adanya dokumen ini, maka terjadi pembagian kekuasaan di Inggris antara Paus Innocent III, Raja John, dan para tuan tanah; demikian juga diakuinya beberapa hak parsial untuk masyarakat umum. Setelah beberapa abad berlalu, pada tahun 1774 M, Kolonial Amerika menang dalam perjuangan kemerdekaan terhadap Inggris sehingga pada tahun 1776, hak asasi manusia dinyatakan dalam Deklarasi Hak Virginia oleh Amerika. Dengan pengaruh perjuangan kemerdekaan Amerika, maka pada tahun 1789 Revolusi Prancis pun terjadi lalu diumumkan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Kewarganegaraan.
Sampai pada Perang Dunia II, penerimaan dan penerapan hak asasi manusia di negara-negara Barat hanya terbatas dalam lingkup perbatasan masing-masing negara seperti yang dijelaskan dalam ringkasan di atas. Negara-negara tersebut melihat hak asasi manusia sebagai permasalahan internal mereka sendiri dan menilai hak asasi manusia sebagai bentuk pemberian kepada warga mereka.
Hak asasi manusia harus segera dipikirkan sebagai sebuah permasalahan global dengan munculnya rezim-rezim berbahaya bagi umat manusia seperti Nazisme, Fasisme, dan Komunisme sebagai penguasa di negara-negara Eropa, terbunuhnya jutaan manusia pada Perang Dunia II, serta penerapan genosida bagi bangsa Yahudi dan Gipsi. Oleh karena itu, Persatuan Bangsa-Bangsa yang didirikan setelah Perang Dunia II pada tahun 1948 menyetujui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Deklarasi ini seperti halnya ringkasan dari Hak Asasi dan Kebebasan Manusia yang diakui oleh hampir setiap negara saat ini. Dalam deklarasi yang terdiri atas tiga puluh poin ini, termuat hak-hak dasar dan kebebasan.
Khutbatul Wada’ dan Deklarasi HAM
Meski kedua naskah ini berkaitan dengan Hak Asasi Manusia, akan tetapi berdasarkan sumber, keduanya sangatlah berbeda. Khutbatul Wada’ bersumber dari wahyu Allah dan dijelaskan langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan Deklarasi Hak Asasi Manusia hanya sebuah naskah karya manusia. Setelah Perang Dunia II, PBB mempersiapkan Deklarasi HAM dengan melihat pengetahuan dan pengalaman tentang hak asasi manusia di masa lalu.
Hak-hak yang tercantum dalam Khutbatul Wada’ adalah hak-hak yang bersifat hukum serta bersifat agamis. Semua hak ini, menurut pandangan syariah Islam, di samping merupakan aturan hukum juga merupakan aturan agama. Oleh karena itu, menurut Islam pelanggaran hak asasi terhadap seseorang selain merupakan kejahatan, juga merupakan sebuah dosa. Sebagai contoh, penyiksaan terhadap perempuan merupakan sebuah kejahatan dan juga dosa. Sedangkan dalam hukum Barat meskipun pelanggaran hak asasi manusia merupakan sebuah kejahatan, tetapi tidak dikatakan sebagai dosa.
Dalam hukum Islam hak asasi manusia bisa dianggap sebagai hak asasi seorang hamba. Karenanya, pelanggaran terhadap hak asasi manusia juga merupakan pelanggaran hak seorang hamba dan dianggap menjadi dosa. Sebagaimana adanya pertambahan jumlah hak-hak manusia dalam hukum Islam, maka kekhususan ini mengarahkan agar permasalahan hak dan kebebasan manusia dihadapi secara lebih sensitif pula.
Dalam hukum Islam, hak asasi manusia sejak awal telah bersifat universal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara langsung kepada seluruh manusia yang dalam khotbahnya dimulai dengan “Wahai manusia!”. Begitu banyak ayat dan hadis yang juga dimulai dengan kalimat “Wahai manusia!”, yang ditujukan kepada semua manusia. Hak asasi manusia di Barat hanya berada dalam perbatasan masing-masing negara; barulah jauh-jauh hari kemudian mencakup semua orang.
Perkembangan hak asasi manusia yang terlihat di dunia Islam dan negara Barat juga berbeda. Hak asasi manusia dalam dunia Islam ditentukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis. Tugas umat Islam adalah mewujudkan hak asasi manusia sesuai ayat-ayat dan hadis dan dilaksanakan sesuai tingkatan peradaban pada waktu itu. Sedangkan di Barat, hak asasi manusia yang berlaku pada hari ini mungkin baru terbentuk setelah melintasi masa-masa yang penuh kepedihan terlebih dahulu. Pada tahun 1215 di dalam Magna Charta, hak-hak yang diberikan kepada manusia hanya sebagian saja, baru kemudian pada abad ke-18 diakui teks hak-hak pokok manusia di negara-negara seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Prancis. Sedangkan hak seperti yang berlaku saat ini baru diakui pada tahun 1948 melalui perantara Piagam Hak Asasi Manusia Persatuan Bangsa-Bangsa (HAM PBB).
Perbedaan penting antara Khotbah Wada’ dan Piagam HAM PBB juga terlihat dalam pengakuan hak asasi manusia. Dalam dunia Islam, tidak ada permasalahan dalam hal pengakuan hak asasi manusia, akan tetapi terdapat sedikit hambatan dalam hal pelaksanaannya. Ini karena hak asasi manusia telah diakui sejak awal keberadaan Islam melalui ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis. Oleh karena itu, proses pengakuan deklarasi seperti halnya yang dilakukan di Barat tidak diperlukan lagi. Walaupun terkadang dalam pelaksanaan hak-hak ini mengalami kesulitan, tetapi tidak sebanyak kendala yang dialami di negara-negara Barat. Karena manusia adalah anak waktu, maka umat Islam juga menggunakan iradah atau usahanya dengan menyesuaikan sudut pandang peradaban pada masa ia hidup. Misalnya, ketika Islam membawa sistem pemerintahan berdaulat yang mirip dengan budaya demokrasi, maka justru pada zaman Dinasti Umayyah dipakai sistem monarki untuk menyesuaikan dengan negara-negara monarki lainnya. Pada penerapan hak-hak dan kebebasan yang lain juga dialami kendala-kendala sesuai dengan bingkai zamannya masing-masing. Akan tetapi, kendala ini tidak sebanyak kesulitan yang dialami negara Barat. Sedangkan di negara-negara Barat, kesulitannya terdapat baik pada pengakuan hak asasi manusianya maupun dalam pelaksanaannya. Karena di Barat, hak asasi manusia tidak memiliki sumber kuat dari wahyu Ilahi seperti halnya pada dunia Islam. Di Negara-negara Barat hak-hak yang paling dasar seperti hak hidup, hak beragama, dan hak kebebasan memeluk keyakinan sekalipun baru diakui setelah dilakukan usaha yang sangat besar untuk mendapatkannya, itu pun baru secara parsial. Negara-negara Barat baru berhasil mencapai tingkat hak asasi manusia seperti yang diakui saat ini setelah melewati kurun waktu selama delapan abad, yaitu sejak piagam Magna Charta diakui pada tahun 1215 M hingga saat ini.
Ketika dunia Islam mengedepankan konsep keadilan, di Barat justru penyebaran konsep hak asasi manusia baru menarik perhatian mereka. Karenanya, kesulitan yang dialami dunia Islam bukan dalam pengakuan hak asasi manusia, akan tetapi dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, pada masyarakat Islam yang dipermasalahkan bukanlah untuk mendapatkan hak asasinya, karena hak tersebut memang sudah ada, tetapi yang diinginkan adalah agar adanya keadilan dalam praktik hak asasi manusia tersebut. Oleh karena itu, para ulama Islam mulai menuliskan rujukan-rujukan politik dan nasihat agar para pemimpin mau menerapkan sistem pemerintahan yang adil. Sedangkan di Barat, karena dirasakan adanya kekurangan dalam pengakuan hak dan kebebasan, maka mereka pun menginginkan pengakuan atas hak dan kebebasannya tersebut.
Dunia Islam telah memulai era baru ketika negara-negara Eropa secara langsung atau tidak langsung mulai menjajah negara-negara Muslim. Sejak abad ke-19 dunia Islam telah pula menguasai pemahaman hak asasi manusia negara-negara Barat. Walaupun negara-negara Islam sudah mendapatkan kemerdekaan dari penjajahan, akan tetapi dalam permasalahan hak asasi manusia, setelah itu masih saja belum bisa terbebas dari tekanan dunia Barat. Seperti halnya negara-negara lain, di dalam negara Islam juga masih terus didominasi oleh pemahaman hak asasi negara-negara Barat, padahal prinsip-prinsip hak asasi dan kebebasan manusia bagi masyarakat Muslim yang sebenarnya telah ada sejak zaman para Sahabat dahulu jauh lebih indah dan lebih sesuai dengan hati nurani manusia ketimbang prinsip-prinsip yang dianjurkan oleh Barat. Pada penerapannya, dari waktu ke waktu berbagai permasalahan muncul. Namun jika umat Islam kembali kepada jati diri mereka sendiri, maka sebagaimana halnya pada permasalahan lainnya, pada permasalahan hak asasi ini pula kita akan selamat dari pengaruh dunia Barat. Karena umat Islam berada pada keyakinan yang terdiri dari cara pandang terhadap kehidupan, alam penciptaan, dan manusia itu sendiri, maka tentu saja hak dan kebebasan manusia terdapat pula di dalamnya, bahkan dalam pemahaman yang paling sempurna. Bahkan Islam tidak hanya mengatur tentang hak asasi manusia saja, tetapi juga hak-hak Sang Pencipta, lingkungan, dan hak-hak yang berada di atas hawa nafsu manusia itu sendiri, serta menekankan bahwa hak seseorang tidak dapat melangkahi dan menerobot hak yang dimiliki orang lain.
Penulis: Abdullah Demir
Referensi
- Akgündüz, Ahmet, İslâm’da İnsan Hakları Beyannâmesi (Deklarasi Hak Asasi Manusia dalam Islam), OSAV Penerbit, Istanbul, 1997.
- Arsal, Sadri Maksudi, Umumi Hukuk Tarihi (Sejarah Hukum Umum), Edisi ke-2, London 1944.
- Abu Yusuf, Imam, Kitabu’l-Haraç, Trans. Ali Ozek, Istanbul University Press, Edisi ke-2, London 1973.
- Hatemi, Hüseyin, İnsan Hakları Öğretisi (Ajaran Hak Asasi Manusia), Işaret Penerbit, Istanbul, 1988.
- Karaman, Hayreddin, Mukayeseli İslâm Hukuku (Perbandingan Hukum Islam), Iz Publishing, Istanbul, 2003.
- TDV Encyclopedia of Islam, “Hak Asasi Manusia” . j. 22, h. 323-327.
- Başlar, Kemal, İnsan Hakları ve Kamu Hürriyetleri (Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Publik), j. 1-2, Ankara, 2001.