Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama sahabatnya Abu bakar Assiddiq keluar dari kota Makkah untuk mencari ketenangan. Di tengah perjalanan, terlihat oleh mereka seorang penggembala bernama Abdullah bin Mas’ud[1] yang sedang mengawasi sekelompok domba milik seorang pembesar Makkah, Uqbah bin Muaith. Pemuda penggembala itu mengenal baik Muhammad Al-amin dan Abu bakar yang tengah jadi perbincangan di seantero kota Makkah. Bahkan, dia juga mendengar berbagai tuduhan buruk atasnya. Sebab tuannya, Uqbah bin Muaith sangat membenci sosok Muhammad Al-amin dan Abu bakar, di setiap kesempatan ia kerap menyebar cercaan buruk tentang mereka. Namun, Ibnu Mas’ud yang merupakan pemuda yang bijaksana tidak serta merta terpengaruh, ia mampu menentukan sikapnya sendiri.
Setiap orang yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam temui merupakan ladang baru dakwah. Beliau pun bertanya pada orang yang tengah keheranan di hadapannya, “Wahai pemuda, apakah kamu punya susu perahan?”.
“Iya, ada”, jawab Ibnu Mas’ud.
“Tapi aku hanya diamanahkan untuk menjaganya, aku tidak akan memberikannya,” Lanjutnya tegas.
Sungguh jarang ditemui orang yang memiliki sikap jujur dan amanah di zaman yang sedang dikuasai kebodohan jahiliyah. Oleh karenanya, sosok yang mampu menunjukkan keluhuran sikap di tengah dekadensi moral adalah sosok yang tepat untuk dikenalkan Islam. Sebab, ia masih berperilaku sesuai dengan fitrah yang tak mungkin berdusta.
Di sisi lain, dalam berdakwah sangat penting mengenal dengan baik mitra bicara dan berkomunikasi dengan bahasa yang tepat. Ya, penghulu para Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ingin memasukkan pesan keimanan kepada Ibnu Mas’ud lewat bahasa yang mudah ia pahami. Baginda Nabi pun kembali bertanya,
“Jika demikian, maukah engkau membawa kemari kambing atau domba muda yang belum pernah melahirkan?”
Ibnu mas’ud segera melaksanakan perintah Nabi tersebut meskipun dalam hatinya merasa keheranan. Kakinya melangkah ke arah kawanan domba, namun rasa penasaran mengenai apa yang akan terjadi terus berkecamuk dalam pikirannya. Ia pun menangkap seekor domba kecil yang belum pernah mengandung, lalu membawanya kehadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam.
Rasulullah mengikat domba tersebut, lalu mengelus-elus tempat susunya seraya berdoa. Jika yang berdoa adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka Allah Subhanahu wa ta’ala langsung mengabulkan. Sebab Nabi adalah manusia yang paling tahu tentang apa, kepada siapa, dan bagaimana menyampaikan do’a terbaik kepada Sang Pencipta.
Menyaksikan peristiwa luar biasa yang sedang terjadi di depan mata, Ibnu mas’ud pun terperanjat keheranan seakan dua bola matanya lepas. Apa yang ia saksikan? Kantong susu domba yang kosong tiba-tiba terisi penuh air susunya! Sungguh ini mukjizat…!, Ibnu Mas’ud sepanjang hidup belum pernah menyaksikan ataupun mendengar peristiwa semacam ini!
Sayidina Abu bakar yang membersamai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, langsung mencari wadah lalu memerah susu yang merupakan ikram Ilahi tersebut. Meski Sayidina Abu bakar yang memerah susu, namun terlebih dahulu ia mempersilahkan sahabat karibnya, baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Silahkan diminum duhai Rasulullah…” ucap Abu Bakar.
Wadah yang dipenuhi susu tersebut diarahkan ke bibir Nabi yang mulia, lalu Beliau meminumnya hingga hilang dahaganya. Kemudian, Abu Bakar mengambil wadah tersebut dari Rasulullah dan gilirannya untuk minumpun tiba.
Setelah dahaga Rasulullah dan Sayyidina Abu Bakar hilang, tiba waktunya mengembalikan domba tersebut seperti kondisi sebelumnya. Rasulullah pun berseru ke arah kantong susu yang penuh itu,”Kembalilah seperti sebelumnya!”
Seketika kantong susu mengempis, tanpa menyisakan setetes susu pun. Ya benar, kantong susu pada domba yang tadinya membesar tiba-tiba mengecil seperti sedia kala seakan tak pernah terjadi apa-apa padanya.
Menyaksikan mukjizat itu, “Wahai Rasulullah, maukah Engkau ajarkan kepadaku doa-doa tadi?” Ucap Ibnu Mas’ud terheran
Berdasarkan sikap Ibnu Mas’ud ini, telah tercapailah tujuan dakwah, pesan keimanan yang disampaikan tepat mengenai sasaran. Dari perkataan Ibnu Mas’ud tadi jelaslah jika ia telah menjadi seorang muslim.
Rasulullah mendekati Ibnu Mas’ud lalu meletakkan tangan yang penuh berkah di atas kepalanya seraya berkata,”Engkau adalah pemuda yang bijak!”[2]
Dari relung kalbu terdalam, ia pun mengucapkan dua kalimat syahadat. Kini, Ibnu Mas’ud mulai menapaki jalan menuju Hibrul ummah untuk menjadi seorang ilmuan basar bagi umat Islam.
Di hari masuk Islamnya Ibnu Mas’ud, menantu Khattab, Said bin Zaid beserta istrinya Fatimah yang merupakan saudara perempuan Umar bin Khattab, juga termuliakan dengan cahaya Islam.
Referensi:
[1] Abdullah bin Mas’ud adalah salah seorang yang terikat perjanjian dengan Bani Zuhrah. Pada masa Jahiliyah, ayahnya Mas’ud melakukan kesepakatan dengan Abdullah bin Haris untuk membantu berbagai pekerjaannya. Sejak saat itu, Abdullah bin Mas’ud juga ditakdirkan melakukan hal yang sama seperti ayahnya.
[2] Ibnu Asir, Usudul Gabah, 2/589.