Peristiwa agung diutusnya Nabi terakhir menggemparkan seantero kota Makkah. Ya, mata air hidayah telah datang, yang akan mengakhiri kemarau panjang sejak berabad-abad lamanya. Orang-orang pun bersegera menuju mata air itu demi menghilangkan dahaga jiwa yang dirasakan. Tak hanya dahaga sendiri, namun juga berusaha menuntun orang lain untuk dibawa ke sumber air ketenangan itu. Bertahun-tahun sudah, kehadiran anugerah terbesar ini dinantikan. Tatkala apa yang dinanti datang, hati mereka pun bergelora penuh kegembiraan.
Diantara yang tengah merasakan gejolak itu ialah seorang orator ulung dari kabilah Gifar, yaitu Abu Dzar. Telah sampai padanya kabar diutusnya seorang Nabi di kota Makkah. Ia pun tak kuasa menahan rindu untuk segera berjumpa. Akhirnya, demi memastikan kabar itu, Abu Dzar mengutus saudara kandungnya untuk pergi ke Makkah.
Sekembalinya dari Makkah, Sang kakak menceritakan apa yang telah ia saksikan,
“Di Makkah, aku bertemu dengan seorang lelaki yang menyebarkan sebuah agama seperti yang kau yakini. Allah telah mengutusnya menjadi Nabi. Masyarakat Makkah menjulukinya “Sabik“. Aku hanya menyampaikan apa yang kudengar, mereka menuduhnya seorang peramal, penyihir dan pendusta. Tapi, aku juga telah mendengarkan beberapa ucapannya dan aku yakin bahwa dia bukanlah seperti yang dituduhkan penduduk Makkah. Demi Allah, aku yakin bahwa apa yang diucapkannya benar.”
Mendengar berita itu, Abu Dzar pun sangat senang seakan hari itu bagaikan hari raya. Akhirnya, Ia mendapatkan informasi tentang lelaki yang mengaku Nabi dari saudara kandungnya. Namun tiba-tiba ia merasakan kesedihan mendalam, apakah mungkin aku hanya berdiam disini, setelah bertahun-tahun kabar gembira itu kunantikan? Tanpa pikir panjang, Abu Dzar langsung bersiap-siap melakukan safar menuju Makkah.
Setelah beberapa waktu di Makkah, Abu Dzar belum juga berhasil bertemu orang yang mengaku Nabi tersebut. Karena ia memang belum mengenalnya dan segala rencana ia lakukan secara sembunyi-sembunyi. Sampai detik itu, belum ada seorang pun dari penduduk Makkah yang ia kenal. Sehingga tak ada cara lain kecuali memberanikan diri untuk bertanya kepada penduduk setempat. Saat berpapasan dengan seorang lelaki, Abu Dzar bertanya,”Tahukah engkau, dimana lelaki yang kalian sebut ‘Sabik‘ itu?” Pertanyaan tersebut membuat tatapan lelaki itu tiba-tiba berubah, sehingga Abu Dzar menyesal menanyakannya. Lelaki itu terheran, saking herannya sampai-sampai tak ada kata yang terucap. Akhirnya, saat malam tiba, Abu Dzar tak memiliki tempat menginap selain pelataran Ka’bah.
Keesokan harinya, Allah mempertemukan Abu Dzar dengan Ali bin Abi Thalib. Sayidina Ali pun berniat baik ingin membantu orang asing ini. Lantaran kondisi Makkah masih mencekam, semua orang menyembunyikan keimanannya. Kaum Muslimin saat itu tertindas, dizalimi, dan diasingkan dari kehidupan bermasyarakat. Oleh karenanya, Ali dan Abu Dzar takut berterus terang untuk menyampaikan maksud mereka.
“Jika aku sampaikan dan ternyata ia tidak percaya, bisa saja dia menyikapinya dengan buruk!” pikir Ali dalam benaknya.
Begitupun Abu Dzar, “Kalau aku bertanya padanya mungkin saja Ia marah dan menjauh!” gumamnya dalam hati penuh kebimbangan.
Akhirnya, tidak ada sepatah kata pun yang terucap. Meski tak saling kenal, Sayyidina Ali menyediakan rumahnya sebagai tempat Abu Dzar menginap. Namun malam itu mereka lalui tanpa bercerita apa-apa.
Tiga hari telah berlalu, dari kedatangan Abu Dzar ke kota Makkah. Namun, tujuan bertemu sang Nabi belum juga terwujud. Tak ada pilihan lain, Ia pun kembali bermalam di pelataran Ka’bah demi mewujudkan impiannya bertemu Nabi. Saat Ali masih melihatnya di sekitar Ka’bah, akhirnya Ia pun memberanikan diri untuk mendekatinya dan bertanya tentang maksud kedatangannya ke Makkah, seraya bersiap atas berbagai risiko yang mungkin terjadi dari pertanyaan ini. Untuk menenangkan Abu Dzar, Ali bin Abi Thalib memulainya dengan bercerita tentang utusan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Pada akhirnya, mereka berdialog dengan satu frekuensi. Saat mengetahui keimanan Ali, Abu Dzar sedikit menggerutu dalam hatinya “Jika bisa sedekat ini, mengapa aku harus menetap disini sampai tiga hari.”
Setelah mengetahui maksud Abu Dzar, tibalah waktunya memikirkan cara bertemu Rasulullah dengan selamat tanpa rintangan. Sebab, jika kafir Quraisy mengetahui ada orang asing datang ke Makkah untuk menemui Muhammad Al-Amin, tentu mereka akan menghalangi atau mengancam dengan kata-kata tak pantas. Bahkan, bisa saja mereka melakukan tindak kekerasan. Kesimpulannya, demi mencapai hasil terbaik dari sebuah tujuan mulia, menjaga kehati-hatian dalam setiap sikap dan tindakan adalah kemestian. Lalu Sayidina Ali berkata,
“Aku akan berjalan di depan dan engkau mengikutiku dari belakang. Seandainya aku melihat kemungkinan terjadinya hal tidak baik, aku akan menyingkir ke samping jalan seakan hendak berbuat sesuatu. Adapun engkau, teruslah melanjutkan perjalananmu tanpa memikirkanku. Bagaimanapun aku akan menemuimu. Namun, jika tak ada hambatan berbahaya di jalan, maka kita akan pergi bersama ke tempat tujuan.”
Pada waktu itu, penindasan kafir Makkah terhadap kaum Muslimin tengah marak-maraknya. Di hari itu pula mereka akan bertemu sosok yang sangat dirindukan. Jarak tempuh menuju tempat yang dimaksud tidaklah terlalu jauh, namun bagi Abu Dzar terasa amat panjang seakan tak berkesudahan.
Saat sampai, pintu pun dibukakan. Sudah bertahun-tahun, Abu Dzar menantikan datangnya peristiwa terindah ini. Dan kini, ia tengah saling tatap dengan Sang Nabi yang wajahnya bercahaya bak rembulan. Rasulullah memandangnya dengan tatapan yang menghangatkan sanubarinya.
Abu Dzar memulai salamnya, “Semoga keselamatan dari Allah senantiasa tercurahkan bagimu duhai Rasulullah.” Tampak jelas ketundukan Abu Dzar di bawah cahaya Islam melalui apa yang baru saja ia ucapkan. Ya, Ia sudah menerima Islam jauh sebelum pertemuan indah ini. Lalu, Ia pun menceritakan satu per satu kisahnya, yang dimulai dari masa penantiannya, kondisi kehidupannya dan pengalaman saat berhari-hari di Makkah.
Kemudian Abu Dzar bertanya,” Wahai Rasulullah, apa yang Engkau perintahkan dan serukan?”
“Aku memerintahkanmu untuk menyembah Allah yang Esa, tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun dan meninggalkan semua berhala,” jawab Nabi.
Abu Dzar pun mengucapkan kalimat tauhid dari relung kalbunya, “Aku bersaksi tiada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah. Aku bersaksi Engkau adalah utusan Allah”.
Dari gerak tubuhnya terlihat ada hal lain yang ingin ia sampaikan kepada Rasulullah. Ia berusaha diam sejenak, namun seakan tak sabar ia pun kembali berkata,
“Wahai Rasulullah, sekarang aku akan kembali ke negeriku untuk bertemu sanak keluarga. Dengan penuh rindu kunanti turunnya perintah bagi umat Islam untuk berjihad! Pada saat itu, aku akan berada di sampingmu untuk selalu membelamu. Sampai detik ini, kaummu masih terus berupaya menghancurkanmu.”
Rasulullah memberi tanggapan atas ucapan tersebut, ”Benar yang kamu katakan wahai Abu Dzar.”
Lantaran menyaksikan Abu Dzar yang tengah bergejolak, Beliau pun menambahkan, “Sekarang kembalilah ke negerimu untuk menemui kaummu. Jika datang kabar bahwa kaum Muslimin telah menang, maka datanglah kembali. Tebarkan kebaikan yang telah engkau dapatkan kepada kaummu di sana.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Mursyid Kamil benar-benar mengetahui apa yang akan terjadi kedepannya. Ucapan Rasulullah tersebut merupakan arahan sekaligus tuntunan kepada muridnya, Abu Dzar. Namun, Abu Dzar yang hatinya tengah bergejolak seakan tak mampu menahan diri,
”Demi Tuhan yang jiwaku dalam genggamanNya, aku tak akan pergi dari sini sampai aku mengumumkan keislamanku di depan Ka’bah.”
Benar saja, tak berselang lama ia telah sampai di depan Ka’bah, dengan lantang Ia bersyahadat seperti saat bersama Nabi,
”Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi Muhammad adalah hamba dan utusan Allah.”
Seketika, pandangan orang-orang sekitar Ka’bah tertuju padanya,
”Lihat lelaki itu, ternyata dia juga penganut agama Sabik!” teriak mereka melecehkan.
Dengan sontak, orang kafir Quraisy mengerumuni Abu Dzar lalu menghina dan mencercanya. Tidak cukup disitu, seolah kehilangan akal mereka pun memukulinya serampangan seperti sekelompok hyena yang tengah mengerumuni mangsanya.
Andaikan Sayidina Abbas, paman Nabi yang bijak dan cerdik dalam menyelesaikan setiap masalah tidak datang, mungkin saja mereka telah membunuhnya. Abbas pun berusaha melindungi Abu Dzar dari hantaman kafir Quraisy dengan merangkulkan kedua tangannya ke tubuh Abu Dzar. Dengan suara lantang ia berkata,
“Wahai kaum Quraisy, tahukah apa yang sedang kalian perbuat? Jalur perniagaan kalian melintasi kabilah Gifar, apakah kalian ingin mengakhiri perniagaan ini dengan membunuhnya? Biarkan ia pergi!”
Ya, mereka paham maksud Abbas, tidaklah tepat membunuh orang lemah ini sehingga menimbulkan risiko besar terhadap kelancaran perdagangan mereka. Akhirnya, satu per satu kafir Quraisy meninggalkan Abu Dzar sembari melontarkan berbagai cercaan padanya.
Dalam kesendirian di pelataran Ka’bah disertai darah yang melumuri tubuhnya, Abu Dzar berusaha bangkit menuju air zam-zam, dibasuh wajah dan tangannya guna menghilangkan lelah. Ia bersihkan darah yang menempel di tubuh serta pakaiannya. Gejolak iman yang tengah menggebu di dadanya seakan menjadikannya lupa akan siksaan kafir Quraisy yang baru saja dialami.
Setelah berlalunya kejadian hari itu, di hari berikutnya Abu Dzar pun kembali melakukan seperti sebelumnya. Ia kembali menuju pelataran Ka’bah, berdiri di tempat tinggi dan dengan lantang mengucapkan dua kalimat syahadat. Tak pelak, Terjadi lagi seperti sebelumnya. Kafir Quraisy kembali mengeroyok tak karuan dan Sayidina Abbas pun kembali memberi pertolongan.
Setelah kejadian menyakitkan ini terjadi dua kali dengan cara yang sama, perkataan baginda Nabi pun terngiang di benaknya. Kondisi saat ini belum memungkinkan untuk menyampaikan Islam secara terang-terangan. Dengan demikian, hendaknya kita memperhitungkan dengan matang kondisi dan keadaan yang sedang terjadi lalu merencanakan pergerakan dengan strategi yang sesuai. Ya, pemuda belia dua puluh tahun yang seolah terlahir ke dunia untuk kedua kalinya ini, mesti sabar menunggu waktu yang tepat sembari berjuang melakukan hal-hal positif untuk menyongsong hari yang dinanti.
Abu Dzar, akhirnya bertolak dari Makkah untuk kembali ke negerinya setelah kejadian pahit yang dialaminya. Peristiwa yang dialami Abu Dzar ini menjadi pelajaran berharga bagi setiap mukmin. Ya, kondisi umat Islam saat itu sedang tertindas, setiap waktu mereka dizalimi. Adapun baginda Nabi berada dalam perlindungan sang paman, Abu Thalib. Demikian juga Sayidina Abu bakar. Lantaran posisi mereka yang terhormat dan ada tokoh masyarakat yang memberi perlindungan sehingga tidak ada yang berani berbuat kekerasan terhadap mereka. Sedangkan kaum muslimin yang lemah selalu dianiaya seakan menjadi objek pelampiasan. Mereka pun merasakan segala jenis penderitaan. Kafir Quraisy menyakiti orang-orang lemah di setiap kesempatan tanpa belas kasihan sedikitpun.
Referensi:
Imam Ibnu Hajar, Al-Isâbah, 1/136. Abu Zar telah menunaikan salat sebelum ia masuk Islam. Saat ada yang bertanya tentang ini, ia mengatakan bahwa tiga tahun sebelum bertemu baginda Nabi Abu Zar sudah melaksanakan salat, saat beribadah di malam hari, beliau melakukannya hingga tengah malam.
Imam Ibnu Sa’ad, Tabakât, 4/222
Imam Ibnu Sa’ad, Tabakât, 3/165; 4/224, 225, 255
Imam Ibnu Sa’ad, Tabakât, 3/165