Hijrah adalah sebuah perpindahan suci ke tempat yang baru dengan suatu tujuan luhur. Sebuah perjalanan perpindahan yang diwujudkan dengan khazanah keyakinan, perasaan dan pemikiran serta tujuan seperti ini, jika diukur berdasarkan kedalaman keikhlasannya maka dapat disetarakan dengan perjalanan insan manusia menuju samawi. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, manusia mulia yang menjadi potret kebanggaan umat, telah memuliakan perjalanan ini baik dengan perjalanan samawinya maupun dengan apa yang telah beliau jalankan di bumi.
Yang pertama bahwa perjalanan ini adalah sebuah keadaan khusus yang hanya diniatkan bagi-Nya dengan bingkai khas, sesuatu yang tidak mudah bagi yang lain. Sedangkan yang kedua berada di bawah beberapa syarat tertentu, bagai jalan raya yang terbuka bagi siapa pun. Sebuah jalan yang terbentang luas dan berkilau cahaya serta telah dilewati oleh ribuan bahkan ratusan ribu insan yang berjalan dengan keberkahan dan kebijaksanaannya, bahkan insan-insan mulia nan agung pada cakrawala bulan gemintang kenabian.
Tak diragukan lagi, perpindahan suci yang paling berarti dan dapat kita sebut sebagai “bintang gemilang dalam sejarahnya” telah dilakukan oleh Sang Kebanggaan Umat, yang keberadaannya menjadi sebab diciptakannya seluruh manusia, bersama dengan Para Sahabatnya, manusia-manusia setia dari yang paling setia. Beliau bersabar menghadapi sebuah hijrah seperti ini, bukan hanya karena hal ini adalah sebuah perintah. Namun jauh di atas itu, Beliau menjalankan hal ini untuk menempatkan tapak kakinya pada sebuah tempat yang mendatangkan jaminan keamanan. Untuk menemukan orang-orang penuh kesetiaan yang akan membantu tugas Para Sahabat setianya, pembangunan sebuah komunitas dari pusat dunia dan akan menyebar ke seantero semesta. Serta demi membangun sebuah jembatan yang akan menjadi jalan guna mencapai seluruh umat manusia pada sebuah agama universal yang begitu komprehensif kedalamannya melalui sebuah masyarakat madaniyah.
Semua perencaanan dan program yang Beliau lakukan memiliki dimensi samawi teramat luas. Perbedaan antara awal mula dan hasil yang diraih sangat besar tak terkira. Pada jalan yang panjang ini, sejak awal hingga akhirnya dipenuhi persinggahan iblis dan sekutu-sekutu sejenisnya, di setiap sisi dihantui perasaan buruk dan ambisi, pada tiap tingkatan peralihannya diwarnai pijar api fitnah. Ya, meski dipenuhi berbagai keadaan yang tak mendukung seperti ini, namun kalbu-kalbu yang menyusurinya penuh dengan harapan, keteguhan, dan kelapangan. Pada lidah dan kalbunya senantiasa penuh antusias meyakini sumber kekuatan bahwa: “Cukuplah Allah bagi kami, Ia adalah sebaik-baik penolong dan pelindung bagi kami”. Mereka hanya menyandarkan diri pada Allah, tunduk pada taufikNya, dan berketetapan teguh untuk menapaki jalan panjang ini. Menapaki dan akan terus berjalan tanpa menoleh ke belakang lagi. Akan berjalan tanpa meninggalkan yang ada di belakangnya.
Pada hari itu, semua jalan dicoba untuk menghadapi kaum yang ingkar dan para diktaktor keji Makkah. Semua cara diupayakan, tetapi adalah juga sebuah kenyataan bahwa menurut insan yang berkewajiban dan bertujuan ini tak ada satu pun di antara perlakuan yang dilakukan pada mereka itu yang sepadan dengan apa yang terjadi tersebut. Ketidaksepadanan inilah yang menjadikan ‘Tuan Sang Pemilik Risalah’ terkunci pada kecintaannya atas tugas khidmah dan kesadaran pada kewajibannya hingga Ia mulai mencari para pengikut baru di luar Makkah. Kota Taif adalah mimpi pertama dari adicita ini. Pemberhentian pertama atas dakwah kerasulan Beliau setelah Makkah. Meski penuh dengan kesulitan dan cobaan, telah menjadi kota hijrah pertama yang penuh dengan harapan walau sangat menyedihkan jikalau hanya dengan satu mukmin yang menjadi penghiburan. Kemudian diadakan pertemuan-pertemuan secara sembunyi-sembunyi yang diistilahkan sebagai sirran tanawwarat atau “pencerahan yang tetap berpendar meski terselubung” bersama mereka yang datang dari daerah Mina yang cadas dan menggentarkan hati. Maupun Aqabah yang ramah serta masa pencarian kalbu-kalbu yang mungkin akan bersimpati pada mereka. Sulit untuk menebak siapa yang dicari, tetapi yang telah ditemukan menjadi enam orang yang paling beruntung di Madinah pada saat itu. Enam orang yang diberkahi itu menjadi para perintis pertama pada perubahan atas takdir buruk manusia. Mereka akan menjadi lengan yang akan bermanfaat bagi tangan kenabian. Sebelumnya yang mereka ketahui tentang hadirnya seorang penyelamat abadi kemanusiaan bisa diibaratkan hanya sebatas berita-berita yang dibawa oleh kaum Yahudi dari satu telinga ke telinga lain bahwa disebutkan, “Allah akan mengirimkan seorang Nabi terakhir dan orang-orang Israel akan memperhitungkan Ia sekali lagi di bawah naungan bendera semesta bersama”. Sebenarnya keyakinan ini tak terlalu sesuai dengan harapan mereka, tapi cukup untuk mengarahkan dan mengobarkan semangat mencari hakikat kebenaran yang dimiliki oleh penduduk setempat, Madinah. Pada saat itu maklumat sederhana ini telah menjadi masa pengeraman dan permata terpendam dari sebuah kenyataan besar. Yang nanti ketika musimnya telah tiba, nama besar “Ansar” akan dimuliakan hingga akhirat kelak. Kemuliaan yang memenuhi saku penduduk Madinah seolah penuh dengan batu permata yang teramat berharga.
Enam orang suci ini, kemudian diikuti oleh sepuluh orang mulia lainnya, dan pada tahun-tahun selanjutnya terdapat sekumpulan manusia-manusia mulia yang di dalamnya termasuk juga para wanita, berjumlah hingga tujuh puluh orang. Disamping mengikrarkan janji setia, mengungkapkan pengakuannya serta menjawab ‘ya’ pada panggilan Rasulullah, mereka mengundang pula Beliau untuk datang ke Madinah. Para penyelamat keabadian tersebut melakukan pertemuan di sebuah tempat yang sunyi-lengang dan mengundang Rasulullah dengan ungkapan “Mari datanglah ke tanah air kami!” Mereka penuh dengan kesungguhan, mengabulkan apa pun yang dibawa oleh beliau. Menyerahkan seluruh jiwa dan raganya pada beliau. Menunjukkan sikap penuh perhatian sebagaimana perhatian mereka pada anak, istri dan nafsunya sendiri. Menempatkan Beliau di bagian terdepan, menjaga dan memuliakannya lebih dari jiwa mereka sendiri. Sebagai balasan dari hal ini Allah menjanjikan bagi mereka surga-Nya. Pada akhirnya perjanjian pun selesai. Wajah Rasulullah dipenuhi senyuman… Kaum Ansar sangat bergembira… dan pintu-pintu Madinah terbuka hingga kedatangan Kaum Muhajir.
Makkah mulai dikosongkan, beberapa kelompok yang terdiri dari tiga-lima orang Kaum Muhajir keluar dari kota itu. Ada yang terang-terangan hingga yang sembunyi-sembunyi semua mengarah ke Madinah. Pengorbanan kaum Muslim yang berhijrah bersama dengan sifat itsar yang dimiliki kaum Ansar telah mencapai sebuah rona yang berbeda. Perjalanan darat tersebut seakan mencapai mi’raj-nya, menembus langit serta menjumpai garis perjalanan para malaikat pada alam di atas sana. Tentu saja, kafilah terakhir dari perjalanan samawi di dunia ini telah dipungkasi oleh kafilah kenabian terakhir. Akan tetapi sebagaimana kaidah bahwa pada setiap yang didapat akan ada pula resiko yang akan dihadapi, maka hijrah Beliau pun mengalami kesulitan yang paling besar. Sebagaimana prinsip “Ujian yang paling berat dialami oleh para Nabi…” setelah berpasrah diri pada perbukitan yang penuh dengan ancaman kematian menakutkan dan dengan sayap-sayap yang mengembang, setapak demi setapak hingga mereka bisa sampai pada tanah harapan. Bahkan mereka sampai dengan begitu hebatnya hingga tak seorang Suraqah pun -yang pada hari itu pemikirannya tak lebih gelap dari suasana hatinya- bisa menghadang. Tak pula jaring-jaring kelabang yang ada di dalam maupun di luar Gua Tsur akan menghalangi. Tidak juga tindakan-tindakan tanpa keinsyafan yang dilakukan para perompak yang ada di jalanan mampu menyurutkan mereka. Pada akhirnya Suraqah berubah menjadi seorang calon dari Para Sahabat. Bersama Buraidah temannya, keduanya pada akhirnya mengenal Islam.
Ketika itu insan-insan berharga menempuhi jalan yang dipenuhi tiupan angin bencana dan cobaan, namun mereka tetap teguh bahkan perlahan-lahan mengubahnya menjadi seindah taman mawar. Perasaannya bersimbah darah, pemikirannya bersimbah darah, bahkan matanya nanar penuh darah. Di Makkah segenap orang penuh darah dan peluh, menjadi budak yang disiksa, di antara puji-pujian yang dinyanyikan penduduk Madinah untuk menyambut kedatangannya. Rasulullah membangun tendanya di sebuah tempat suci yang sekarang dikenal sebagai kubah hijau dan kediamannya berada bersebelahan dengan masjid. Beliau menempatinya, lalu mulailah Ia meniupkan kehidupan pada lingkungan sekitarnya melalui pesan-pesan Ilahi dan ilham yang datang pada jiwanya.
-“Betapa pantas jika kita korbankan jiwa kita sekali pun, pada Beliau yang merupakan sumber kehidupan dan pada Dzat yang telah meniupkannya pula!”-
Untuk dapat mencapai amanat yang diemban ukhrawi jiwa dan ketinggian makna hijrah, Nabi Adam ‘alaihi salam menempuhi sebuah perjalanan panjang yang berawal dari surga hingga ke dunia ini. Nabi Nuh ‘alaihi salam bersabar menempuhi sebuah perjalanan penuh kesulitan tak hanya di daratan bahkan hingga sampai ke lautan terdalam. Nabi Ibrahim ‘alaihi salam berkeliling dari Babil, Hijaz, hingga ke daerah Kenan. Nabi Musa ‘alaihi salam memulainya dari rumah ibunya hingga ke istana Firaun, lalu menguntai rajutan berbagai jalinan cobaan sampai ke Mesir dan Aikah. Nabi Isa Al-Masih ‘alaihi salam melewati semua jembatan yang telah ditempuh oleh semua Nabi pendahulunya dan orang-orang mulia pertama dari masa ini pun telah membangun barisan pengemban tugas irsyad ini lalu menyebar ke empat penjuru dunia yang telah menua ini. Ketika sampai pada orang-orang mulia dari generasi ini; mereka adalah yang termasuk pada janji
“Barang siapa berhijrah pada jalan Allah akan menemukan keluasan dan tempat berlindung di seluruh permukaan bumi ini. Barang siapa wafat di jalan yang ditempuhnya hanya karena mengharap rida Ilahi dan menyeru atas nama jalan Rasul, maka pahala yang akan diberikan adalah di sisi Allah”.
Lalu mereka berpencar ke segenap penjuru semesta serta memperdengarkan seruannya dengan metode dan cara yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masing-masing generasi, hingga seruan itu terdengar ke semua tempat. Berkat hijrah ini, Al-Qur’an akan dibangunkan kembali sebagaimana seharusnya, persahabatan dan dialog akan terbina bagi mereka yang mendengarkannya pada bingkai hati.
Ya, mereka akan berkeliling untuk menyerukan warisan jiwa yang pertama kali direfleksikan dari Gua Hira. Menunjukkan jalan keluar untuk membangkitkan kalbu-kalbu yang tertidur karena ketiadaan harapan. Memperdengarkan kemaslahatan dari ajaran-ajaran Ilahi dengan nalar yang tepat pada semua orang. Sembari menghalau penghalang-penghalang yang ada di antara kalbu dan Qur’an agar perpisahan yang terjadi setelah sekian abad ini berakhir dan menyampaikannya pada sebuah pertemuan paling agung. Serta dikarenakan gerakannya benar-benar hanya dipancarkan oleh iman, cinta dan semangat ini, maka mereka akan mengajarkan pada anak-anak yang tak memiliki pegangan, yang tengah membungkuk menahan pedih keputus-asaan dan kekacauan zaman ini, mengajarkan pada mereka untuk menyelamatkan diri dari atmosfer sesak yang menenggelamkan dunia yang fana ini, sembari mempertemukannya pada jalan-jalan yang akan membawa mereka pada keberadaan dan kebebasan, mengajarkan adab dari perilaku cinta dan menghormati.
Penulis: M. Fethullah Gülen/Sızıntı, Juni 1995, jilid 17, edisi 197.