Τiba-tiba, suasana di kediaman Al-Amin, Muhammad shallallahu alaihi wasallam berubah drastis; kepanikan, keinginan untuk segera bertemu Waraqah bin Naufal, kekhawatiran sekembalinya dari gua Hira serta kecemasan Sayyidah Khadijah membuat suasana rumah saat itu amat berubah.
Ali yang masih belia menyaksikan perubahan mencolok ini. Dengan rasa ingin tahu, diam-diam ia perhatikan sikap Nabi, gerakan shalatnya dan apapun yang terlihat berbeda. Padahal, kala itu ia masih berusia sepuluh tahun.
Tak berselang lama, Ali pun bertanya heran,
“Gerakan apa yang baru saja Engkau lakukan?”
“Aku melakukan shalat untuk menyembah Allah semesta alam,” jawab Sang Nabi.
Ali yang baru pertama kali mendengar perkataan itu, tak sabar untuk kembali bertanya,
“Siapa Allah semesta alam itu?” Segenap perhatiannya tertuju kepada Nabi menanti jawaban.
Setelah mendudukkan Ali di pangkuannya dengan penuh kehangatan seorang ayah yang penyayang, Nabi pun menceritakan apa yang baru saja terjadi satu demi satu, yang bermula dari peristiwa di gua Hira hingga risalah kenabian yang diembannya. Setelah itu, dengan perlahan Nabi melanjutkan,
“Allah adalah Maha Esa, tidak ada sekutu bagiNya. Alam semesta ini ciptaanNya dan Dialah yang menanggung rezekinya. Segala sesuatu berada dalam kekuasanNya. Dialah Allah, yang menghidupkan dan mematikan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.“[1]
Betapa nasihat dari seorang ayah yang penuh kasih sayang ini meneduhkan kalbunya hingga menerobos ke relung jiwanya yang terdalam. Sejak sebelum kenabian, Ali telah menyaksikan kejujuran Nabi Al-amin, sehingga kepercayaan telah terpatri di hatinya. Kemana pun Nabi pergi ia selalu mendampingi meski kadang bahaya menghadang. Sama halnya pada detik ini, sedikitpun tak ada keraguan dalam hatinya. Akan tetapi, ini adalah sebuah perkara besar. Ali mungkin berpikir, sebelum mengambil keputusan ini sebaiknya ia menyampaikannya kepada sang ayah. Bagaimanapun, kedudukan ayah tetaplah penting di hatinya. Namun, Nabi meminta satu hal, agar Ali tetap merahasiakan semua yang terjadi.
Hingga larut malam Ali masih terhanyut memikirkan perkataan Nabi. Ali berpikir, keputusan beriman kepada Allah merupakan perkara fundamental, sehingga bukan sebuah kemestian untuk menyampaikannya pada orang tuanya. Pada akhirnya, Ali telah memutuskan apa yang seharusnya ia lakukan. Keesokan harinya, ia bergegas mendatangi Nabi.
“Apa yang Engkau serukan padaku tadi malam?” Tanya Ali.
Begitu tampak kedewasaan pada diri sayyidina Ali. Setelah berpikir matang, ia memilih jalannya sendiri tanpa melibatkan kedua orang tua. Hingga tercatat dalam sejarah, Sayyidina Ali menjadi orang yang pertama beriman dari golongan anak-anak.
Setelah mempersilahkan Ali duduk di dekatnya, Rasulullah menuntunnya untuk mengucapkan kalimah tauhid. Dengan demikian, Ali yang berusia sepuluh tahun menjadi orang kedua yang masuk Islam setelah ibunda Khadijah, mendahului orang-orang yang lebih dewasa darinya. Dengan penyerahan diri seutuhnya ini, Ali pun telah masuk ke dalam cahaya Islam[2]. Sejak saat itu, Ali yang masih belia, yang merupakan anak paman Nabi selalu mendampingi Rasulullah hingga akhir hayatnya. Ali pun menjadi orang yang pertama kali mendengar firman Tuhan yang datang kepada sang Nabi kebanggaan semesta shallallahu alaihi wasallam.
Referensi:
[1] İbnu İshâk, Sirah, 2/118
[2] İbnu Hibbân, Sahîh, 1/63