Mereka pun Berlari menuju Cahaya…

Saat itu, Amir bin Rabiah, Abu Hudzaifah putra Utbah Bin Rabiah, Ubaidah bin Jarrah, Usman bin Maz’un beserta kedua saudaranya Kudamah dan Abdullah, Asma binti Umais, Ummu Ayman dan istri Abbas paman nabi Ummu Fadl, serta saudara Ali, Ja’far bin Ali Thalib, satu per satu bersimpuh dihadapan Nabi mengikrarkan keislamannya.[1]  Agama Islam menyebar begitu cepat di kalangan insan-insan yang haus nilai luhur dan kebenaran. Penduduk Makkah terus berlarian menuju sumber cahaya untuk menjadi manusia yang utuh. Demikianlah yang terjadi di tiga tahun pertama kenabian. Kala itu dakwah Islam masih tersebar dalam lingkup yang sangat terbatas. Para Sahabat menyampaikan kebenaran Islam secara individu dan sembunyi-sembunyi.

Wahyu Ilahi satu per satu turun ke bumi dan Rasulullah menyampaikannya kepada kaum muslimin. Untuk menyampaikan wahyu, Nabi memilih tempat yang jauh dari pantauan musyrikin Makkah demi meredam reaksi negatif. Biasanya, Nabi menjadikan salah satu rumah sahabat sebagai markas dakwah Islam. Inilah periode memperkuat iman, ayat-ayat yang turun pun berkenaan dengan masalah keimanan. Ya, panji Islam akan dijunjung setinggi mungkin maka diperlukan iman yang kuat agar tidak goyah dan roboh.

Saat itu Kafir Quraisy hanya memantau keadaan saja. Mereka menduga, ajaran baru ini sama halnya dengan pemahaman monoteisme yang dianut orang-orang seperti Zaid bin Amar, Kus bin Saidah dan Umayah bin Abi Shalt sebelumnya; pemikiran personal yang akan berkutat pada mereka saja lalu sirna. Namun dugaan mereka salah, seandainya tanpa adanya usaha dakwah yang maksimal pun, satu per satu penduduk Makkah akan masuk Islam, mengubah jalan hidup mereka menjadi pribadi yang berbeda.

Tak berselang lama, Bilal habasy, Abu salamah[2], Arkam bin Abi Arkam, Ubaydah bin Haris, dua putri Abu bakar Asma dan Aisyah, Habbab bin Arat, Umair bin Abi waqas, Masud bin Kariy, Salit bin Amar, Ayyas bin Abi Rabiah dan istrinya Asma binti Salamah, Hunais bin Huzafah, Amir bin Rabiah, Abdullah bin Jahsy dan saudaranya Abu Ahmad, Hatib Bin Haris dan istrinya Fatimah binti Mujallal beserta Saudaranya Hattab,  istri Hattab Fukaih bin Yasar, Ma’mar bin Haris, Usman bin Maz’un anak Saib, Muttalib Bin Azhar dan istrinya Ramlah binti Abi Auf, Nuaim bin Abdullah, Amir bin Fuhairah[3] dan Khalid bin Said bin Ash dan istrinya Umayah binti Khalaf menemukan cahaya Islam dan berlari menujunya.

Suatu malam Khalid bin Said bermimpi,  Ia seakan berada di tepi neraka Jahanam lalu ditarik ke dalamnya. Tiba-tiba Khalid melihat Ayahnya berdiri dari belakang dan mendorongnya ke dalam neraka. Tatkala hendak terjatuh, tiba-tiba Muhammad Al-amin menolongnya, merangkul pinggangnya, lalu membawanya ke tepian hingga akhirnya selamat. Sontak Khalid bin Said terbangun dan merasa ketakutan. Meski berlalu beberapa waktu, ketakutan itu masih menghantui dirinya. Khalid pun menduga bahwa mimpi itu sebuah pertanda kebenaran,

“Salah satu cara untuk selamat dari api neraka adalah dengan beriman kepada Muhammad Al-amin dan meniti jalannya,” pikirnya dalam hati.

Tanpa mengulur waktu, Khalid menemui Abu bakar dan menyampaikan mimpi dan firasatnya. Abu Bakar pun sependapat,

“Aku melihat ada kebaikan yang tersimpan untukmu dalam mimpi itu. Rasulullah ada disana, pergi dan beriman padanya! Orang yang bisa menyelamatkanmu dari api neraka hanyalah Beliau. Namun ayahmu tidak mendapat hidayah di dunia ini,” ucap Abu Bakar.

Khalid bin Said pun bersegera menuju cahaya Islam dan menemui Rasulullah di sebuah tempat yang bernama Ajyad.

“Wahai Muhammad, Apa yang engkau serukan?” tanya Khalid.

“Aku mengajakmu beriman kepada Allah, tidak menyekutukannya dengan apapun, dan Muhammad adalah utusan Allah. Selain itu, engkau wajib meninggalkan berhala-berhala yang tidak bisa mendengar dan melihat, tidak bisa memberi manfaat dan mudarat, tidak mengetahui siapa yang menyembah dan yang tidak menyembahnya.” Jawab Rasulullah.

Tanpa keraguan sedikitpun, Khalid pun berucap,

Asyhadu Alla ilaha Illallah wa Asyhadu Annaka Rasulullah“.[4]

Kini Ia telah menemukan Islam. Ya, Khalid beriman dengan keinginannya tanpa keterpaksaan sedikitpun. Namun perjuangan tak berhenti di situ, ayahnya yang sangat keras kepala tidak melepas begitu saja. Saat mengetahui keislaman anaknya, ia langsung mencarinya,

“Bagaimana mungkin engkau percaya pada Muhammad yang membawa ajaran berbeda dengan nenek moyangmu, dan mencerca berhala-berhalamu!” ucapnya sambil memukul kepala Khalid dengan tongkat kayu dan berdarah. Patuh pada ayah sebuah kewajiban namun taat pada Allah lebih utama. Khalid pun tetap pada pendiriannya, tak terucap sekalipun kata “iya” dari mulutnya.

“Demi Allah, Aku telah beriman pada Muhammad dan aku tak akan melepaskannya,” jawab Khalid tegas.

Amarah ayahnya semakin menjadi-jadi, berbagai cercaan pun ia lontarkan,

“Menyingkirlah dariku, aku bersumpah tak akan memberi apapun padamu!” Ancaman yang tak sedikitpun menggoyahkan pendirian Khalid. Ya, Adakah yang masih diinginkan setelah menemukan Rasulullah! Berada disampingnya seakan dunia seisinya adalah milikmu!

Khalid pun berkata,

“Walau engkau tidak memberi apapun, aku akan tetap berada pada jalan ini. Aku yakin Allah akan memberiku rezeki selama aku hidup.”

Sang ayah yang tengah dibutakan emosi tidak diam begitu saja, ia pun mengumpulkan semua anaknya yang belum menemukan Islam sepertinya, melarang mereka menjalin hubungan dengan Khalid. Tidak ada cara bagi Khalid kecuali mendatangi Rasulullah dan tak meninggalkannya selamanya.[5]

Tak lama dari peristiwa ini, Hatib bin Amar, Wakid bin Abdullah, dan empat anak Bukair bin Abdilail yaitu khalid, Amir, Akil[6] dan Iyas juga mengikrarkan keislamannya di hadapan Rasulullah. Orang-orang Makkah yang sedang mencari cahaya kebenaran dan nilai luhur, siapapun itu, terus berdatangan menemui baginda Nabi untuk masuk Islam. Kini, yang salat dibelakang Nabi tidak hanya Ali, namun dibersamai para jemaah yang saling bahu-membahu dalam dakwah.[7]

Keadaan seperti ini membuat kafir Makkah murka. Sikap otoriter dan tidak bisa menerima apapun di luar kehendak mereka menyebabkan munculnya reaksi keras dan tak terkendali. Suatu hari, Saad bin Abi Waqqas bersama sahabat lainnya pergi ke luar Makkah untuk shalat. Tanpa diduga, beberapa kafir Quraisy melewati tempat tersebut. Saat melihat Saad dan teman-temannya sedang salat, mereka pun mencerca dan menghina. Saat terjadi percekcokan mereka pun mencederai rombongan Saad. Betapa misrisnya, kaum muslimin yang saat itu hanya ingin menyembah Tuhannya harus menerima tindak kekerasan dari  kafir Quraisy.[8]

Referensi:

[1] Sayyidina Ja’far bin Abi Thalib sangat mirip dengan Rasulullah dari segi akhlak dan perilakunya. Lihat. Tarikh Thabari, 1/539

[2] Nama asli Abu Salamah, Abdullah bin Abdulasad, Ia adalah anak bibi Rasul Barra binti Abdul Muttalib. Di saat yang sama, ia dan juga Hamzah saudara sesusuan Nabi. Lihat Ibnul Atsîr, Usudul ghabah, 2/567

[3] Amir bin Fuhairah adalah saudara seibu ibunda Sayyidah Aisyah. Lihat. Ibnul Atsir, Usudul ghabah, 2/254

[4] Ibnu Sa’ad, Tabakât, 4/94; Ibnu Hajar, Isâbah, 1/406

[5] Lihat. Ibnul Astîr, Usudul-ghabah, 2/87; Ibnu Sa’ad, Tabakât, 4/95; Halabî, Sîrah, 2/421

[6] Nama Akil bin Bukair sebelumnya adalah ghafil. Saat bertemu Rasulullah dan menyebut namanya, Rasulullah menggantinya dengan nama Akil. Lihat. Ibnu Hajar, Isabah, 3/575

[7] Ibnu Hisyâm, Sîrah, 2/98

[8] Saat kekacauan terjadi, Saad bin Abi Waqqas bertujuan melindungi teman-temannya dari serangan Musyrikin, tulang rahang unta yang ada di tangannya pun mengenai kepala salah seorang Musyrikin dan mengeluarkan darah. Inilah kali pertama kaum Muslimin mengalirkan darah di atas bumi. Lihat. Ibnu Hisyam, Sirah, 2/98.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *